Mudik Lebaran
Ketupat Tak Sekedar Simbol Lebaran, Jaman Wali Songo untuk Penolak Bala
Salah satu momen yang ditunggu pada saat perayaan lebaran adalah tradisi makan bersama. Hidangan sebagai sajian khas Lebaran adalah ketupat.
Penulis: Muhamad Rusdi | Editor: Dian Anditya Mutiara
Di antara beberapa kalangan di Pulau Jawa, ketupat sering digantung di atas pintu masuk rumah sebagai semacam jimat.
Ada masyarakat yang memegang tradisi untuk tidak membuat ketupat di hari biasa, sehingga ketupat hanya disajikan sewaktu lebaran dan hingga lima hari (Jawa, sepasar) sesudahnya.
Bahkan ada beberapa daerah di Pulau Jawa yang hanya menyajikan ketupat di hari ketujuh sesudah lebaran saja atau biasa disebut dengan Hari Raya Ketupat.
Di pulau Bali, ketupat (di sana disebut kipat) sering dipersembahkan sebagai sesajian upacara.
Selain untuk sesaji, di Bali ketupat dijual keliling untuk makanan tambahan yang setaraf dengan bakso, terutama penjual makanan ini banyak dijumpai di Pantai Kuta dengan didorong keliling di sana.
Tradisi ketupat (kupat) lebaran menurut cerita adalah simbolisasi ungkapan dari bahasa Jawa ku = ngaku (mengakui) dan pat = lepat (kesalahan) yang digunakan oleh Sunan Kalijaga dalam mensyiarkan ajaran Islam di Pulau Jawa yang pada waktu itu masih banyak yang meyakini kesakralan kupat.
Asimilasi budaya dan keyakinan ini akhirnya mampu menggeser kesakralan ketupat menjadi tradisi Islami ketika ketupat menjadi makanan yang selalu ada di saat umat Islam merayakan lebaran sebagai momen yang tepat untuk saling meminta maaf dan mengakui kesalahan. Sumber: karyacerdas.wordpress.com
Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Sejarah dan Tradisi Makan Ketupat Saat Lebaran...",