Virus Corona Jabodetabek

Dampak Penumpang Membeludak, PT Angkasa Pura II dan Maskapai Batik Air Dapat Sanksi dari Kemenhub RI

PT Angkasa Pura II dan Maskapai Batik Air dapat sanksi dari Kementerian Perhubungan (Kemenhub) RI.

Editor: PanjiBaskhara
Istimewa
Ratusan penumpang mengantre di posko pengecekan dokumen sebelum diperbolehkan menaiki pesawat di Terminal 2 Bandara Internasional Soekarno-Hatta pada Kamis (14/5/2020) pagi. 

WARTAKOTALIVE.COM, TANGERANG - PT Angkasa Pura II dan Maskapai Batik Air dapat sanksi dari Kementerian Perhubungan (Kemenhub) RI.

Diketahui, PT Angkasa Pura II dan Maskapai Batik Air melanggar aturan dalam pencegahan penyebaran virus corona atau Covid-19.

Pelanggaran tersebut merupakan pelanggaran dilakukan operator penerbangan atas Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 18 tahun 2020.

Aturan itu tentang Pengendalian Transportasi dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).

Jadi Wahana Penyebaran Covid-19 Saat Penumpukan Penumpang, Ombudsman Evaluasi Bandara Soetta

Penjelasan Lengkap Bandara Soetta Satu Pesawat Berisikan 131 Penumpang Positif Corona

Bandara dan Pasar Dibuka tapi Masjid Tidak, Politikus PAN Sebut Pemerintah Dungu

Kemenhub melalui Ditjen Perhubungan Udara telah memberikan sanksi kepada operator angkutan udara dan operator bandar udara, pada Selasa (19/5/2020).

Seperti diketahui sanksi ini diberikan akibat membeludaknya penumpang yang terjadi di Bandara Internasional Soekarno Hatta, Tangerang pada beberapa hari lalu.

PT Angkasa Pura II selaku operator bandara dan Batik Air sebagai maskapai yang terlibat dalam peristiwa tersebut.

“Berdasarkan investigasi yang dilakukan oleh inspektur kami, terdapat pelanggaran berkaitan dengan physical distancing yang dilakukan oleh operator angkutan udara dan operator bandar udara,” ujar Juru Bicara Kementerian Perhubungan Adita Irawati dalam keterangannya kepada Warta Kota, Selasa (19/5/2020).

Ia mengatakan, operator angkutan udara melanggar ketentuan yang tertera pada pasal 14 poin b.

Pasal itu terkait pembatasan jumlah penumpang paling banyak 50 persen dari jumlah kapasitas tempat duduk dengan penerapan jaga jarak fisik (physical distancing).

“Kepada operator angkutan udara yang terbukti melanggar, kami memberikan sanksi berupa pembekuan izin di rute-rute penerbangan yang melanggar tersebut,” ungkap Adita.

Dijelaskannya, selain maskapai penerbangan, Ditjen Perhubungan Udara juga memberikan sanksi kepada operator bandar udara.

“Berdasarkan PM 18 tahun 2020, operator prasarana transportasi wajib menjamin penerapan protokol kesehatan berupa sterilisasi rutin melalui penyemprotan disinfektan dan jaga jarak fisik (physical distancing)"

"Hasil investigasi kami menunjukkan bahwa terdapat pelanggaran terhadap penerapan physical distancing oleh operator bandar udara"

"Sehingga kami memberikan surat peringatan agar hal seperti ini dapat diantisipasi dengan baik dan tidak kembali terulang,” kata Adita.

Adita menegaskan bahwa Kemenhub akan menindak tegas setiap pelanggaran yang dilakukan oleh para pemangku kepentingan transportasi udara.

“Kami harap seluruh stakeholder penerbangan nasional dapat mematuhi aturan dan regulasi yang berlaku, terlebih lagi kita tengah menghadapi wabah yang terus memakan korban jiwa"

"Kami tegaskan, tidak ada toleransi sedikit pun terhadap sekecil apapun pelanggaran yang dilakukan terhadap peraturan dan regulasi penerbangan nasional,” tegas Adita.

