Virus Corona

Fadli Zon Sebut Jokowi Sering Lepas Tanggung Jawab, Penetapan Status hingga Penanganan Virus Corona

Fadli Zon Sebut Jokowi Sering Lepas Tanggung Jawab, mulai dari penetapan status hingga penanganan virus corona

Editor: Dwi Rizki
Istimewa
Fadli Zon adalah Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI, saat menjadi pembicara dalam sesi pertama "The Central Role of Education in the 2030 Agenda for Sustainable Development" di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). 

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon mengaku kecewa dengan pernyataan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo.

Terlebih pernyataan Jokowi-sapaan Joko Widodo; yang akan mempertimbangkan pilihan darurat sipil dalam penanganan virus corona di Indonesia.

Hal tersebut diungkapkan Fadli Zon menjadi bukti lepas tangannya Jokowi dalam menangani wabah virus corona.

Kekecewaan tersebut disampaikan oleh Fadli Zon lewat akun twitternya @fadlizon; pada Selasa (31/3/2020) malam.

"Sy mencatat, ada beberapa kali Presiden @jokowi mengelak mengambil tanggung jawab penuh dalam menangani krisis akibat wabah Covid-1," ungkap Fadli Zon.

Pertama, disebutkannya ketika kasus pertama Covid-19 pertama kali diakui oleh Pemerintah pada awal Maret 2020 lalu.

Ketika itu Jokowi menolak menerapkan status darurat nasional.

Padahal, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sejak 10 Maret 2020 telah menyurati Jokowi agar menetapkan status darurat nasional.

"Rekomendasi status darurat nasional itu bukan hal yg mengada-ada, sebab WHO sendiri sudah menetapkan status darurat global untuk menghadapi Covid-19," tegas Fadli Zon.

Bukannya menetapkan status 'darurat nasional', Pemerintah Indonesia katanya justru memilih status 'darurat bencana Corona'.

Sehingga secara resmi, Indonesia kini memiliki 'status keadaan tertentu darurat bencana wabah penyakit akibat virus Corona'.

Itu sebabnya, karena tak diakui sbg darurat nasional, maka status darurat saat ini bukan diberikan oleh Presiden, melainkan oleh dibebankan kepada Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

"Presiden malah mempersilakan tiap kepala daerah menentukan status daerahnya masing-masing," ungkap Fadli Zon.

Tolak Darurat Sipil, Fadli Zon:Status Darurat SIpil Adalah Upaya Pemerintah Lari dari Tanggung Jawab

Beda Karantina WIlayah dengan Darirat Sipil

Kedua, akhir pekan lalu Menkopolhukam Mahfud MD menyatakan pemerintah sedang menggodok Peraturan Pemerintah (PP) mengenai karantina wilayah.

PP itu disusun untuk merespon kebijakan sejumlah kepala daerah yang menetapkan status ‘lockdown’ di daerahnya masing-masing.

Status ‘lockdown’ secara substantif ditegaskannya sama dengan istilah 'karantina wilayah' yang ada dalam Undang-undang NOmor 6 Tahun 2018.

Dibukanya opsi karantina wilayah menurutnya sebuah kemajuan.

Karena sebelumnya Jokowi dan sejumlah menteri tegas menolak pilihan tersebut.

Akan tetapi belum berselang sepekan, Jokowi kini malah melempar isu darurat sipil ketimbang memperjelas rumusan PP mengenai karantina wilayah.

"Sy kira, inti dari semua ini adalah Presiden dan Pemerintah sedang berusaha untuk mengelak dari tanggung jawab memenuhi kebutuhan hidup rakyat di tengah situasi karantina," ungkap Fadli Zon.

Sebab, berdasarkan Pasal 55 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2018, Pemerintah diwajibkan menanggung kebutuhan hidup warga di wilayah karantina.

Bahkan, bukan hanya manusia yang harus dijamin kebutuhannya oleh Pemerintah, tetapi juga hewan ternak.

Hal tersebut dipaparkannya sesuai dengan Pasal 55 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 6 Tahun 2018, hewan peliharaan pun harus ditanggung juga kebutuhannya oleh Pemerintah.

"Sederhananya, kalau Pemerintah menerapkan opsi karantina wilayah, maka Pemerintah harus memberi rakyat makan dulu, baru kemudian melarang mereka bepergian," jelas Fadli ZOn.

"Tapi, dengan status darurat sipil, rakyat dilarang bepergian, dan Pemerintah tak punya kewajiban memberikan apapun. Rakyat disuruh cari makan sendiri," tambahnya.

