Pelantikan Anggota DPR RI
Yunarto Wijaya Sebut Ada Politik Feodal Dalam Insiden Megawati dan Surya Paloh
Ada politik feodal dari sikap Megawati terhadap Surya Paloh yang kemudian viral dan dibicarakan publik.
Penulis: Desy Selviany |
VIDEO viral Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri yang tidak menyalami Ketua Umum Partai Nasional Demokrat (Nasdem) dianggap fenomena politik feodal Indonesia.
Pengamat politik Yunarto Wijaya menjelaskan, selama ini masyarakat Indonesia terjebak dengan isu-isu remeh temeh dalam mengawasi pemerintahan dan kebijakan politik.
“Saya fikir ini isu tidak baik, seperti simbolisasi politik kita sangat feodal seakan-akan kita sepakat bahwa konstelasi politik secara subtantif ditentukan bagaimana hubungan remeh temeh antara Ketum,” kata Yunarto di Kompas Tv, Rabu (2/10/2019).
• Ini Pesan Surya Paloh Soal Sikap Megawati yang Tak Menyalaminya di Pelantikan DPR RI
Kata Yunarto, masyarakat tidak sepenuhnya salah karena terjebak dalam politik feodal seperti saat ini. Sebab yang harusnya menjadi pihak bertanggung jawab ialah elit politik dan partai politik yang gagal memberikan pendidikan politik.
“Sehingga sekarang seakan-akan politik hanya ditentukan oleh Ketua Umum, oleh mood Ketua Umum dan oleh hubungan baik antar Ketua Umum,” jelas Yunarto.
Padahal jelas Yunarto, jika berkaca pada negara yang demokrasinya sudah maju seperti Amerika Serikat, isu politik praktis tetap harus berkaitan dengan kebijakan yang diterima masyarakat nantinya.
Misalnya saja ketika Pilpres Amerika tahun 20016 lalu. Saat itu Capres Hillary Clinton kerap berbalas pantun panas dengan Capres Donald Trump.
“Tapi orang tidak habiskan energi dengan membahas bagaimana mereka bermain twitter atau ketika debat menyerang pribadi, tapi dialektikanya subtansi apa yang terkait dengan kehidupan masyarakat," kata Yunarto.
• Begini Penjelasan Politisi PDIP Soal Video Viral Megawati Tak Salami Surya Paloh dan AHY
Oleh karenanya jelas Yunarto, ini menjadi tanggung jawab para elit politik dan partai politik untuk mendidik masyarakat agar lebih kritis terhadap kebijakan politik.
“Ini PR besar, artinya budaya politik yang dibangun elit, karakteristik pemilih masih sangat rendah,” ujar Yunarto.
Diberitakan Warta Kota sebelumnya, saat pelantikan anggota DPR/MPR/DPD, Selasa (1/10/2019), Megawati terlihat tidak menyalami Surya Paloh saat sedang berjalan di wilayah VIP di dalam Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen.
Orang-orang yang dilewati Megawati berdiri dan menyalami presiden ke-5 RI itu. Momen tersebut tertangkap dari video yang beredar luas dari siaran langsung Kompas TV.
Dalam video itu pula Megawati juga melewati Agus Harimurti Yudhoyono yang sudah mengulurkan tangan.
• SBY Salami Megawati di Acara Pemakaman BJ Habibie
Video itu viral dan dikait-kaitkan dengan sinyal politik Pilpres 2024 mendatang.
Kedua perwakilan partai sudah menampik isu keretakan hubungan koalisi Nasdem dan PDI Perjuangan. Mereka menyebut hal itu hanya kebetulan semata.
Unjuk Rasa Mahasiswa
Sejak aksi unjuk rasa mahasiswa yang berlangsung sepekan seperti menghidupkan kembali daya kritik masyarakat Indonesia akan politik.
Bukan lagi menawarkan usung mengusung tokoh politik, unjuk rasa tersebut lebih konkret dalam memprotes subtansi kebijakan yang akan diambil DPR RI dan pemerintah.
Pengajar Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Airlangga Pribadi, mengatakan, mahasiswa-milenial sebenarnya juga menjadi korban eksploitasi elite politik.
Banyak elite mengatasnamakan mereka, tetapi tidak pernah benar-benar mendengarkan aspirasi, membawa isu spesifik, dan memberikan saluran autentik terhadap milenial.
• Jalan Mulus Anak Megawati Soekarnoputri, dari Ibu Rumah Tangga Hingga Ketua DPR RI
“Kontradiksi tersebut juga merupakan awal dari corak politik mereka yang bernuansa protes dan resistansi,” ujarnya dikutip dari Kompas.id.
Selain itu, aksi mahasiswa pada 2019 ini juga mampu memecah kebuntuan gerakan selama 21 tahun terakhir. Menurut Airlangga, mereka mulai berhasil merumuskan tujuan politiknya.
Mahasiswa menyadari, ada perubahan pola penindasan dalam politik Indonesia. Jika pra-reformasi hal itu disebabkan oleh sosok pemimpin otoriter, saat ini permasalahan muncul karena adanya kekuatan sosial yang dominan, yaitu oligarki.
Aliansi bisnis dan penguasa telah menguasai ruang dan arena politik, serta memanfaatkan sumber daya negara untuk kepentingan mereka sendiri.
“Keberhasilan merumuskan tujuan politik itu membuat mereka seperti bangun dari tidur panjang. Mereka sudah tahu siapa yang harus digugat,” kata Airlangga.
Sejumlah pengunjuk rasa memperagakan tulisan yang berisi kekecewaan terhadap DPR dan pemerintah di depan kantor DPRD Sumatera Barat (Sumbar), Padang, Sumbar, Rabu (25/9/2019).
• Kram Kaki Pada Malam Hari, Separuh Orang Dewasa Pernah Mengalami, Begini Cara Menguranginya
Mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Sumbar menolak revisi UU KPK, dan RUU kontroversial lainnya, seperti RUU KUHP, Pertanahan, Permasyarakatan, Ketenagakerjaan, dan Minerba.
Meski demikian, perjuangan belum usai. Mahasiswa perlu terus membangun sensitivitas politik, hubungan strategis dengan elemen masyarakat sipil, dan kolaborasi lintas sektor untuk memperkuat gerakan.
Jangan sampai terjebak pada hubungan dengan pihak-pihak yang dapat mengubah tujuan politik yang autentik. Mahasiswa harus tetap menjadi bagian dari kekuatan sosial strategis untuk mengawasi dan mengingatkan penguasa ketika menyimpang.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/wartakota/foto/bank/originals/yunarto-wijaya1.jpg)