Adita juga mengimbau kepada para pengguna moda transportasi udara untuk dapat berperan aktif dalam menjaga keselamatan, keamanan dan kenyamanan penerbangan.

“Seluruh peraturan dan regulasi penerbangan tersebut kami rancang untuk memastikan bahwa transportasi udara tidak menjadi sarana penyebaran Covid-19 di Indonesia"

"Seluruh stakeholder harus mematuhi aturan dan regulasi yang ada, dan menyadari bahwa operasi penerbangan dikecualikan ini untuk memberikan layanan kepada masyarakat dengan tetap menjaga protokol kesehatan,” papar Adita.

Ombudsman Evaluasi Bandara Soetta

Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya meminta Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 mengevaluasi operasional Bandara Soekarno-Hatta.

Hal itu diperlukan untuk mengatasi penumpukan penumpang di bandara sebagaimana terjadi pada Kamis (14/5/2020) lalu. 

“Evaluasi ini penting jika kebijakan kita terkait penanganan Covid-19 masih berfokus pada pemutusan rantai penyebaran virus dan belum berubah menjadi pendekatan herd immunity,” tutur Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya, Teguh P Nugroho kepada Warta Kota, Selasa (19/5/2020).

Pihak berwenang perlu mengevaluasi pelaksanaan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Selama Masa Mudik Idul Fitri Tahun 1441 Hijriah Dalam Rangka Pencegahan Covid-19.

Selain itu juga Surat Edaran Gugus Tugas Nomor 4 Tahun 2020 tentang Kriteria Pembatasan Perjalanan Orang Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di Bandara Soekarno Hatta setelah peristiwa penumpukan penumpang.

Permintaan itu ditujukan pada Ketua Pelaksana Gugus Tugas sesuai kewenangannya pada Pasal 6 poin b dan c Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang bertindak selaku koordinator, pengendali, dan pengawas pelaksanaan percepatan kegiatan penanganan Covid 19.

Saran tersebut disampaikan oleh Ombudsman Jakarta Raya setelah melakukan permintaan keterangan dan inspeksi mendadak ke Bandara Soetta pada hari Sabtu (16/5/2020).

Langkah itu dilakukan untuk melihat pelayanan publik atas pencegahan Covid-19 di Bandara Soetta selama pelaksanaan kedua kebijakan tersebut mulai Kamis (15/5/2020) sampai saat Ombudsman Jakarta Raya melakukan pemeriksaan.

“Kami menemukan, ada potensi besar Bandara Soetta menjadi wahana cluster penyebaran Covid-19 baik pada tanggal 14 Mei 2020 maupun di hari-hari berikutnya,” ucapnya.

Potensi tersebut didasarkan pada hasil temuan Ombudsman Jakarta Raya terkait kesiapsiagaan otoritas Bandara Soetta dan para pihak lainnya dalam melaksanakan kedua kebijakan tersebut.

Ombudsman Jakarta Raya menemukan bahwa seluruh dokumen perjalanan dalam peristiwa 14 Mei 2020 dan sampai hari saat proses pemeriksaan dilakukan, tidak ada yang divalidasi keabsahannya.

”Jangankan untuk melakukan validasi dokumen-dokumen perjalanan tersebut, untuk melakukan pengecekan kelengkapan dokumen saja otoritas bandara dan para pihak lainnya di bandara tidak mampu,” kata Teguh.

Khusus pada tanggal 14 Mei 2020, berdasarkan keterangan dan dokumen yang diperoleh tim Pemeriksa Ombudsman, saat itu hanya ada satu check point untuk 13 penerbangan.

Sementara jangka waktu antara satu penerbangan dengan yang lain tak lebih dari 20-30 menit saja.

Dengan asumsi penerbangan tersebut menggunakan pesawat tipe Boeing 737-900ER atau yang sekelas dengan kapasitas tempat duduk 215 tempat duduk.

Penerbangan tersebut hanya boleh diisi 50% sehingga ada sekitar 1.300 calon penumpang yang harus diverifikasi oleh seluruh petugas di lapangan.

“Jadi dengan situasi ini bisa dipastikan, tidak ada proses check and re-check oleh petugas di lapangan terhadap keabsahan dokumen tersebut"

"Bahkan untuk sekadar memastikan bahwa para penumpang memiliki seluruh dokumen yang diperlukan"

"Dan hal tersebut terkonfirmasi dari keterangan Otoritas Bandara yang menyatakan bahwa tidak ada proses validasi dokumen," ungkapnya.

Hal tersebut tidak hanya terjadi pada tanggal 14 Mei 2020 saja.

Tim Ombudsman pada saat melakukan pemeriksaan di tanggal 16 Mei 2020 menemukan penumpang tetap bisa berangkat sekalipun dari daftar check list dokumen yang bersangkutan tidak memenuhi syarat.

Pihak Otoritas Bandara mengaku telah melakukan perbaikan dan evaluasi dengan memecah check point dari hanya dipusatkan di 1 (satu) titik menjadi dibagi ke dalam 4 lapis.

Namun hal tersebut tidak lantas memperbaiki sistem pengecekan keabsahan dokumen yang dimiliki penumpang.

Jumlah personil dan kewenangan yang terbatas serta jeda waktu antar penerbangan menyebabkan proses pengecekan keabsahan dokumen kepada pihak yang memberikan izin termasuk para pejabat Eselon II bagi PNS yang melakukan perjalanan dinas, pimpinan perusahaan, dan atau aparat pemerintah yang mengeluarkan izin perjalanan atau rumah sakit yang menjalankan tes Covid tidak mungkin dilakukan.

“Jadi perbaikan yang dilakukan hanya untuk menapis penumpang dari sisi kelengkapan administrasi bukan pada validasi dokumen, dan di level pemeriksaan kelengkapan saja masih bolong,” ujar Teguh.

Hal ini masih terjadi, karena pemeriksaan awal di check point 1 dan pemeriksaan akhir di check point 4 dilakukan oleh pihak maskapai.

Aspek lain yang menjadi temuan oleh Ombudsman adalah tidak adanya proses strerilisasi kawasan pemeriksaan.

Banyak pihak yang tidak berkepentingan termasuk terduga calo yang membantu para calon penumpang untuk lolos proses pemeriksaan.

Potensi tersebut sangat mungkin terjadi, karena Ombudsman menemukan pihak-pihak tersebut juga menawarkan jasa perbantuan di Drop Zone Area.

Mereka menawarkan jasa membantu penumpang untuk berangkat atau jika pesawat telah memenuhi batas kuota, tawaran berikutnya berangkat dengan travel plat hitam ke daerah-daerah tujuan penumpang.

“Kami sampai pada kesimpulan bahwa pelaksanaan mudik dengan pembatasan yang pemeriksaan dokumennya dilaksanakan langsung di bandara adalah sebagai mission impossible bagi para operator di lapangan,” imbuh Teguh.

Ombudsman mengkhawatirkan hal tersebut juga akan terjadi di stasiun kereta untuk para calon penumpang kereta luar biasa dan terminal-terminal.

“Bandara yang proses pemeriksaannya jauh lebih baik dan ketat di banding stasiun dan terminal saja tidak mampu melakukan verifikasi keabsahan dokumen, apalagi di stasiun dan terminal," bebernya.

Terjadi kekacauan 

Permasalahan tersebut sebenarnya telah diwanti-wanti sejak dari awal oleh Anggota Ombudsman Republik Indonesia, Alvin Lie.

Sejak dari awal, Alvin mengingatkan bahwa potensi Maladminitrasi dalam pelaksanaan Permenhub 25/2020 di Bandara dapat memicu kekacauan.

“Lemahnya pengawasan dan koordinasi oleh Otorita Bandara dengan AirNav Indonesia (pengaturan Slot), PT. Angkasa Pura II (pengaturan fasilitas, SDM, dan alur antrean), airlines (jumlah penumpang dan jadwal pemberangkatan), KKP (verifikasi kesehatan), serta Gugus Tugas (verifikasi persyaratan administrasi) akan berdampak pada kekacauan saat pelaksaannya nanti,” papar Alvin.

Penyebab lain yang telah diingatkan Alvin Lie yaitu buruknya proses perencanaan penyelengaraan pelayanan tersebut.

“Pemerintah tidak menyiapakan sistem layanan yang sudah melaui proses quality assurance yang memadai seperti simulasi dan evaluasi dari hasil simulasi tersebut,” lanjut Alvin lagi.

Untuk itu, Ombudsman Jakarta Raya sebagai lembaga pengawas pelayanan publik di Jakarta dan wilayah penyangga memberikan saran korektif kepada para pihak termasuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.

“Benar bahwa kebijakan ini merupakan kebijakan di tingkat pusat, tapi dampak kebijakan tersebut berpengaruh terhadap layanan publik di wilayah pengawasan kami,” sambung Teguh.

Adapun saran korektif dari Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya adalah:

1. Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 melakukan tracking kepada para penumpang yang berangkat pada tanggal 14 Mei 2020 dan setelahnya karena ada potensi para penumpang tersebut memberikan keterangan palsu terkait status kesehatan mereka dan adanya proses pelanggaran batas maksimal jumlah penumpang yang pastinya melanggar ketentuan physical distancing di dalam pesawat.

Hal ini harus dilakukan mengingat tidak ada proses verifikasi keabsahan data oleh para pihak dalam peristiwa tersebut.

2. Menghentikan seluruh proses kegiatan penerbangan, perjalanan kereta kereta api, maupun angkutan transportasi mudik lainnya sebelum dilakukan proses evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan yang telah ada selama ini termasuk perlunya simulasi sistem dan uji coba mekansime pengecekan keabsahan dokumen.

3. Proses verifikasi dan pemeriksaan dokumen tidak mungkin dilaksanakan di tingkat operator baik di bandara, stasiun maupun para petugas kepolisian dan aparat penegak hukum lainnya di lapangan baik karena keterbatasan personil, kewenangan, kapasitas, potensi conflict of interest, dan keterbatasan waktu untuk melakukan pengecekan.

Perlu adanya peninjauan kebijakan di dalam Permenhub 25/2020 agar proses pemeriksaan keabsahan dokumen dilakukan melalui satu pintu di Gugus Tugas baik di tingkat pusat maupun provinsi melalui proses screening dan wawancara kepada pemberi izin perjalanan setingkat Eselon II di PNS, direktur di perusahaan swasta, dan atau surat jalan dari aparat pemerintah desa atau kelurahan.

Termasuk di dalamnya adalah kesiapan para pemberi izin tersebut menghadapi konsekuensi hukum pemalsuan dokumen jika memberikan izin perjalanan yang tidak sesuai.

4. Sebagai pelaksana teknis pemeriksaan dokumen penerbangan, Kepala Otoritas Bandara Soekarno Hatta harus menempatkan petugasnya dan petugas Polri pada Check Point 1 untuk menggantikan petugas dari maskapai dan melakukan filter potensi kecurangan yang dilakukan oleh calon penumpang serta mencegah penyalahgunaan berkas yang tidak sesuai ketentuan dan tujuan perjalanan atau tidak berkaitan dengan penanganan Covid-19.

5. Kepala Otoritas Bandara Soekarno Hatta memerintahkan Inspektur Penerbangan untuk meningkatkan pengawasan serta melakukan tindakan tegas kepada setiap pelanggar termasuk maskapai dengan mengacu kepada kewenangan serta ketentuan yang berlaku.

6. Direktur Utama Angkasa Pura II diminta melakukan analisis dan evaluasi tata ruang serta sarana prasarana agar tidak terjadi penumpukan penumpang pada saat pemeriksaan di setiap check point terkait pelaksanaan kebijakan physical distancing.

7. Kapolres Bandara Soekarno Hatta melakukan pengamanan serta sterilisasi calo atau orang yang tidak berkepentingan di area Bandara Soekarno Hatta untuk memutus tindakan kecurangan dengan tujuan meloloskan calon penumpang yang tidak memenuhi kriteria sebagaimana Surat Edaran Gugus Tugas Nomor 4 Tahun 2020.

Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved