Buronan Kejaksaan Agung
Pengacara Djoko Tjandra Sulit Mendapat Perlindungan karena Telah Jadi Tersangka
Pengacara Djoko Tjanda, Anita Kolopaking, sulit mendapat perlindungan dari LPSK karena telah berstatus tersangka
WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA -- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengisyaratkan akan menolak pengajuan perlindungan yang diminta oleh kuasa hukum Djoko Tjandra, Anita Kolopaking, terkait kasus yang tengah membelitnya.
Ketua LPSK, Hasto Atmojo Suroyo mengatakan, sinyal penolakan itu menguat lantaran Anita telah berstatus sebagai tersangka kasus penerbitan surat jalan dan bebas Covid-19 untuk terpidana Djoko Tjandra saat menjadi buron.
"Kalau status tersangka sudah pasti akan ditolak. Tapi tergantung apakah dari Biro Penelaahan Permohonan sudah selesai penelaahannya," kata Hasto kepada wartawan, Minggu (9/8/2020).
Namun demikian, pengajuan tersebut akan tetap dibahas LPSK pada rapat paripurna pada Senin (10/8/2020).
Menurut Hasto, rapat itu merupakan kegiatan rutin yang dilakukan oleh LPSK setiap pekan.
Nantinya, tujuh pimpinan LPSK akan menilai pengajuan permohonan perlindungan tersebut.
Pada rapat rutin tersebut, LPSK juga akan memutuskan pengajuan perlindungan dari para pemohon lainnya. "Setiap Senin memang LPSK melakukan rapat paripurna. Nanti akan dibahas," katanya.
• Jumlah Denda Pelanggar PSBB Transisi Jakarta Terkumpul Rp 2,75 Miliar,Anies: Ini Tentang Keselamatan
Sebelumnya, Bareskrim Polri menetapkan Anita Dewi Kolopaking sebagai tersangka kasus penerbitan surat jalan dan surat bebas Covid-19 untuk Djoko Tjandra saat masih buron.
Polisi juga telah menahan Anita terhitung sejak Sabtu (8/8/2020). Wanita pengacara itu ditahan setelah diperiksa penyidik Bareskrim Polri sejak Jumat siang hingga Sabtu dini hari.
Berawal dari kasus hak tagih
Djoko Tjandra merupakan terpidana kasus pengalihan hak tagih Bank Bali senilai Rp 904 miliar, tahun 1998.
Kasus ini bermula ketika Djoko Tjandra yang mengusung bendera PT Era Giat Prima mengambil alih hak tagih Bank Bali. Djoko menagih ke Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) milik Sjamsul Nursalim senilai Rp 508 miliar dan Rp 200 miliar dari Bank Umum Nasional (BUN) milik Bob Hasan.
Saat itu, BDNI dan BUN masuk dalam program Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
• Lukisan Mural Bertema Keberagaman di Flyover Rawa Panjang Memotivasi Masyarakat Hidup Berdampingan
Setelah melobi ke sejumlah pejabat, Djoko Tjandra berhasil menjalankan perannya sehingga dana Rp 904 miliar mengucur dari Bank Indonesia (BI) ke Bank Bali dan PT Era Giat. Rinciannya, Rp 358 miliar ke Bank Bali dan Rp 546 miliar ke PT Era Giat.
Di kemudian hari, ditemukan adanya tindak pidana pada pengucuran dana dari BI tersebut. Djoko Tjandra pun jadi terdakwa. Namun Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan bebas terhadap Djoko Tjandra.
Pada tahun 2008, Kejaksaan Agung mengajukan peninjauan kembali (PK) untuk kasus Djoko Tjandra. Hasilnya, pada 11 Juni 2009, Mahkamah Agung (MA) menerima PK tersebut dan menjatuhkan hukuman dua tahun penjara serta harus membayar Rp 15 juta. MA juga memerintahkan uang Rp 546,166 miliar milik Djoko Tjandra di Bank Bali, dirampas untuk negara.
Namun, putusan itu tak bisa dieksekusi. Musababnya, Djoko Tjandra telah meninggalkan Indonesia sehari sebelum MA mengeluarkan putusan. Djoko Tjandra kabur pada 10 Juni 2009 dari Bandara Halim Perdanakusuma ke Papua Nugini.
Belakangan, Djoko Tjandra dikabarkan telah jadi warga negara Papua Nugini.
Urus e-KTP
Namun, di tengah pandemi Covid-19, Djoko Tjandra masuk ke Indonesia untuk mendaftarkan PK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Terakit urusan PK tersebut, Djoko menunjuk Anita Kolopaking sebagai pengacaranya.
Selain mengurus PK, Djoko Tjandra juga mengurus e-KTP di Kelurahan Grogol Selatan, Jakarta Selatan. Saat Djoko kabur tahun 2009, Indonesia belum menerapkan e-KTP. Djoko yang menggunakan nama Joko Tjandra, berhasil mendapatkan e-KTP.
Selesai urusan PK dan e-KTP, Djoko terbang ke Pontianak untuk kemudian ke Malaysia. Untuk memuluskan perjalanan, Djoko membawa surat jalan yang diteken Brigjen Pol Prasetijo Utomo.
Fakta Djoko Tjandra yang berstatus buronan berhasil mengurus e-KTP membuat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kejaksaan Agung (Kejagung) sepakat untuk memperbarui kerja sama.
Berdasar perjanjian kerja sama terbaru, Kejagung bakal rutin menyetor data buronan ke Kemendagri untuk dimasukkan ke database kependudukan.
Berbekal data dari Kejagung, petugas kependudukan dan catatan sipil (Dukcapil) bisa melakukan deteksi awal ketika ada buronan yang mengurus dokumen kependudukan.
Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kemendari, Zudan Arif Fakhrulloh menyatakan, pihaknya akan memasukkan nama-nama pada daftar pencarian orang (DPO) ke dalam database kependudukan.
Menurut Zudan, hal ini untuk mencegah pelaku kejahatan menyalahgunakan data kependudukan seperti yang dilakukan Djoko Tjandra.
Seperti diberitakan, buronan selama 11 tahun itu mendapat layanan e-KTP dari Kelurahan Grogol Selatan, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Secara teknis, petugas kelurahan tidak tahu bahwa Joko Tjandra sama dengan Djoko Tjandra , buronan Kejagung.
“Kemendagri sudah menerima data DPO dari Kejagung. Data DPO seluruh Indonesia,” ujar Zudan dalam keterangan tertulis, Kamis (6/8/2020). “Data itu nanti dimasukkan ke database kependudukan,” imbuhnya.
Ke depan, Kejaksaan Agung akan secara rutin menyetorkan data DPO kepada Dukcapil Kemendagri. Data DPO tersebut kemudian diteruskan ke Dukcapil di daerah. Sehingga, jika ada buronan yang mengajukan permohonan layanan data kependudukan bisa segera diidentifikasi.
Zudan Arif Fakrulloh menyatakan, Kemendagri telah melakukan penandatanganan nota kesepahaman dengan Kejagung terkait pembaruan pemanfaatan data kependudukan dalam rangka penegakan hukum. Penandatanganan dilakukan di Sasana Pradana Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Kamis (6/8/2020).
Menurutnya, kerja sama Kejagung dan Kemendagri bukanlah yang pertama. Kerja sama telah dilakukan selama tiga tahun dan diperbarui untuk memperpanjang masa kerja sama. “Pertama kali kerja sama Kejagung dan Kemendagri dilakukan tiga tahun lalu,” ujarnya.
“Ada dinamika yang menjadikan kita meng-adendum dan memperpanjang untuk menambah beberapa manfaat dengan perkembangan teknologi dan dinamika yang ada,” imbuhnya.
“Big data kita sudah 268 juta penduduk di database. Jadi teman-teman kajati kajari nanti pada saat mencari orang, memeriksa orang, membuat BAP sudah langsung bisa mengintegrasikan dengan database kependudukan,” ujar Zudan dikutip dari Kompas.com.
Selain menggunakan NIK, deteksi melalui sidik jari juga bisa dilakukan untuk mengungkap kejahatan selama yang bersangkutan telah melakukan perekaman e-KTP.
“Sidik jari juga bisa diggunakan untuk mengungkap korban kejahatan, kalau ada yang meninggal dunia, bawa alatnya, dipindai, nanti keluar datanya, yang penting yang bersangkutan sudah melaksanakan perekaman e-KTP,” tuturnya.
Metode ketiga adalah penggunaan face recognition (identifikasi lewat pemindaian gambar digital). Metode ini digunakan untuk mencocokkan dengan database yang ada dalam sistem di Kemendagri, utamanya untuk mendeteksi pelaku kejahatan di DPO.
“Dengan foto wajah, nanti dicocokkan dengan 192 juta yang ada dalam database. Selama 14 sampai 20 detik kita mencocokkan dengan sistem, nanti akan ada kemiripan-kemiripan,” kata Zudan. (*)
Sebagian dari artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul LPSK Isyaratkan Tolak Permohonan Perlindungan Anita Kolopaking