Rusuh Papua
Jadi Dalang Kerusuhan Papua, Polda Jatim akan Cabut Paspor Veronica Koman
Polda Jawa Timur berencana mengajukan surat pencabutan paspor untuk tersangka Veronica Koman.
Polda Jawa Timur berencana mengajukan surat pencabutan paspor untuk tersangka Veronica Koman.
Veronica sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka atas tuduhan menyebarkan konten berita bohong atau hoaks dan provokatif terkait kerusuhan Papua dan Papua Barat.
Saat ini, polisi memburu Veronica Koman yang diduga berada di luar negeri.
Polisi menjerat Veronica dengan sejumlah pasal dalam beberapa undang-undang.
• Polisi Klaim Sudah Ketahui Posisi Veronica Koman, Baru Upaya Pemanggilan, Jika Tak Datang Bisa DPO
Antara lain, terkait Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terkait pasal penghasutan, dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Lalu, apakah ada perbedaan antara pencabutan dengan penarikan paspor?
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan, penarikan dan pencabutan paspor adalah hal yang sama.
"Kalau cabut atau tarik paspor itu sama, beda frasa saja," ungkap Fickar ketika dihubungi Kompas.com, Selasa (10/9/2019).

Mengacu pada Pasal 31 ayat (1) Undang-undang (UU) Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, disebutkan bahwa menteri atau pejabat imigrasi yang berwenang menarik atau mencabut paspor seseorang.
• Gubernur Papua Lukas Enembe Kebingungan, Ratusan Mahasiswa Asal Papua Pulang Kampung
Kemudian, Pasal 31 ayat (3) UU tersebut mengatur ketentuan terjadinya penarikan atau pencabutan paspor.
"Penarikan paspor biasa dilakukan dalam hal (a.) pemegangnya melakukan tindak pidana atau melanggar peraturan perundang-undangan di Indonesia, (b.) pemegangnya termasuk dalam daftar pencegahan," seperti dikutip dari UU tersebut.
Pendapat Berbeda
Sementara itu, pendapat lain disampaikan pakar hukum internasional Hikmahanto Juwana.
Menurutnya, pencabutan paspor dilakukan bila pemegangnya telah dijatuhi hukuman.
Sementara, penarikan paspor dilakukan ketika pemegangnya ditetapkan sebagai tersangka.
"Jadi bedanya, pencabutan kalau sudah dijatuhi hukuman. Kalau penarikan, kalau dinyatakan sebagai tersangka," ungkap Hikmahanto ketika dihubungi Kompas.com, Senin (9/9/2019).
Penarikan paspor dapat dilakukan jika pemegangnya ditetapkan sebagai tersangka atas perbuatan pidana dengan ancaman minimal 5 tahun.
Atau, masuk dalam daftar red notice dan telah berada di luar Indonesia. Kemudian, pemegangnya masuk dalam daftar pencegahan.
Hikmahanto mengacu pada Pasal 63 ayat (2) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 31 Tahun 2013 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.
Sementara itu, pencabutan paspor tertuang dalam Pasal 65 ayat (1) huruf a PP yang sama.
"Pencabutan dokumen perjalanan Republik Indonesia dapat dilakukan dalam hal (a.) pemegangnya dijatuhi hukuman pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun," seperti dikutip dari PP tersebut.
Pasal itu juga mengatur ketentuan lain perihal pencabutan paspor, yaitu pemegangnya kehilangan status WNI, anak berkewarganegaraan ganda yang memilik menjadi warga negara asing, dan masa berlaku habis.
Kemudian, pemegangnya meninggal dunia, rusak, dilaporkan hilang dengan pembuktian surat keterangan lapor polisi, serta pemegangnya tidak menyerahkan paspor dalam upaya penarikan.
Hikmahanto mengungkapkan, jika mengacu pada PP tersebut, istilah yang tepat adalah penarikan paspor terhadap Veronica Koman.
"Menurut saya kalau merujuk pada PP maka penarikan, karena Veronica belum dijatuhi hukuman," tutur dia.
Veronica Koman Provokator Kerusuhan Papua Diburu ke LN, ASN Pemkot Surabaya Tulis Surat
Polisi meminta bantuan interpol untuk memburu provokator kerusuhan Papua yang kini berada di luar negeri. Sementara itu, ASN Pemkot Surabaya sampaikan ujaran rasial, tulis surat khusus.
Seorang aktivis perempuan yang bernama Veronica Koman ditetapkan menjadi tersangka terkait kasus kerusuhan di asrama mahasiswa Papua beberapa waktu lalu.
Polri menyebut Veronica sangat aktif melakukan provakasi melalui media sosial.
Penetapan Veronica setelah penyidik melakukan gelar perkara pada Selasa (3/(/2019) malam.
Kapolda Jatim, Irjen Luki Hermawan mengatakan selain mendalami bukti di media sosial, penetapan tersangka juga didasari dari keterangan 3 saksi dan 3 saksi ahli.
• VIDEO: Larangan Bawa Kendaraan Pribadi Tidak Diindahkan Anggota Sudinhub Jakarta Selatan
• Perempuan Misterius Suka Naik Bus Dini Hari di Tol Cipularang, Sopir Senang karena Bawa Untung
• Hotman Paris Show Unggah Konflik Nikita Mirzani Dilaporkan Elza Syarief ke Polisi, Ini Kronologinya
"Sebelumnya, dia dipanggil 2 kali sebagai saksi untuk tersangka Tri Susanti, namun tidak hadir," katanya, Rabu (4/9/2019).
Saat kejadian pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya pada 16 Agustus 2019, menurut Luki, Veronika dikabarkan berada di luar negeri.
Namun walaupun tidak ada di lokasi, Veronica melalui akun media sosialnya disebut sangat aktif mengunggah ungkapan maupun foto yang bernada provokasi.
Sebagian unggahan menggunakan bahasa Inggris.
Veronica Koman dijerat sejumlah pasal di 4 undang-undang, pertama UU ITE, UU 1 tahun 46, UU KUHP pasal 160, dan UU 40 tahun 2008.
Kompas.com berusaha menghubungi Veronica Koman, Kamis (4/9/2019) melalui nomor ponselnya, namun belum tersambung.
Selain itu pesan singkat yang dikirim juga belum direspon.
Tri Susanti dan Syamsul Arifin Ditahan

Polisi telah menahan dua tersangka terkait kerusuhan di asrama mahasiswa Papua di Surabaya, yakni Syamsul Arifin dan Tri Susanti.
Syamsul Arifin (SA) menjadi tersangka ujaran rasis terhadap mahasiswa Papua, sedangkan Tri Susanti menjadi tersangka ujaran kebencian dan penyebaran berita bohong.
Wakil Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur Brigjen Pol Toni Harmanto mengatakan, penahanan terhadap kedua tersangka tersebut resmi dilakuakn sejak Selasa (3/9/2019).
Kedua tersangka, kata Toni, akan ditahan hingga 20 hari ke depan.
Menurut Toni, polisi memiliki tiga alasan untuk menahan dua tersangka tersebut.
Tiga alasan itu yakni untuk mempermudah penyidikan, berpotensi mengulangi tindakan melawan hukum, serta para tersangka dikhawatirkan bisa menghilangkan barang bukti.
"Tentu ada tiga di hukum acara pidana. Pertama kekhawatiran akan mengulangi tindak pidana. Kedua kekhawatiran untuk menghilangkan barang bukti, dan ketiga berkaitan dengan menghambat proses penyidikan," ujar Toni.
Susi dan Syamsul Arifin telah menjalani pemeriksaan selama 12 jam di Subdit V Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Jatim pada Senin (2/9/2019).
Pemeriksaan tersebut berakhir pada Selasa (3/9/2019) dini hari.
Syamsul Meminta Maaf
Syamsul Arifin menyampaikan permohonan maaf atas perbuatan yang dilakukan hingga memicu kerusuhan di Papua dan Papua Barat dalam beberapa waktu terakhir.
"Seluruh saudara-saudaraku yang berada di Papua, saya mohon maaf sebesar-besarnya apabila perbuatan (rasial) yang (diucapkan) tidak menyenangkan," kata Syamsul Arifin, Selasa (3/9/2019).
Mengenakan baju tahanan Polda Jatim berwarna orange, masker, dan kopiah putih, Syamsul Arifin memilih irit bicara.
Kepada awak media, Aparatur Sipil Negara (ASN) Pemkot Surabaya itu mengaku telah menitipkan surat pernyataan permohonan maaf kepada salah satu kuasa hukumnya.
Berikut surat pernyataan permohonan maaf yang ditulis dan ditandatangani Syamsul Arifin, Selasa (3/9/2019).
Saya atas nama personal dan mewakili warga Surabaya, meminta maaf yang sebesar-besarnya kepada saudara-saudara Papua di tanah air Indonesia atas perbuatan yang saya lakukan Bukan maksud dan tujuan saya untuk melecehkan atau merendahkan bahkan bertindak rasisme kepada saudara-saudara Papua di tanah air.
Melainkan bentuk kekecewaan saya atas pelecehan harga diri bangsa kita berupa simbol negara bendera merah putih yang telah dimasukkan dalam selokan.
Bagi saya NKRI harga mati.
Surat pernyataan ini saya buat tanpa ada unsur paksaan dan tekanan dari pihak manapun.
Siapa Syamul Arifin?
Syamsul Arifin adalah salah satu oknum ASN Pemkot Surabaya yang diduga melontarkan ujaran rasial ke arah mahasiswa Papua.
Aksinya tersebut terekam dalam video yang beredar di media sosial dan menjadi barang bukti penyidik Polda Jatim untuk menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka.
Hishom Prasetyo, salah satu kuasa hukum Syamsul Arifin mempertimbangkan untuk menempuh langkah hukum berupa penangguhan penahanan.
Bahkan, jika nanti diperlukan, pihaknya akan melakukan pra peradilan atas penahanan kliennya.
Komentar Amnesti Internasional

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid berpendapat, penetapan aktivis Veronica Koman sebagai tersangka bisa membuat masyarakat takut menyuarakan isu-isu pelanggaran HAM di Papua.
"Kriminalisasi Veronica Koman akan membuat orang lain takut untuk berbicara atau menggunakan media sosial untuk mengungkap segala bentuk pelanggaran HAM terkait Papua," ujar Usman melalui keterangan tertulis, Rabu (4/9/2019).
Menurut Usman, Polri semestinya menghormati kemerdekaan berpendapat di muka umum, termasuk di media sosial dengan tidak gampang menjerat pidana mereka yang bersuara lantang.
"Kepolisian Negara Republik Indonesia harus memastikan bahwa semua jajarannya menghargai kemerdekaan berpendapat di muka umum, juga di media sosial dan tidak dengan mudah melakukan pengusutan jika ada laporan terkait kemerdekaan berekspresi di masa yang akan datang," kata Usman.
Selain itu, Usman juga mempertanyakan tuduhan polisi bahwa Veronica melakukan provokasi atas warga Papua.
Sebab, apabila Veronica dituduh melakukan provokasi, polisi harus bisa membuktikan siapa yang jadi korban provokasi itu serta apa dampaknya.
"Kalau tuduhan polisi adalah Veronica memprovokasi, maka pertanyaan yang harus dijawab oleh polisi adalah siapa yang telah terprovokasi untuk melanggar hukum akibat dari postingan Veronica di Twitter tersebut?," tutur Usman.
Amnesty pun berpandangan bahwa Polri seharusnya meminta klarifikasi terlebih dahulu jika menemukan informasi tidak akurat yang dibagikan Veronica.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Veronica Tersangka, Masyarakat Dinilai Jadi Takut Bersuara soal Papua"
Penulis : Devina Halim
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kerusuhan Asrama Mahasiswa Papua, Veronica Jadi Tersangka, Tri Susanti dan Syamsul Ditahan" (Achmad Faizal, Ghinan Salman)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Apa Beda Penarikan dan Pencabutan Paspor? Ini Penjelasan Pakar Hukum"
Penulis : Devina Halim