"Saya kira intinya adlh itu. Pemerintah sedang bersiasat untuk mengelak dari tanggung jawabnya," tegas Fadli Zon.

Alasan Tidak Kunjung DItetapkan Sebagai Darurat Nasional 

Hal tersebut menurutnya menjelaskan alasan status wabah virus corona tak pernah ditetapkan sebagai darurat nasional hingga saat ini.

Sebab, lanjutnya, begitu ditetapkan sebagai darurat nasional, sesuai dengan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, maka masyarakat terdampak akan mendapatkan perlakuan tertentu.

Selain harus diselamatkan dan dievakuasi, masyarakat terdampak juga akan dipenuhi kebutuhan dasarnya, mulai dari kebutuhan air bersih dan sanitasi, pangan, sandang, pelayanan kesehatan, pelayanan psikososial, hingga penampungan dan tempat hunian.

Selain itu, Pemerintah juga harus menyiapkan Posko Nasional, pos lapangan, pos pendukung, serta pos pendamping darurat bencana di semua wilayah.

"Saya kira, itu semua yang sedang coba dihindari oleh Pemerintah melalui opsi darurat sipil ini," ungkap Fadli Zon.

"Jika benar itu adlh alasannya, maka jelas ini upaya lari dri tanggung jawab," jelasnya.

Konyol Tangani Masalah Kesehatan Lewat Darurat Sipil

Lebih lanjut dipaparkannya, ketika Undang-undang Karantina Kesehatan dibahas di DPR RI, salah satu alasan kenapa dibutuhkan peraturan tersebut adalah untuk mencegah terjadinya Public Health Emergency of Intenationai Concern (PHEIC).

Hal tersebut katanya sesuai dengan amanat International Health Regulations (IHR) tahun 2005.

Dalam melaksanakan amanat tersebut, sesuai rumusan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2018, Pemerintah Indonesia katanya harus menghormati sepenuhnya martabat, hak asasi manusia, dan dasar-dasar kebebasan seseorang serta penerapannya secara universal.

"Itu amanatnya. Jadi, konyol sekali jika kini kita berusaha mengatasi public health emergency tadi dengan skema darurat sipil," Jelas Fadli ZOn.

"Kesimpulannya, agenda untuk menerapkan darurat sipil itu harus ditolak. Di tengah situasi krisis, Pemerintah tak boleh lari dari tanggung jawabnya," tambahnya.

"Dan itu yang akan kita kejar: tanggung jawab Presiden dan Pemerintah dalam mengatasi krisis Covid-19 sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh UU No. 6/2018 tentang Karantina Kesehatan," tutup Fadli Zon.

Darurat Sipil Bukti Pemerintah Lepas Tanggung Jawab

Pernyataan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo yang mempertimbangkan darurat sipil dalam penanganan virus corona disoroti tajam Fadli Zon.

Wakil Ketua Partai Gerindra itu berpendapat, upaya pemerintah menerapkan status darurat sipil dalam menghadapi wabah Covid-19 adalah upaya lepas dari tanggung jawab.

Hal tersebut disampaikan Fadli Zon lewat akun twitternya @fadlizon; pada Selasa (31/3/2020) malam.

Dalam postingannya, Fadli Zon mengaku terkejut atas pernyataan jokowi-sapaan Joko WIdodo; saat memimpin rapat terbatas dengan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 lewat video conference dari Istana Bogor, Bogor, Jawa Barat pada Senin (30/3/2020).

"Menurut saya, itu keputusan yg aneh dan berbahaya. Sy sebut aneh, karena yang sedang kita hadapi saat ini adalah krisis kesehatan, bukan kekacauan keamanan," ungkap Fadli Zon.

"Sehingga, opsi menerapkan darurat sipil tentu saja mengherankan," tambahnya.

Selain itu, Indonesia dijelaskannya telah memiliki Undang-undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan.

Dalam peraturan tersebut memuat berbagai klausul mengenai situasi darurat kesehatan sebagaimana yang kini tengah dihadapi bersama.

"UU No. 6/2018 bahkan ditandatangani oleh Presiden @jokowi dan @DPR_RI periode 2014-2019," ujar Fadli Zon.

"Kenapa Presiden justru kembali lagi ke UU No. 23/1959 tentang darurat keamanan yg sudah jadul? Selain jadul, UU lahir dalam situasi yg jauh berbeda dengan yg kini sedang kita hadapi," jelasnya.

Terlebih, Fadli Zon mengingatkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan merupakan inisiatif pemerintahan Jokowi.

