RUU Ketahanan Keluarga

LGBT Dianggap Penyimpangan Seksual dalam RUU Ketahanan Keluarga, Memang LGBT Bisa Disembuhkan?

LGBT Dianggap Penyimpangan Seksual dalam RUU Ketahanan Keluarga, Memang LGBT Bisa Disembuhkan?

istimewa
Ilustrasi terkakit LGBT. Dalam RUU Ketahanan Keluarga LGBT dianggap penyimpangan seksual. 

Berdasarkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga, keluarga atau individu homoseksual dan lesbian ( lesbian, gay, biseksual, dan transgender/LGBT) wajib melapor.

Berdasarkan draf yang dikonfirmasi Kompas.com ke Badan Legislasi DPR, Selasa (18/2/2020), aturan itu tertuang dalam Pasal 85-89 RUU Ketahanan Keluarga.

Pasal 85 mengatur tentang penanganan krisis keluarga karena penyimpangan seksual. Penyimpangan seksual yang dimaksud dalam Pasal 85, salah satunya adalah homoseksualitas.

Calon Wali Kota Depok Perempuan dari PKS: LGBT Sudah Masuk Area Lampu Kuning, Harus Dibuat Peraturan

VIDEO : PDIP Minta Wali Kota Depok Tarik Imbauan Soal Razia Aktivitas LGBT

"Homosex (pria dengan pria) dan lesbian (wanita dengan wanita) merupakan masalah identitas sosial di mana seseorang mencintai atau menyenangi orang lain yang jenis kelaminnya sama," demikian bunyi draf RUU Ketahanan Keluarga itu.

 Selanjutnya, dalam Pasal 86, keluarga yang mengalami krisis keluarga karena penyimpangan seksual wajib melaporkan anggota keluarganya kepada badan yang menangani ketahanan keluarga atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mendapatkan pengobatan atau perawatan.

Berikutnya, dalam Pasal 87, setiap orang yang mengalami penyimpangan seksual juga wajib melaporkan diri.

Kemudian, adalam Pasal 88-89 diatur tentang lembaga rehabilitasi yang menangani krisis keluarga dan ketentuan mengenai pelaksanaan wajib lapor.

Inilah Foto-foto Persiapan Autopsi Jenazah Zefania Putri Karen Pooroe di TPU Tanah Kusir

Salah satu pengusul RUU Ketahanan Keluarga, anggota Fraksi Gerindra Sodik Mujahid, menyatakan, perilaku LGBT wajib dilaporkan untuk mendapatkan perawatan atau pengobatan seperti yang tertuang dalam draf RUU.

"Coba kita lihat lebih mendasar. Contoh homoseksual, apakah itu tidak mengganggu kepada masa depan umat manusia dalam basis keluarga?" kata Sodik, Selasa (18/2/2020).

 Menurut dia, pada prinsipnya RUU ini bertujuan memberikan perlindungan dan penguatan bagi keluarga. Dia mengatakan, keluarga merupakan lembaga paling dasar dalam kehidupan sosial manusia.

"Semua etika, moral, perilaku dimulai dari keluarga. Kita harus menguatkan keluarga. Menguatkan mutu keluarga berkualitas, termasuk melindungi keluarga dari hal-hal semacam itu," ucap dia.

VIDEO: Tiga Maling Terekam CCTV, Gasak Motor di Gang Sempit di Kapuk Muara

Penyebab Homoseksual

Tidak ada kesepakatan pasti yang diyakini peneliti dalam menentukan penyebab orang menjadi homoseksual.

Peneliti umumnya percaya bahwa orientasi seksual seseorang ditentukan dari kombinasi berbagai faktor, antara lain lingkungan, budaya, emosional, hormonal, dan biologis.

Maka setiap orang yang menjadi homoseksual pasti dipengaruhi oleh latar belakang yang berbeda.

Meski masih membutuhkan penelitian lebih lanjut, homoseksual diduga lebih umum terjadi pada pria yang memiliki kakak kandung laki-laki, meski mereka tidak dibesarkan bersama.

Data ini, seperti dilaporkan Aladokter.com menunjukkan kemungkinan bahwa homoseksual bisa jadi disebabkan oleh kelebihan hormon laki-laki yang bernama androgen saat janin masih dalam tahap pertumbuhan.

Sementara penyebab lain, seperti latar belakang keluarga yang tidak harmonis atau pola asuh di masa kecil, masih belum terbukti.

American Psychiatric Association (APA) dan World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa homoseksualitas bukanlah sebuah kondisi akibat gangguan mental.

Ariel Noah Ungkap Kaget Ketika Mendengar Kabar Meninggalnya Ashraf Sinclair yang Dia Ketahui Sehat

Begitu juga Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa Edisi III (PPDGJ III) yang diterbitkan Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 1993, menyebutkan bahwa orientasi seksual bukanlah suatu gangguan.

Meski demikian, homoseksual tidak lepas dari masalah dalam interaksi sosial karena adanya prasangka, stigma, dan diskriminasi, sehingga tidak jarang kaum homoseksual memilih untuk menyembunyikannya.

Untuk saat ini, bisa disimpulkan bahwa orientasi seksual seseorang ditentukan dari kontribusi berbagai faktor.

Faktor-faktor lingkungan dan sosial diduga paling berperan dalam menentukan orientasi seksual seseorang. 

Riwayat pelecehan seksual mungkin bisa berperan tapi tidak serta merta menyebabkan seseorang menjadi gay atau lesbian.

Bisakan Disembuhkan?

Keinginan untuk mengubah homoseksualitas sudah berakar sejak beberapa dekade lalu.

Seringkali, homoseksualitas saling dikaitkan dengan gejala depresi dan trauma masa kecil.

UPDATE KPU Depok Mulai Seleksi Calon PPS untuk Pilkada 2020

Seperti ditulis Hallosehat, Pada tahun 1920, Sigmund Freud menulis tentang seorang ayah menginginkan anak perempuannya yang lesbian untuk diubah menjadi normal dan menyukai pria.

Freud kemudian membatalkan terapi tersebut karena menganggap terapi ini tak mungkin berhasil untuk dilakukan.

Beberapa tahun kemudian, Freud menolak mengobati seorang anak homoseksual dengan beralasan bahwa homoseksualitas “bukanlah sesuatu yang memalukan, bukan sebuah kecacatan, atau keburukan; homoseksualitas tidak dapat diklasifikasikan sebagai penyakit.”

Psikolog di awal pertengahan 1900-an percaya gay bisa disembuhkan dan merekomendasikan berbagai perawatan.

Salah satu upaya terapi pembalikkan kuno dilakukan oleh endokrinolog Wina Eugen Steinach yang mentransplantasi testis dari lelaki “normal” ke buah zakar pria gay sebagai upaya untuk membebaskan mereka dari hasrat ketertarikan seksual sesama jenis. Upaya ini gagal total.

Sepanjang tahun 1960 hingga 70-an, terapi pembalikkan menggunakan

Raul Lemos Ulang Tahun, Intip Ucapan Romantis Krisdayanti di Tengah Gosip Keretakan Rumah Tangga

metode penyiksaan seperti kejut listrik sampai membuat kejang dengan efek samping hilang ingatan, atau memberi mereka obat perangsang mual sambil menunjukkan mereka gambar porno sesama jenis agar mereka bisa mengaitkan homoseksualitas dengan trauma pengalaman yang tidak menyenangkan.

Metode lain termasuk psikoanalisis atau terapi bicara, perawatan estrogen untuk mengurangi libido pada pria. Pada beberapa negara teknik seperti ini masih terus dilakukan.

Di Inggris, misalnya, di umurnya yang baru menginjak 12 tahun, Samuel Brinton dipaksa untuk menjalani terapi pembalikkan selama bertahun-tahun.

Selama terapi, ia tunduk kepada rancangan program yang mengharuskannya mengenggam es batu balok selama berjam-jam dan pada sesi lainnya, terapis yang menangani kasus Brinton menyetrum tubuhnya, tangan Brinton dibakar dan ditusuk berulang kali, sambil ditunjukkan gambar-gambar dua pria yang sedang bercinta — agar ia bisa mengaitkan homoseksualitas dengan rasa sakit.

Di kali lainnya, ia dipaksa untuk menghirup bau fesesnya sendiri selama berjam-jam sambil memandangi gambar-gambar lelaki gay.

Juara Bertahan Liverpool Keok 1-0 di Kandang Atletico Madrid, Harus Menang Selisih 2 Gol di Anfield

Terapi pembalikkan agar gay bisa disembuhkan termasuk upaya penyiksaan

Ada dua keprihatinan utama tentang terapi pembalikkan homoseksual.

Pertama, terapi konversi telah lama dipertanyakan legalitas standar dan etika profesionalnya, serta isu-isu yang lebih besar dari pertanggungjawaban terapis dan kesejahteraan pasien, yang berlaku untuk semua area praktik kesehatan mental.

Terapi konversi tidak dianggap sebagai pengobatan psikologis utama, sehingga tidak pernah ada standar profesional atau pedoman konkret soal bagaimana hal itu dilakukan.

Terlebih lagi, homoseksualitas tidak dianggap sebagai gangguan mental, sehingga American Psychological Association (APA) tidak merekomendasikan “menyembuhkan” ketertarikan sesama jenis dalam hal apapun.

Homoseksualitas telah lama dihapus dari kategori penyakit mental dalam buku pedoman Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) semenjak tahun 1973.

Etika dunia psikologi dan kedokteran modern memerintahkan setiap tenaga profesional kesehatan untuk tunduk kepada metode pengobatan yang mendukung martabat manusia.

Hasil Borussia Dortmund vs PSG 2-1, Neymar Cetak Gol tapi Bintang Lapangan Erling Haaland

Terapi konversi gay tidak memenuhi semua syarat ini.

Kedua, tidak hanya bukti sejauh ini menunjukkan bahwa terapi konversi tidak etis dan tidak bertanggung jawab, namun terapi ini juga didukung oleh “bukti-bukti ilmu” yang tidak memadai dan sangat dipertanyakan.

Tidak pernah bukti ilmiah kuat yang mampu menunjukkan bahwa orientasi seksual manusia dapat diubah. Tak ada pula dukungan empiris untuk mendukung gagasan perubahan ini.

Selain itu, studi-studi ini justru menemukan bahwa terapi konversi efektif membuat gay bisa disembuhkan dan justru malah berbahaya bagi “pasiennya”.

Efek negatif termasuk “hilangnya hasrat dan kecenderungan seksual, depresi, gangguan kecemasan, dan bunuh diri.

Artikel awal ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "RUU Ketahanan Keluarga: Keluarga dan Individu LGBT Wajib Lapor", Penulis : Tsarina Maharani

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved