Ekonomi
Pemerintah Harus Mengatasi Persoalan Ekonomi dengan Cepat Bukan Mengalihkan Isu dengan Radikalisme
Menurut Fadli Zon, menghembuskan isu radikalisme merupakan upaya untuk mengalihkan isu terkait dengan persoalan ekonomi.
WAKIL Ketua Umum Partai Gerindra yang terpilih sebagai Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Fadli Zon berharap, pemerintah segera mengatasi persoalan ekonomi.
Menurut Fadli Zon, menghembuskan isu radikalisme merupakan upaya untuk mengalihkan isu terkait dengan persoalan ekonomi.
"Sudah lebih dua minggu Presiden dan Wakil Presiden periode 2019-2024 dilantik oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada 20 Oktober 2019."
"Kabinet baru juga sudah dua minggu terbentuk," katanya di Jakarta, Selasa (5/11/2019).
• Pasien Kelas I BPJS Langsung Niat Berhenti karena Jika Iuran Naik 100 Persen Harus Bayar Rp 800 Ribu
Sayangnya, kata Fadli Zon, di tengah ancaman resesi global, dalam dua minggu terakhir, wacana dominan yang dilontarkan oleh pemerintah justru mengenai radikalisme dan bukannya mengenai ekonomi.
"Arahan Presiden kepada Menteri Agama untuk mengatasi radikalisme telah memancing debat tidak produktif."
"Apalagi, pada saat bersamaan, Presiden memilih pensiunan jenderal sebagai Menteri Agama, bukan tokoh keagamaan sebagaimana yang terus berlangsung sejak Reformasi."
Dari sisi latar belakang, kata Fadli Zon, masyarakat sebenarnya tak terlalu mempersoalkan sosok Menteri Agama baru.
Sebab, kata dia, pengangkatan pensiunan militer sebagai menteri agama bukanlah hal baru.
• Anies Baswedan Menilai Kesalahan Sistem e-Budgeting Warisan Gubernur Ahok karena Tidak Smart System
Dulu, jabatan ini juga pernah dua kali dipegang oleh militer, yaitu oleh Letjen TNI Alamsjah Ratoe Perwiranegara (1978-1983) dan Laksamana Muda TNI (Purn) Tarmizi Taher (1993-1998).
Namun, kata Fadli Zon, oleh karena Menteri Agama baru terus-menerus melansir isu radikalisme, respons masyarakat akhirnya cenderung jadi negatif.
"Radikalisme sebenarnya adalah isu bersama."
"Siapa pun yang ingin merongrong Pancasila dan mengancam keutuhan tenun kebangsaan pada dasarnya akan berhadapan dengan seluruh rakyat."
Namun, kata Fadli Zon, rakyat banyak juga mafhum jika sejak lama isu ini telah dipergunakan oleh pemerintah tidak pada tempatnya.
"Saya menilai, setidaknya ada tiga persoalan kenapa publik jadi merasa tidak nyaman dengan pengangkatan isu radikalisme."
Pertama, ancaman radikalisme yang ingin mengubah tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara sebenarnya bisa datang dari berbagai bidang, mulai dari ekonomi, pertahanan, cyber, dan lain-lain.
Namun, Pemerintah ternyata hanya ingin mengaitkan isu radikalisme dengan agama, sehingga sampai perlu mengangkat kembali Menteri Agama dari kalangan militer.
Agama itu pun terkesan ditujukan hanya penganut agama Islam.
"Jika Presiden dan Pemerintah hanya mengarahkan tuduhan radikalisme terhadap kalangan umat beragama, maka pilihan itu jelas kontraproduktif."
Selain itu, kata pakar sejarah ini, isu ini bisa sangat melukai kalangan umat Islam karena mereka selama ini biasanya yang selalu dijadikan tertuduh.
Itu sebabnya, kata Fadli Zon, publik jadi cenderung merespon negatif isu ini.
Kedua, dalam beberapa periode terakhir, Kementerian Agama selalu menjadi sorotan terkait isu korupsi.
"Tahun lalu, misalnya, Badan Kepegawaian Negara (BKN) melansir Kementerian Agama menempati urutan kedua sesudah Kementerian Perhubungan dalam jumlah pegawai yang terjerat tindak pidana korupsi (Tipikor)."
"Secara berturut-turut, meminjam data BKN, daftar kementerian yang pegawainya banyak terjerat Tipikor adalah Kementerian Perhubungan, Kementerian Agama, Kementerian PUPR (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat), dan Kementerian Ristek/Dikti."
"Ini tentu saja memprihatinkan.Kalau Presiden konsisten dengan salah satu poin dalam pidato inagurasinya, kemarin, mengenai agenda reformasi birokrasi, mestinya isu korupsi di Kementerian Agama ini dikedepankan, bukan isu radikalisme."
Ketiga, kata Fadli Zon, selain perang dagang berkepanjangan antara Amerika Serikat dengan Cina, kita sebenarnya sedang menatap resesi ekonomi global.
"Sehingga, masyarakat sebenarnya sedang menanti-nanti bagaimana tim ekonomi Pemerintah akan merespon persoalan ini."
"Tapi, yang disorongkan pemerintahan baru dalam dua minggu terakhir justru isu radikalisme."
"Ini benar-benar mengecewakan."
"Saya berpendapat, Pemerintah sebaiknya fokus pada isu ekonomi, terutama bagaimana menghadapi resesi."
• Penemuan Sosok Pria, yang Terlihat Tujuh Tahun Lalu, Ditemukan Lagi Jadi Mumi
Sebab, kata ahli ekonomi lulusan LSE Inggris ini, sesudah dia baca kembali, APBN 2020 ternyata sama sekali tak memuat asumsi resesi, sehingga tidak punya rencana mitigasi apapun jika terjadi resesi ekonomi.
"Lihat saja asumsi makro APBN 2020 yang menetapkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3 persen."
"Asumsi tersebut sangat tak realistis karena lebih tinggi dibanding outlook 2019."
Padahal, kata Fadli Zon, outlook 2019 saja sudah tidak realistis.
"Prinsip dasar mitigasi resesi adalah bagaimana meningkatkan daya beli masyarakat, terutama kalangan bawah dan menengah.
"Tapi, belum-belum, Pemerintah malah sudah merilis kebijakan yang pasti kian membebani masyarakat, yaitu kenaikan premi BPJS Kesehatan hingga 100 persen."
"Belum lagi jika tarif listrik juga jadi dinaikkan, daya beli masyarakat akan kian tergerus."
"Saya tak bisa membayangkan bagaimana rakyat kecil akan bertahan dengan kebijakan-kebijakan kontraproduktif seperti itu."
"Saya paham, salah satu kesulitan Pemerintah terkait pengelolaan APBN adalah tak pernah tercapainya target Pendapatan Negara yang ditetapkan," katanya.
Itu sebabnya, kata Fadli Zon, Pemerintah seharusnya realistis dalam menyusun anggaran.
"Rencana-rencana bombastis yang tidak masuk akal dalam jangka pendek, seperti memindahkan ibu kota, misalnya, sebaiknya segera dicoret."
• Sosok Pria Terperangkap di Tubuh Bocah 6 Tahun Dampak Hantaman Batu di Kepala Saat Masih Kecil
Sebagai catatan, kata Fadli Zon, rata-rata kenaikan Pendapatan Negara pada periode pertama pemerintahan Presiden SBY, 2005-2009 adalah sebesar 17,56 persen tiap tahun.
"Namun, dalam lima tahun pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo, kemarin, rata-rata kenaikannya hanya 5,73 persen saja."
"Artinya, Pemerintah harus sadar diri dan segera merasionalisasi mimpinya."
"Jangan sampai untuk membiayai belanja yang tak realistis, kita terus-menerus memperbesar utang," katanya.
Selama ini, kata Fadli Zon, Pemerintah sering mengajukan klaim, kalau utang kita posisinya aman karena porsinya masih sekitar 30 persen Produk Domestik Bruto (PDB).
Memang, kata dia, UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara memberi batas hingga 60 persen.
"Namun, undang-undang itu kan disusun pada periode ‘recovery’ sesudah krisis."
"Sehingga, suasana kebatinannya adalah situasi krisis."
Oleh karena itu, kata Fadli Zon, asumsi dan parameternya jangan terus menerus digunakan, meskipun undang-undangnya masih berlaku.
"Mestinya yang dijadikan patokan bukanlah rasio utang, tapi kemampuan Pemerintah dalam membayar utang."
"Salah satu parameternya adalah DSR (debt to service ratio)," kata politisi yang sebulan melakukan puasa bicara itu.
• Pria Perancang Hukuman Cambuk Tertangkap Basah Selingkuh Malunya Mak Dicambuk Melebihi Dihukum Mati
Di akhir pemerintahan Presiden SBY, kata Fadli Zon, DSR kita sebenarnya masih di bawah 25 persen, tapi sekarang DSR ada di angka lebih dari 31 persen.
"Selama pemerintahan Presiden Joko Widodo, rata-rata penambahan utang Pemerintah setiap tahunnya adalah sebesar 11,7 persen."
"Laju utang ini sangat kontras dengan laju pertumbuhan ekonomi kita yang hanya limit 5 persen."
Soal utang ini, kata Fadli Zon, kita memang harus berhati-hati benar, khususnya utang BUMN.
Hingga akhir Juni 2019, utang sektor publik, yang mencakup utang pemerintah, Bank Indonesia, dan BUMN, mencapai Rp 9.787,10 triliun atau sekitar 62,14 persen PDB.
"Jika laju utang Pemerintah besarannya setara dengan tahun-tahun sebelumnya, maka utang BUMN cenderung meningkat lebih pesat."
"Utang BUMN yang bukan Lembaga Keuangan mencapai Rp 1.018,82 triliun."
"Nilai ini meningkat dua kali lipat jika dibandingkan akhir tahun 2014, yang “hanya” mencapai Rp 503,81 triliun."
• TERJAWAB Penurunan Kualitas Layanan Internet Telkomsel yang Ramai Keluhan Pelanggan Hanya Bisa SMS
Dari jumlah tersebut, kata Fadli Zon, 62,5 persen utang BUMN adalah dalam mata uang asing, terutama dolar Amerika Serikat.
"Artinya, jika ada pelemahan nilai tukar Rupiah, keuangan BUMN akan langsung tertekan."
Padahal, kata Fadli Zon, sebagian besar pendapatan BUMN kita berdenominasi rupiah.
"Selain itu, 30,88 persen utang BUMN tadi (Rp314,69 triliun), atau hampir sepertiganya, adalah utang yang sisa waktu pelunasannya kurang dari satu tahun."
"Artinya, setahun ke depan kebutuhan akan valuta asing cukup besar."
"Jika kondisi ekonomi memburuk, dan nilai tukar rupiah melemah, ini akan jadi persoalan besar."
Itu sebabnya, Fadli Zon berharap, Pemerintah segera fokus pada soal ekonomi.
"Jika pun ingin mengikis radikalisme, perbaiki saja kualitas pertumbuhan ekonomi."
"Tak seharusnya isu radikalisme dijadikan kambing hitam atau pengalih perhatian untuk menutupi kegagalan ekonomi."
"Itu hanya akan memelihara ‘distrust’ dan konflik semata."
Sebelum melahirkan respon negatif yang kian luas dan sebelum bencana ekonomi benar-benar datang, Fadli Zon menyarankan, sebaiknya Pemerintah segera keluar dari isu radikalisme dan fokus mengatasi persoalan ekonomi serta ancaman resesi.
• Dubes Tantowi Yahya Ungkap Peran Besar dan Strategis yang Dilakukan BKSAP di Bawah Fadli Zon