Histori
HARI Ini, Kompas Ulang Tahun ke-54 Hadir Dalam Kondisi Prihatin dan Pernah Dilarang Terbit
Beberapa hari awal Oktober 1965, misalnya, pemerintah melarang sejumlah koran di Jakarta, termasuk Kompas, untuk terbit atau beredar.
TEPAT hari ini Harian Kompas ulang tahun ke-54, Jumat 28 Juni 2019.
Harian Kompas terbit pertama kali di Indonesia pada 28 Juni 1965.
Harian Kompas pernah mengalami masa awal yang sulit, tetapi kemudian berkembang di tengah berbagai tantangan dan perubahan zaman.
"Kompas hadir dalam kondisi memprihatinkan," tulis pendiri Harian Kompas Jakob Oetama bersama pendiri Kompas almarhum PK Ojong, dalam buku 50 Tahun Kompas Memberi Makna.
• Kisah Dua Jenderal Kena Tilang, Sampai Akhirnya Kapolda Minta Maaf

Kondisi memprihatinkan itu terjadi pada awal-awal berdirinya, Harian Kompas beberapa kali dilarang terbit.
Beberapa hari awal Oktober 1965, misalnya, pemerintah melarang sejumlah koran di Jakarta, termasuk Kompas, untuk terbit atau beredar.
Aparat keamanan mencegah informasi simpang siur setelah peristiwa 30 September.
Lalu, pada 20 Januari-5 Februari 1978, setelah pemberitaan demo mahasiswa menentang pencalonan Soeharto sebagai presiden untuk kali ketiga, Kompas bersama beberapa media juga dilarang terbit.
• 87 Tahun Jakob Oetama, Ketika Informasi Mengalir Bak Air Bah
Setelah berhenti terbit selama dua pekan, koran ini kembali menyapa pembaca.
Bagaimanapun, dua kali larangan terbit itu turut mematangkan Kompas.
Jakob Oetama, masih dari buku 50 Tahun Kompas Memberi Makna, mengakui, dua peristiwa itu melecut Kompas untuk terus berkembang dan disesuaikan perubahan zaman.
Katanya, "Meniti arus tiada akhir, built in dalam jiwa raganya, bukan melawan arus atau hanya putus asa ikut arus. Ngeli ning ora keli!"
Ngeli ning ora keli, bisa diartikan mengalir tetapi tidak hanyut.
Prinsip yang tampak simpel, kerap diucapkan, tetapi senantiasa menantang diterapkan, terutama dalam momen-momen sulit.
Lantas bagaimana Kompas tetap bertahan sampai sekarang?
Kompas bisa langgeng hingga lebih 50 tahun lantaran mengembangkan prinsip jurnalistik yang terbuka.
Melibatkan banyak orang, dan tidak punya kepentingan selain mencerdaskan kehidupan bangsa.
”Kompas memberikan pencerahan kepada masyarakat, tidak pernah ada intervensi dari pemilik,” katanya.
Budiman Tanuredjo, yang bergabung di Kompas selama 29 tahun, menyadari tantangan besar yang dihadapi pada masa depan.
Namun, dia optimistis, media ini dapat terus berkembang, bahkan memasuki 50 tahun kedua.
”Anak-anak muda yang lebih siap dengan industri media dalam platform yang berbeda, dengan nilai-nilai yang sudah dipahami, akan bisa melanjutkan Kompas memasuki 50 tahun kedua,” katanya.
Optimisme serupa disampaikan Chief Executive Officer (CEO) Kompas Gramedia Lilik Oetama.
Kompas diharapkan panjang umur, tetap jaya, tetap independen, kredibel, dan tetap sebagai penunjuk arah.
Untuk menjaga pencapaian itu, dia mengajak, ”Untuk semua teman-teman di Kompas, kita harus tetap bersatu agar Kompas selalu nomor satu.

Terus Berubah
Hari ini, Harian Kompas genap berumur 54 tahun.
Wajahnya tidak lagi hitam putih.
Wajah Kompas terus berubah dari waktu ke waktu.
Tidak berubah sama artinya dengan mengingkari arus kehidupan yang tak pernah kekal.
Perubahan adalah keabadian itu sendiri.
Mereka yang tidak berubah akan tertinggal.
Jakob Oetama, pendiri Harian Kompas, dalam tulisannya di halaman 1 Harian Kompas, 28 Juni 2010 tepat pada ulang tahun Harian Kompas ke 45, menegaskan bahwa jatidiri media massa adalah berubah.
Perubahan tak dapat dihindari karena dunia dan masyarakat yang menjadi lingkungannya juga berubah.
Panta rhei kai uden menei, kata Herakleitos, filsuf Yunani.
"Semuanya mengalir dan tidak ada sesuatupun yang tinggal tetap."
Perubahan paling signifikan terjadi pada 28 Juni 2005, pada usianya yang ke-40.
Harian Kompas melakukan redesigning, resizing, dan restructuring.
Wajahnya seperti yang Anda lihat saat ini.
Tampilan baru harian Kompas berubah dari sembilan kolom menjadi tujuh kolom.
Logo berubah dari warna hitam menjadi biru.
Ada navigasi di sisi kiri.
Halaman iklan terpisah menjadi klasika.
Ukuran Harian Kompas juga berubah dari 84 centimeter menjadi 76 centimeter.
Struktur penamaan rubrik dan penataan halaman juga berubah.
Filosofi dasar perubahan harian Kompas pada tahun itu adalah membuat semua lapisan informasi menjadi tampak (visual), gampang dikenal (visibel), dan didukung metode jurnalistik post-modern yaitu visual thinking, visuality, dan visibility.
• Youtuber Melongo Lihat Koleksi Mobil Mantan Presiden RI BJ Habibie
• Pidato Lengkap Jokowi Setelah Putusan MK: Tiada Lagi 01 dan 02, yang Ada Hanya Persatuan Indonesia
• Hasil Putusan MK Tolak Gugatan Prabowo, Inilah Jadwal Pelantikan Jokowi-Maruf Amin
Multimedia
Tapi, perubahan pada wajah cetak secara visual bukanlah perubahan terbesar dalam sejarah Harian Kompas.
Perubahan terbesar justru terjadi di era digital belakangan ini ketika identitas Kompas tidak lagi hanya melekat pada bentuk surat kabar, tapi berkembang dalam identitas Kompas.com, Kompas TV, dan Kompas.id.
Kompas.com pertama kali hadir di Internet pada 14 September 1995.
Kompas.com menyajikan reportase berkelanjutan dari waktu ke waktu.
Kompas TV menyusul hadir sebagai entitas baru pada 9 September 2011.
Yang paling "bungsu" adalah Kompas.id.
Entitas baru ini adalah laman berbayar harian Kompas dan artikel-artikel premium lainnya.
Perubahan itu tidak terjadi serentak dan tiba-tiba.
Perubahan itu adalah hasil dari sebuah evolusi panjang dan pergulatan tak kunjung henti yang secara perlahan mentransformasikan entitas Kompas dalam bentuk-bentuk media baru.
Harian Kompas tidak bisa mengelak dari keniscayaan perubahan yang diakibatkan oleh perkembangan teknologi.
Cara audiens mengonsumsi informasi pun berubah.
“Perilaku yang begitu dinamis dalam cara orang memperoleh informasi mendorong Kompas melakukan 'revolusi' internal.
Karena itu, sejak awal tahun 2010-sesuai tema korporat 'Membawa KG (Kompas Gramedia) ke Dunia Digital'-Kompas menerapkan kebijakan 3M (triple M): multichannel, multiplatform, dan multimedia.
Singkatnya, konten Kompas harus bisa dibaca melalui segala wahana (kertas, komputer, televisi, mobile phone, dan lain-lain).
Bentuk konten yang akan di-deliver ke berbagai jenis media tidak hanya berupa teks dan foto, tetapi juga grafis, video, atau gabungan dari semuanya,” tulis Jakob.
Begitulah, Kompas hari ini tidak lagi hanya dikenal sebagai surat kabar.
Ia hadir di setiap platform baru tempat orang mengonsumsi informasi dengan cara-cara baru.
“Kehadiran Kompas secara multimedia adalah niscaya dan mutlak.
Bukan besok, tetapi hari ini. Kompas masa depan hadir secara multimedia.
Lewat beragam sarana dan saluran itu, niscaya semakin produktif, efektif, dan efisien upaya Kompas sebagai lembaga yang organik dan organis, ekstensi masyarakat yang punya misi Merajut Nusantara, Menghadirkan Indonesia,” tulis Jakob lagi.
Masihkah Anda membayangkan koran ketika mendengar kata Kompas?
Perlahan, kata Kompas berevolusi.
Ia tidak lagi sekadar koran, tapi berita yang kredibel, menyuarakan amanat hati nurani rakyat, dan menjaga kemanusiaan serta ke-Indonesiaan kita, yang hadir dalam bentuk-bentuk baru, multimedia, di segala rupa platform informasi yang ada. (*)
Artikel ini telah tayang di tribunkaltim.co dengan judul SEJARAH HARI INI: 54 Tahun Lalu Harian Kompas Terbit Perdana, Berhadapan dengan Aparat dan Penguasa,