Viral Media Sosial

JPU Kasus Novel Baswedan Dibully, Dr Aldo Joe Ingatkan Batasan Kebebasan Berpendapat

JPU Kasus Novel Baswedan Dibully, Dr Aldo Joe Ingatkan Batasan Kebebasan Berpendapat

Editor: Dwi Rizki
istimewa
Praktisi Hukum Dr Aldo Joe SH MH 

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Kasus penganiayaan berat yang dialami penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan mendapat sorotan banyak pihak.

Bukan hanya sosok dan motif para terdakwa, yakni Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis, masyarakat kini menyoroti barisan Jaksa Penuntut Umum (JPU) kasus tersebut.

Satu di antaranya adalah JPU dari Kejaksaan Negeri Jakarta Utara, Fedrik Adhar Syarifuddin yang dibully masyarakat lewat media sosial.

Fedrik Adhar Syaripuddin dibully usai bersama timnya membacakan surat tuntutan yang menuntut kedua terdakwa dengan hukuman satu tahun penjara di Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada Kamis (11/6/2020).

Fenomena tersebut dinilai Praktisi Hukum Dr Aldo Joe SH MH merupakan bentuk luapan opini masyarakat.

Masyarakat menilai tuntutan yang dilayangkan JPU sangat timpang dan di luar akal sehat.

"Yang menjadi permasalahan, banyak sekali masyarakat yang ikut berpendapat tanpa memahami konteks secara keseluruhan, bahkan pendapat tersebut malah menjadi bias dan melebar keranah pribadi jaksa tersebut, hingga keluarganya dengan bahasa yang tidak pantas padahal keluargajaksa tersebut tidak ikut dalam proses penuntutan tersebut" ungkap Aldo Joe.

"Opini masyarakat yang bebas dan lepad kontrol menyerang pribadi dan keluarga tersebut dikhawatirkan dapat membuat jalannya sidang menjadi kurang objektif, dan memberikan stigma negatif pada pihak tertentu," tambahnya.

Sebab, merujuk Pasal 1 ayat 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum.

Selain itu, melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Sedangkan penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

"Dalam proses penanganan pidana, penetapan JPU ditentukan oleh pimpinan pada Kejaksaan Negeri, Kejaksaan Tinggi hingga Kejaksaan Agung sedangkan dalam penuntutan, dibentuklah tim JPU," papar Aldo.

Sedangkan mengenai tinggi rendahnya tuntutan dijelaskannya merupakan keputusan tim JPU terdiri dari JPU Kejaksaan Negeri dan Kejaksaan Negeri terkait sesuai porsinya masing-masing, yang mana bukan keputusan salah satu anggota JPU.

Rencana penuntutan pun berjenjang, mulai dari JPU kepada Kepala Seksi Pidana Umum (Kasipidum) kemudian Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) hingga Kejagung (Kejaksaan Agung) sesuai jenjangnya.

"Bahkan khusus perkara penting-atensi publik, tuntutan pun ditentukan hingga pucuk pimpinan, hingga Jaksa Agung. Dengan begitu, dapat dikatakan serangan terhadap Fedrik salah alamat dan sasaran," papar Aldo Joe.

Namun, fenomena yang terjadi justru kini masyarakat menyerang penegak hukum.

Tidak hanya ruang lingkup kasus yang tengah ditangani, tetapi merambah kepada kehidupan pribadinya.

Hal tersebut disesalkan Aldo Joe, mengingat serangan secara langsung menyudutkan aparat penegak hukum.

Padahal, tuntutan yang dilayangkan oleh JPU bukanlah akhir dari suatu hukuman pidana.

Sebab, merujuk Pasal 1 ayat 8 dan 9 UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili.

"Hakimlah yang diberi wewenang untuk memutus suatu sanksi sesuai alat bukti dan keyakinan majelis hakim yang memeriksa perkara tersebut," ungkap Aldo Joe.

"Intinya hakim dapat memutus secara bebas, seperti memutus lebih tinggi dari apa yang dituntut oleh JPU atau sebaliknya," tambahnya.

Undang-Undang ITE

Terkait aksi bully yang dilakukan terhadap Fedrik Adhar Syaripudin lewat media sosial, Dr Aldo Joe mengimbau agar segera dihentikan.

Sebab, pernyataan dalam media sosial dalam bentuk apapun harus dapat dipertanggungjawabkan.

Hal tersebut disampaikannya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 sebagaimana perubahan dari UU Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Dalam Pasal 45 ayat 3 berbunyi, 'Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah'.

Kemudian pasal 45A Ayat 2 berbunyi, 'Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

"Atas dasar itu saya berharap masyarakat bisa lebih jeli mengutarakan pendapat, gunakan jari-jari kita lebih bijak lagi, agar tidak berhadapan dengan sanksi hukum" ungkap Aldo Joe.

"Dikarenakan masyarakat tidak paham, janganlah memposting ke ranah pribadi," tutupnya.

Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved