Virus Corona
Peneliti China Ungkap Respons Kekebalan Tubuh Orang Tanpa Gejala Atau OTG Lebih Lemah
Para peneliti di China mengungkapkan, respons kekebalan tubuh orang tanpa gejala (OTG) Covid-19 lebih lemah dibandingkan dengan orang dengan gejala.
WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Para peneliti di China mengungkapkan bahwa respons kekebalan tubuh orang tanpa gejala (OTG) Covid-19 lebih lemah dibandingkan dengan orang dengan gejala.
Tim penelitian dari Chongqing Medical University melakukan survei terhadap 37 kasus OTG berusia delapan hingga 75 tahun yang dikarantina di Rumah Sakit Daerah Wanzhou, Kota Chongqing.
Tim tersebut mendapati median pertumbuhan virus pada OTG lebih lama 14 hari daripada para pasien dengan gejala menengah, demikian sejumlah media China yang dirangkum ANTARA, Selasa (23/6/2020).
Baik dalam fase akut (periode ketika asam ribonukleat virus ditemukan di spesimen saluran pernafasan) maupun fase pemulihan dini (delapan pekan setelah meninggalkan rumah sakit), tingkat IgG atau antibodi spesifik Covid-19 pada kasus OTG jauh lebih rendah dibandingkan dengan orang dengan gejala.
Selain itu, penurunan kadar antibodi penetral pada fase awal pemulihan terjadi pada 30 kasus OTG, sedangkan orang dengan gejala hanya 23 kasus.
• Polda Metro Jaya Tangkap John Kei di Perumahan Taman Tytyan Indah Bekasi
• BREAKING NEWS: Ketua The Jakmania Tidak Setuju Liga 1 2020 Dilanjutkan
• BREAKING NEWS: DKI Ubah Sif Kerja Pegawai Perkantoran dengan Jeda Waktu Tiga Jam
Hasil penelitian tersebut mengindikasikan bahwa kasus OTG respons imunnya terhadap Covid-19 lebih lemah dibandingkan dengan orang dengan gejala.
Penurunan tingkat IgG dan penetralan level antibodi pada fase awal pemulihan berkontribusi pada kekebalan tubuh.
Peneliti: Ada potensi sampah masker jadi sumber mikroplastik baru
Sementara itu, sampah alat pelindung diri (APD) seperti masker perlu diolah secara khusus karena secara alami sulit terurai dan berpotensi menjadi sumber mikroplastik baru yang mencemari lingkungan, kata peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Muhammad Reza Cordova.
• Dini, Petugas PPSU Kelapa Gading Barat Ditabrak Mobil Boks saat Berangkat Kerja, Penabrak Kabur
"Masker kain itu karakternya mirip dengan baju dan itu lebih sulit terurai. Yang relatif agak sedikit terurai lebih cepat itu sebenarnya sampah masker medis," kata peneliti di Pusat Penelitian Oseanografi LIPI itu ketika dihubungi di Jakarta, Senin (22/6/2020).
Masker medis yang memiliki lapisan kapas akan cepat hancur di alam, tetapi jika menggunakan polimer berbahan plastik maka penguraian secara alami akan relatif lebih lama.
Bahkan, kata dia, bukan tidak mungkin bisa menjadi sumber mikroplastik yang baru.
Selain itu, kata anggota tim peneliti sampah LIPI itu, dengan bertambahnya penggunaan masker berbahan kain, seperti polyster, maka ada risiko munculnya sumber mikroplastik dari benang-benang tersebut.
• Kisah John Kei, Perintahkan Habisi Pamannya Sendiri, Penjara Tak Membuat Dirinya Jera
Tim peneliti sampah LIPI melakukan studi di dua muara sungai di Jakarta selama pandemi Covid-19, yaitu Cilincing dan Marunda, tempat di mana mereka melakukan penelitian jenis sampah pada 2016.
Mereka menemukan sampah APD, seperti masker, pelindung wajah, dan bahkan baju pelindung dalam jumlah signifikan di kedua lokasi itu, dari sebelumnya nihil pada Maret-April 2016 naik menjadi 16 persen saat periode yang sama pada 2020.