Sehingga menurutnya sangat aneh apabila Jokowi yang mengusulkan dan menerima undang-undang, tetapi tidak mau menerapkannya.

Padahal situasi saat ini ditegaskan Fadli Zon sangat memerlukannya.

Darurat Sipil Sangat Berbahaya

Keputusan untuk menerapkan status darurat sipil yang diatiur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya menurutnya sangat berbahaya.

Karena dijelaskannya akan memberi kewenangan koersif kepada aparat keamanan dengan mengesampingkan prosedur hukum standar.

Satu di antaranya sesuai dengan Pasal 13 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1959.

Penguasa Darurat Sipil berhak mengadakan peraturan-peraturan untuk membatasi pertunjukan-pertunjukan, percetakan, penerbitan, pengumuman, penyampaian,penyimpanan, penyebaran, perdagangan dan penempelan tulisan-tulisan berupa apapun juga, lukisan-lukisan, klise-klise dan gambar-gambar.

Penguasa Darurat Sipil sesuai ketentuan tersebut lanjutnya, berhak mengadakan sensor terhadap penerbitan, tulisan, percetakan, dan lain-lain.

"Jadi, Presiden, sbg Penguasa Darurat Sipil, mendapat kekuasaan ekstra yg sangat besar," ungkap Fadli Zon.

"Padahal, yg dibutuhkan saat ini hanyalah Presiden cukup menggunakan kekuasaan sebagaimana telah diberikan oleh UU No. 6/2018 saja. Itu sudah lebih dari cukup untuk mengatasi krisis!," tegasnya. 

Selain tidak sensitif dengan aspirasi para tenaga medis yang telah disampaikan dalam tiga pekan terakhir, dengan melempar isu darurat sipil Presiden juga tidak sensitif dengan aspirasi masyarakat sipil.

Masyarakat punya trauma dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1959 tersebut.

Undang-undang tersebut terakhir kali digunakan oleh Presiden Megawati untuk memberlakukan status darurat militer di Aceh.

"Mari kita dudukkan kembali persoalan ini pada porsinya," jelas Fadli Zon.

Isu utama dalam mengatasi pandemi Covid-19 ditegaskannya adalah menyelamatkan kesehatan masyarakat.

Sejauh ini, menurutnya terdapat empat metode untuk mencegah dan mengatasi penyebaran virus tersebut.

Pertama adalah isolasi, yaitu memisahkan orang-orang yang terinfeksi Covid-19 dari orang-orang yang sehat.

Kedua adalah karantina, yaitu pembatasan aktivitas orang-orang yang diduga terkena virus, namun belum menunjukkan gejala sakit.

Karantina ini bisa diterapkan pada individu atau juga wilayah.

Ketiga social distancing, yaitu menjaga jarak dalam interaksi sosial.

Tujuannya untuk mencegah penularan.

Social distancing ini bukan hanya berlaku individual, tapi benar-benar sosial.

Itu sebabnya kenapa aktivitas ekonomi dan perkantoran harus dikurangi, atau bahkan ditiadakan.

sedangkan keempat, community containment alias penahanan komunitas.

Community containment adalah bentuk intervensi untuk membatasi akses dan aktivitas seluruh komunitas dan wilayah.

Kecuali mobilitas untuk keperluan logistik vital, semua aktivitas lainnya harus dikurangi seminimal mungkin.

"Itu adalah empat metode yg dikenal di dunia untuk mencegah dan mengatasi pandemi global, termasuk Covid-19. Dan tidak ada 'darurat sipil' di dalamnya," ungkap Fadli Zon.

"Kita bisa jadi bahan tertawaan dunia jika melakukannya. 'Darurat Sipil' adalah solusi dagelan di tengah Covid-19," tambahnya.

Konsep Darurat SIpil untuk Kedaruratan Pertahanan

Sebab lanjutnya, konsep darurat sipil dalam UU Nomor 23 Tahun 1959 adalah mengenai keadaan bahaya.

Konteksnya adalah isu pertahanan dan keamanan yang bersifat politik.

"Jadi, sangat tidak relevan jika digunakan sbg dasar kebijakan penanganan wabah," imbuhnya.

Alih-alih memperjelas peta jalan penanganan krisis, Fadli on berpendapat pernyataan Jokowi mengenai darurat sipil itu menandai babak baru ketidakpastian hukum, kebijakan, serta rantai tanggung jawab dalam mengatasi wabah Covid-19.

"Untuk kesekian kalinya Presiden, menurut saya, kembali menghindari tanggung jawab penanganan krisis," jelasnya.

Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved