Masyarakat Diminta Bijak Manfaatkan Fintech, OJK Sarankan Lapor Jika Ada Fintech Nakal
Memang banyak juga konsumen fintech yang bandel. Bahwa banyak fintech legal yang nakal, itu juga pekerjaan rumah dari regulator untuk menangani itu.
Penulis: Ichwan Chasani | Editor: Ichwan Chasani
JAKARTA — Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mencatat, permasalahan paling tinggi dalam financial technologi (fintech) atau pinjaman online (pinjol) yang dilaporkan konsumen adalah cara penagihan. Masyarakat pun diminta lebih bijak dalam memanfaatkan fintech agar tidak terjebak kredit macet.
Ketua YLKI Tulus Abadi mengatakan laporan konsumen terkait cara penagihan pinjaman online itu mencapai 39,5 persen. Laporan lainnya terkait pinjaman online yaitu soal pengalihan kontak sebanyak 14,5 persen; permohonan reschedule 14,5 persen; suku bunga 13,5 persen; soal administrasi 11,4 persen, dan selebihnya terkait penagihan pihak ke-3.
“Kehadiran fintech ini memang mempercepat inklusifitas di sektor financial resources. Tapi di kita ini masih banyak anomali yang sangat serius,” ungkap Ketua YLKI Tulus Abadi dalam Focus Group Discussion (FGD) yang digelar Indopos, di Hotel Ibis, Slipi, Jakarta, Senin (27/1/2020).
Selain Tulus Abadi, FGD bertema "Dewasa dalam Menyikapi Pinjaman Online" itu juga menghadirkan narasumber Kepala Ekonom Bank Negara Indonesia Ryan Kiryanto, Deputi Direktur Pengaturan, Penelitian dan Pengembangan Financial Technology (Fintech) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Munawar Kasan, dan Ketua Harian Asosiasi Fintech Lending Indonesia (AFLI) Kuseryansyah.
Menurut Tulus, karena fintech di Indonesia lahir belakangan, semestinya pembelajarannya dilakukan lebih dulu sebelum membuka kran terhadap peer to peer lending ini sehingga tidak terjadi pengulangan kesalahan seperti yang terjadi di negara lain.
“Sebenarnya dalam konteks relasi borrower dengan lender, jaminannya adalah data pribadi kita. Ini yang saya kira belum banyak disadari oleh masyarakat, operator, bahkan mungkin regulator. Memang kalau bank harus ada jaminan, tapi kalau fintech tidak ada jaminan secara fisik, tapi jaminannya adalah data pribadi kita,” kata Tulus.
Sementara secara regulasi, Indonesia belum punya Undang Undang Perlindungan Data Pribadi. Kesadaran masyarakat terhadap data pribadi pun dinilai Tulus sangat rendah. “Ini sebenarnya ada kondisi emergency ketika kita membuka ini tanpa adanya kepastian hukum terhadap perlindungan data pribadi dan juga itikad baik dari kreditor,” imbuhnya.
Tulus membeberkan, pengaduan yang diterima YLKi terkait pinjaman online memang banyak dilakukan oleh fintech ilegal, tapi banyak juga yang legal. Bahkan ada fintech legal yang datang ke YLKI dan mengatakan bahwa menagih dengan cara sedikit menteror itu dilakukan karena mereka tidak bisa menagih dengan cara lain.
“Dengan data pribadi sebagai jaminan, itulah satu-satunya instrument untuk menagih konsumen. Mereka tidak bisa menagih dengan apapun kecuali dengan cara itu. Memang banyak konsumen fintech yang bandel. Bahwa banyak fintech legal yang nakal, itu juga pekerjaan rumah dari regulator untuk menangani itu. Kalau ilegal okelah, tapi jangan sampai dengan dalih ilegal, kehadiran negara tidak ada,” tandasnya.
Deputi Direktur Pengaturan, Penelitian dan Pengembangan Fintech Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Munawar Kasan menyebut kini di Indonesia ada 164 fintech, 139 diantaranya berstatus terdaftar dan 25 sudah berizin. Dari 164 fintech itu, 152 diantaranya merupakan fintech konvensional dan 12 fintech syariah. Dia mengakui, di luar itu masih ada ribuan fintech tidak berizin dan tidak terdaftar alias fintech ilegal.
Dari 164 fintech tersebut, hingga Desember 2019, nilai akumulasi penyaluran pinjaman mencapai Rp81,50 triliun, meningkat 259,56 persen year to date dengan outstanding Rp13,16 triliun meningkat 160,84 persen year to date.
Sedangkan akumulasi rekening lender mencapai 605.935 entitas, meningkat 192,01 persen year to date, dan rekening borower 18.569.123 entitas, meningkat 329,95 persen year to date.
“Industri ini baru tiga tahunan, kontribusinya, kecepatannya sangat tinggi, tapi diganggu fintech ilegal. Pelaku yang akses data, akses foto itu fintech ilegal. Sekarang ini kalau ada pengaduan, tunjukkan saja kepada kami, screenshoot, kalau itu terbukti fintech legal, dalam waktu singkat, kita sangat tegas, maka kena sanksi,” tandasnya.
Ketua Harian Asosiasi Fintech Lending Indonesia (AFLI) Kuseryansyah mengatakan bahwa pesatnya pertumbuhan fintech di Indonesia diantaranya akibat tingginya kesenjangan kredit dari perbankan. Dari Rp1.600 triliun kebutuhan kredit di masyarakat, kata dia, hanya Rp 600 Triliun yang dapat terlayani.
“Sisanya Rp1.000 triliun belum bankable. Hal ini yang membuat fintech tumbuh pesat dalam tiga tahun terakhir,” kata Kuseryansyah.