Sisi Lain Jakarta

Makam Tertua di Jakarta, Melihat Makam Kapitan China Pertama di Batavia

Makam Souw Beng Kong tampak lebih lega dan bersih setelah sebuah yayasan yang menggunakan nama kapitan itu mengusahakan pembebasan lahan dan pemugaran

National Geographic Indonesia/Hafidz Novalsyah
Makam Kapitan Cina yang pertama di Batavia, Souw Bing Kong (1580-1644), tak berdaya dihimpit peradaban yang dahulu pernah dibangunnya. 

WARTA KOTA, PALMERAH--- Bola plastik yang ditendang melambung itu memantul di dinding lorong sempit.

Riuh jerit tawa anak-anak kampung pun membahana.

Sesekali permainan itu terhenti sejenak karena ada pengendara sepeda motor yang melintas atau penjual daging babi yang lewat.

Sebuah potret makin terhimpitnya ruang bermain bagi anak-anak kota.

Bermain bola saja sulit, bagaimana mungkin negeri ini mencetak pemain bola berbakat.

Begitulah, pemandangan singkat suatu sore di Gang Taruna, sebuah lorong Jalan Pangeran Jayakarta di Jakarta Pusat, tak jauh dari kawasan pusat perbelanjaan Mangga Dua.

Beberapa waktu silam, lorong sempit itu dilewati para peziarah yang akan melakukan sembahyang Ceng Beng, sekaligus memperingati wafatnya seorang terhormat perintis budaya peranakan di Batavia, Souw Beng Kong.

Soal Perluasan Kawasan Ganjil Genap, Penjualan Mobil Bekas Bakal Meningkat?

Dia adalah Kapitan Cina pertama di Batavia yang telah terbaring di bawah bongpai sejak 1644.

Makam Souw Beng Kong tampak lebih lega dan bersih setelah sebuah yayasan yang menggunakan nama kapitan itu mengusahakan pembebasan lahan dan pemugaran pada 2008.

Makam yang tadinya hanya satu meter persegi karena terhimpit permukiman, diperluas menjadi sekitar 170 meter persegi!

Sebelum pemugaran, ketika saya berkunjung pertama kali, keadaannya sangat mengenaskan: terpuruk dalam kungkungan rumah-rumah dan tempat cuci piring menjadi hiasan altar makamnya.

Terzalimi hati ini melihat ketakberadaban kala itu. Selama berpuluh-puluh tahun makam bengKong memang terbengkalai.

Kebun kelapa tempatnya bersemayam pun kini telah berubah menjadi hutan beton.

Saya berkesempatan berjumpa dengan Su Shien Ming, yang akrab dikenal sebagai Hendarmin Susilo, di kantornya.

Dia menjabat sebagai ketua Yayasan Souw bengKong yang sekaligus mengikhtiarkan pelaksanaan pemugaran makam ini pernah mengungkapkan, “Dari tujuh makam di kebun itu hanya tersisa dua, lainnya milik seseorang bermarga Lie yang keadaannya jauh lebih memprihatinkan.”

Halaman
1234
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved