Sisi Lain Jakarta
Melihat Kondisi Kampung Nelayan di Cilincing, Ini Cerita Pepang dan Sukardi Selama Jadi Nelayan
Melihat Kondisi Kampung Nelayan di Cilincing, Ini Cerita Pepang dan Sukardi Selama Jadi Nelayan.
Musim angin barat memang dikenal sebagai musim paceklik oleh para nelayan sana.
Musim tersebut biasanya berlangsung sekitar bulan November hingga Maret.
Para nelayan bahkan bisa sampai berbulan-bulan tidak melaut karena cuaca buruk tersebut.
Kondisi cuaca buruk tersebut tak hanya membahayakan keselamatan para nelayan saat melaut.
Kalau tetap memaksakan melaut bisa menyebabkan kerugian.
Hasil tangkapan bisa lebih sedikit dibandingkan dengan modal untuk melaut dalam semalam.
"Bisa tidak balik modal. Untuk biaya kapal dan solar bisa habis Rp 250.000 dan belum tentu bisa dapat hasil tangkapan sebesar itu," katanya.
Kondisi merugi juga dirasakan para pemilik kapal yang harus menanggung biaya hidup anak buah plus biaya peralatan khusus saat musim cuaca buruk.
Pencemaran
Setiap hari para nelayan disibukkan mencari nafkah dan kejar setoran. Hingga tanpa mereka sadari, air laut di kawasan tersebut sudah tercemar.
Ini terlihat dari warna air laut yang mencuri perhatian.
Warnanya hitam pekat ditambah dengan banyaknya sampah aneka rupa yang mengambang.
"Semakin lama mencari ikan makin susah di pinggiran. Tahu sendiri di pinggiran laut, airnya saja sudah keruh. Jadi mencari ikan semakin ke tengah," kata Pepeng.
Sebetulnya ia dan para nelayan serta penduduk di kampung tersebut mengeluhkan pencemaran tersebut.
Tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa.
Pasalnya, pencemaran tersebut merupakan 'sumbangan' limbah industri yang ada di sekitar Cilincing.
• Ini Beda Gaji dan Tunjangan Direksi BRI dan BTN
Inilah yang membuat para nelayan semakin jauh mencari hasil tangkapan ikan.
Dan sudah pasti jumlah tangkapan mereka semakin berkurang.
Ini jelas berpengaruh terhadap pendapatan mereka.
Padahal sebelum tahun 2000-an, air luat di pinggiran masih relatif bersih.
Malah ia masih bisa mendapatkan ikan tongkol di pinggiran laut.
"Sekarang boro-boro. Untuk menangkap ikan saja harus ke tengah laut," katanya.
Sebelum air laut tercemar parah, dirinya dan para nelayan lain bisa membawa pulang sampai satu ton aneka hasil laut, mulai dari ikan, udang, cumi, gurita, sotong, dan lainnya.
Akibat laju pencemaran yang kian parah, kini, setiap malam para nelayan hanya bisa membawa pulang maksimal dua kuintal saja aneka hasil laut.
Melihat pencemaran laut yang kian parah, risiko pekerjaan sebagai nelayan, dan hasil yang tidak seberapa membuat sebagian penduduk Kampung Nelayan Cilincing tidak menyarankan anaknya untuk terus menjadi nelayan.
"Orangtua saya nelayan dan saya sempat jadi nelayan selama lima tahun, tapi orangtua melarang menjadi nelayan dan sekarang menjadi karyawan sampai sekarang," kata Jaya, penduduk Kampung Nelayan.
Selain dirinya, banyak juga generasi muda di kampung nelayan tersebut yang tidak lagi menjadi nelayan.
Sebagian besar menjadi buruh pabrik dan ada pula yang berdagang.
Malah ada yang masuk pendidikan pelayaran. Kalaupun ada yang masih meneruskan menjadi nelayan, karena kondisi ekonomi.
"Terakhir generasi orangtua saya yang menjadi nelayan," katanya.
• Bulan Agustus 2019 IHSG Turun 0,18 Persen, Ini 10 Saham yang Bikin IHSG Tertahan Naik
Berita ini sudah diunggah di Kontan dengan judul Kampung nelayan Cilincing tempat bersandar 150 nelayan