Perang As vs iran

PERANG AS Vs Iran, Presiden SBY Sebut Perang Besar Akan Terjadi Inilah Penyebab Utama dan Dampaknya

Presiden SBY bikin tulisan khusus terkait prediksi yang akan terjadi kawasan Teluk dan kemungkinan Perang As Vs Iran.

Editor: Suprapto
istimewa
Presiden SBY bikin tulisan khusus terkait 'perang AS vs Iran'. 

Para ahli sejarah mengatakan bahwa Jepang menyerang Amerika Serikat itu adalah sebuah kesalahan. Diibaratkan Jepang sebagai membangunkan macan tidur.

Kesalahan itu sebuah "strategic miscalculation" yang dilakukan oleh para politisi dan jenderal-jenderal militer Jepang.

Kejadian miskalkulasi ini, atau salah hitung, kerap menjadi faktor yang mendorong terjadinya peperangan. Demikian juga kejadian di lapangan, yang tak terduga, seperti yang terjadi di Sarajevo tahun 1914 dulu.

Dari kacamata ini, sejarah tengah menunggu apakah politisi dan jenderal Amerika Serikat dan Iran melakukan miskalkulasi, sehingga akhirnya mendorong terjadinya perang terbuka di antara mereka.

Di luar itu, apakah juga tiba-tiba terjadi peristiwa di lapangan, entah di Irak, di Iran, ataupun di tempat di mana aset dan satuan-satuan militer Amerika Serikat berada.

Sebuah peristiwa yang bisa ditafsirkan sebagai aksi untuk melancarkan peperangan, meskipun para politisi dan petinggi militer tak merencanakan dan memerintahkannya.

Kalau kedua hal ini tak terjadi dalam waktu mendatang, dunia bisa menghela nafas lega. Paling tidak untuk sementara.

Tetapi, harus diingat, di kawasan Timur Tengah terlalu banyak elemen yang tidak selalu berada dalam satu garis komando dengan pemimpin puncaknya.

Dalam konteks permusuhan dan ketegangan Amerika Serikat dengan Iran saat ini, ada sejumlah elemen di luar Iran (dalam kapasitasnya sebagai negara).

Misalnya Hesbollah di Libanon, Hamas di Palestina, dan elemen dalam negeri Irak yang sangat pro Iran. Belum organisasi radikal dan terorisme yang meskipun tidak ada kaitannya dengan Iran, tetapi anti Amerika. Jadi, segala kemungkinan yang menjadi pemicu meletusnya sebuah perang terbuka selalu ada.

Perang juga mudah terjadi di tangan pemimpin yang eratik (erratic) dan "gemar perang" (warlike). Saat ini sejarah juga sedang menguji apakah Presiden Trump, Ayatollah Khamenei dan Presiden Rouhani termasuk kategori pemimpin yang eratik dan suka perang atau tidak.

Semoga mereka bukan tipe itu. Semoga pikiran jernih, kalkulasi yang matang dan kearifan hati menyertai para pemimpin tersebut. Semoga doa dan harapan saya ini, saya yakin juga banyak yang berdoa dan berharap demikian, dikabulkan oleh Allah Swt, Tuhan Yang Maha Kuasa.

Saya tahu bahwa para pemimpin itu sangat mencintai bangsa dan negaranya. Saya tahu bahwa mereka juga patriot sejati bagi tanah airnya. Namun, patriotisme dan nasionalisme yang positif tidaklah boleh menghalang-halangi para pemimpin itu jika hendak menyelesaikan masalah sedamai mungkin.

Paling tidak bukan memilih perang sebagai satu-satunya cara. Saya yakin "political and diplomatic resources" masih tersedia. Saya yakin masih ada jalan untuk mencegah terjadinya peperangan besar.

Saya tahu memang keadaan sangat tidak mudah bagi para pemimpin Iran dan Amerika Serikat. Ada persoalan harga diri dan juga keadilan (justice) yang harus ditegakkan.

Akar permusuhan di antara mereka juga sangat dalam. Iran merasa sangat dipermalukan (humiliated) dengan tewasnya Jenderal Soleimani yang sangat dibanggakan dan dicintainya.

Namun, jangan lupa pula Amerika Serikat juga pernah merasa terhina ketika 52 orang warga negaranya disandera selama 444 hari di Kedutaan Besar mereka di Teheran tahun 1979-1981 yang lalu.

Sekali lagi, situasinya memang tidak mudah saat ini. Kita saksikan di layar televisi, emosi dan kemarahan rakyat Iran tinggi sekali. Para pemimpin Iran “pastilah” berada di ombak dan arus besar yang menyeru dilakukannya pembalasan yang lebih keras terhadap Amerika Serikat.

Namun, orang bijak menasehatkan kepada para pemimpin agar tidak mengambil keputusan yang gegabah tatkala hati dan pikiran mereka sedang diliputi oleh amarah yang memuncak. Maknanya… keputusan itu bisa salah. Hal begini tentu berlaku pula bagi para pemimpin Amerika Serikat.

Di samping itu, politik selalu menyediakan pilihan. Dalam politik segalanya juga mungkin. Tidakkah Otto Von Bismarck pernah mengatakan bahwa politik adalah “the art of the possible”. Politik juga berangkat dari kehendak para pemimpinnya. “So, if there is a will, there is a way”.

Dewasa ini dunia berada dalam situasi yang jauh dari teduh. Banyak sikap dan pandangan yang serba ekstrim. Paling tidak lebih ekstrim dibandingkan dengan situasi sepuluh-dua puluh tahun yang lalu. Gelombang nasionalisme, populisme, rasisme dan radikalisme makin menguat (on the rise). Demikian juga otoritarianisme.

Saya kira bukan hanya Donald Trump yang mengangkat simbul-simbul nasionalisme "America First". Saya amati banyak pemimpin dunia seperti itu. Barangkali itu pula sikap pemimpin Iran. Demikian pula Tiongkok, Rusia, Inggris, Korea Utara dan banyak lagi yang lain.

Barangkali, semua negara juga begitu. Apa yang dikatakan oleh Ian Bremmer dalam bukunya G Zero World ~ Every Nation for Itself, bagai mendapatkan pembenaran sejarah.

Selama 10 tahun memimpin Indonesia dulu saya masih merasakan suasana dunia yang lebih baik. "Kehangatan dan kedekatan" di antara pemimpin dunia masih terasa.

Misalnya, meskipun ada perbedaan kepentingan antara Amerika Serikat dengan Tiongkok dan Rusia, namun para pemimpinnya masih membuka ruang untuk berdialog dan berkolaborasi untuk kepentingan bersama.

Demikan juga antara Tiongkok, Jepang dan Korea Selatan. Demikian juga antara Inggris, Perancis dan Jerman untuk urusan Eropa. Juga antara Tiongkok dengan negara-negara ASEAN menyangkut urusan Laut Tiongkok Selatan. J

uga antara Saudi Arabia, Iran, Qatar, Mesir dan negara-negara Islam di Timur Tengah dalam urusan kerjasama dunia Islam. Termasuk tentunya kemesraan antara Amerika Serikat dengan kedua tetangganya, Kanada dan Meksiko.

Kesediaan untuk duduk bersama dan mencari solusi atas berbagai permasalahan global di antara negara-negara besar (global players and regional powers) amat dirasakan.

Apakah itu berkaitan dengan kerjasama mengatasi krisis ekonomi dunia 2008-2009, mengelola perubahan iklim, memerangi kemiskinan global, melawan terorisme dan kejahatan transnasional, serta kerjasama-kerjasama yang lain.

Kedekatan antar pemimpin dunia juga tercermin dalam kebersamaan di berbagai forum. Misalnya PBB, G20, G8 (+), APEC, OKI, D8, ASEAN, EAS, GNB, ASEM (yang secara pribadi saya aktif berperan di dalamnya), serta forum-forum kerjasama multilateral dan regional yang lain.

Apa pun latar belakang ideologi dan sistem politik yang dianut, apapun tingkatan kemajuan ekonomi serta kepentingan nasionalnya, para pemimpin dunia masih relatif "rukun".

Tentu saja minus perseteruan yang terjadi di antara negara-negara tertentu yang memang sudah berlangsung lama dan nyaris permanen. Misalnya, antara Iran dengan Israel, antara Amerika Serikat dengan Korea Utara, Iran dan juga Venezuela.

Dalam pengamatan saya, G20 tidak sekokoh dulu. G8 sudah mati suri. Di tubuh OKI nampak ada jarak dan ketegangan internal yang meningkat. Bahkan, ASEANpun tidak sekohesif dulu.

Di internal Uni Eropa sering terjadi “pertengkaran” yang antara lain ditandai dengan keluarnya Inggris dari organisasi yang berusia tua itu. Mengapa ini terjadi? Tentu banyak teori dan alasan yang bisa diungkapkan.

Namun, menguatnya kembali sentimen nasionalisme dan populisme turut menjadi penyebab. Berbagai organisasi kerjasama kawasan ikut melemah semangatnya untuk selalu berada dalam satu posisi, karena barangkali masing-masing negara harus mengutamakan kepentingan nasionalnya masing-masing.

Kembali pada topik tulisan ini, kalau ada yang sangat mencemaskan dan sungguh ingin tahu apakah ketegangan yang begitu memuncak di Timur Tengah ini bakal menyulut terjadinya perang terbuka di kawasan itu, tiga faktor yang saya kedepankan tersebut bisa dijadikan pisau analisis. Miskalkulasi, pemimpin yang eratik dan nasionalisme yang ekstrim. Silahkan ditelaah sendiri.

Namun, ada satu hal yang mungkin luput dari percaturan para pengamat geopolitik dan hubungan antar bangsa. Yang satu ini justru yang mungkin akan sangat menentukan "endgame" dari kemelut berintensitas tinggi di Timur Tengah ini.

Saya tidak yakin, paling tidak saat ini, kalau baik Presiden Trump maupun Ayatollah Khamenei dan Presiden Rouhani benar-benar siap dan sungguh ingin berperang. Pasti para pemimpin itu sangat menyadari bahwa di belakangnya ada puluhan bahkan ratusan juta manusia yang dipimpinnya.

Mereka juga tahu keputusan dan tindakan yang akan diambil akan berdampak pada situasi kawasan secara keseluruhan, bahkan dunia. Mereka juga tidak ingin punya "legacy" yang buruk dalam biografinya masing-masing jika keputusan dan pilihannya salah.

Dengan ini semua, saya masih punya keyakinan bahwa pilihan yang diambil akan sangat rasional. Rasional dan "bermoral". Artinya, perang terbuka di antara kedua negara bukanlah pilihan utama. Jika bukan, apa yang akan terjadi?

Sangat mungkin ketegangan bahkan permusuhan yang sangat memuncak ini akan berakhir dengan sebuah “kesepakatan besar” (great deal). Sebuah kesepakatan strategis yang adil. (A strategic, fair deal).

Tentu ada “take and give” diantara mereka. Elemennya bisa soal sanksi ekonomi, pengembangan nuklir Iran, komitmen untuk tidak saling menyerang aset dan objek militer masing-masing. Apa bentuknya? Biarlah para pemimpin kedua negara itu yang akan menentukan dan memilihnya.

Dunia dan sejarah harus memberikan kesempatan kepada mereka. Semua pihak juga harus mendorong dan mempersuasi agar solusi indah itu terjadi, jangan sebaliknya merintangi dan memprovokasi untuk tidak terjadi.

Siapa tahu sejarah menyediakan peluang baru bagi hubungan antara Amerika Serikat dan Iran. Siapa tahu para pemimpin di kedua negara penting ini tergerak untuk berpikir “out of the box”, misalnya membangun paradigma dan cara pandang baru dalam hubungan bilateralnya di masa depan. Haruskah kedua bangsa itu menjadi musuh permanen di abad 21 yang banyak menjanjikan jalan bagi sebuah perubahan?

Apa yang bakal terjadi di hari-hari, atau di minggu-minggu mendatang, bisa menjadi “game changer”. Artinya, apa yang akan diputuskan dan dilakukan oleh para pemimpin Amerika Serikat dan Iran bisa mengubah jalannya sejarah di masa depan.

Semoga yang akan datang adalah yang membawa harapan baik, bukan sebaliknya, sebuah malapetaka dan titik gelap dalam sejarah kemanusiaan.

Cikeas, 6 Januari 2020

Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved