Pemilu 2019
UPDATE PEMILU: 45 Orang Tewas Selama Pemilu Serentak, dari Jenderal Polisi sampai Petugas Biasa
Sebanyak 45 orang meninggal dunia saat menjalankan tugas Pemilu serentak 2019. Ini adalah jumlah korban terbesar Pemilu era reformasi.
Sebanyak 45 orang meninggal dunia saat menjalankan tugas Pemilu serentak 2019. Ini adalah jumlah korban terbesar dalam penyelenggaraan Pemilu pada era reformasi.
SETIDAKNYA sebanyak 45 orang petugas meninggal selama pelaksanaan pemilihan legislatif dan pemilihan presiden 2019 yang dilaksanakan serentak atau Pemilu serentak 2019.
Korban sebanyak ini adalah korban terbesar penyelenggaraan pemilu pada era reformasi.
Tahun 2019 adalah untuk pertama kalinya Pemilu diselenggarakan bersamaan antara Pileg dan Pilpres.
Ke-45 Korban Pemilu serentak 2019 terdiri atas 31 orang petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan PPK (Panitia Pemilihan Kecamatan) serta 9 orang anggota Polri.
Penyebab kematian bermacam-macam, namun umumnya akibat kelelahan dan serangan jantung.
Mereka yang gugur saat menjalankan tugas pemilu/pilpres mulai dari petugas biasa di tingkat TPS atau petugas KPPS, sampai seorang jenderal polisi.
Ke-45 korban pemilu serentak 2019 itu antara lain 12 orang di Jawa Barat, 10 orang di Jata Tengah, 9 orang di Jawa Timur dan 9 orang anggota Polri.
Salah seorang anggota Polri yang meninggal adalah Brigjen (Pol) Syaiful Bachri yang meninggal dalam tugas mengamankan Pemilu 2019 di Nusa Tenggara Timur (NTT).
• UPDATE TERBARU Real Count KPU : Jokowi-Amin Unggul di 20 Provinsi, Prabowo-Sandi Kalah di Jakarta
• FOTO VIRAL Hotman Paris Pasang Foto Jadul Jokowi-Megawati Jadi Presiden Lagi, Nasib Orang Siapa Tahu
• Muncul Wacana PILPRES ULANG, Pandangan Mahfud MD: Terserah Asal Lewat Mekanisme Konstitusional
Korban Pemilu Serentak di Sulawesi Selatan
Korban Pemilu Serentak di Sulawesi Selatan mencapai empat orang.
Korban pemilu serentak 2019 tersebut adalah petugas di tingkat TPS (KPPS) dan tingkat kelurahan (PPK).
Para korban itu masing-masing dua orang meninggal dunia karena sakit tipes dan dua lainnya karena kecelakaan lalu lintas.
Korban Pemilu Serentak di Sumatera Utara
Seorang anggota KPPS di Medan, Sumatera Utara, juga meninggal dunia diduga karena terkena serangan jantung.
Dia adalah Zulkipli Salamuddin (45) alias Zul Tenok, bertugas di TPS 43 Kelurahan Gedung Johor, Kecamatan Medan Johor, Medan.
Evaluasi Pemilu
Tingginya angka meninggal mengurusi pemilu yang waktunya panjang dan sangat melelahkan ini membuat para pihak menginginkan adanya evaluasi.
Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Golkar Jawa Barat Dedi Mulyadi mendesak KPU dan pemerintah segera mengevaluasi penyelenggaraan pilpres dan pileg serentak.
Dedi mengatakan, usulan evaluasi tersebut berangkat dari sejumlah persoalan yang muncul di lapangan saat Pemilu 2019 digelar.
Persoalan paling mencolok, menurut dia, adalah banyaknya kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) yang meninggal pada 17 April kemarin.
“Banyaknya petugas KPPS yang meninggal membutuhkan penyikapan yang serius dari pemerintah. Setelah proses pemilu selesai ini harus dievaluasi segera oleh pemerintah,” kata Dedi, mantan Bupati Purwakarta.
Dedi menilai, kasus meninggal dunianya beberapa petugas KPPS merupakan potret dari proses Pemilu 2019 yang melelahkan semua pihak.
Terutama saat proses pemungutan suara yang menggabungkan pemilihan presiden, DPR hingga DPRD tingkat kabupaten/kota. Penghitungan suara keseluruhan memakan waktu sangat lama.
“Ini pemilu paling melelahkan, memakan waktu dari pagi hingga malam,” ujarnya.
Lebih lanjut Dedi menambahkan, sejak proses pemilihan hingga penghitungan suara, banyak tempat pemungutan suara (TPS) baru menuntaskan sampai dini hari, bahkan hingga pagi hari.
Belum jika terjadi pencoblosan ulang hingga penghitungan ulang.
Tak hanya KPPS, pemilu serentak tersebut, menurutnya, melahirkan banyak tekanan psikologis pada para calon legislatif yang juga menjadi tim sukses kampanye calon presiden.
“Tekanan psikologisnya jadi beragam, harus ngurus pilpres terus legislatif. Konsentrasi bisa terpecah,” katanya.
Hal lain yang harus menjadi bahan evaluasi adalah durasi kampanye yang terlalu panjang. Pemilu 2019, lanjut Dedi, menyebabkan masalah psikologi sosial yang begitu berat.
“Pemilu harus dibuat serileks mungkin bagi seluruh pihak,” tutur Dedi.
Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) pun berencana mengevaluasi sistem penyelenggaraan pemilu serentak menyusul adanya kasus yang menewaskan petugas penyelenggara Pemilu 2019 di beberapa daerah.
"Setelah pemilu selesai baru akan dilakukan evaluasi," kata Ketua KPU RI Arief Budiman saat diwawancarai wartawan di kantornya, Sabtu (20/4).
Dia menuturkan pihaknya saat ini masih mendata jumlah petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di seluruh Indonesia yang meninggal dunia saat bertugas.
Petugas KPPS meninggal saat melakukan proses pemungutan dan penghitungan suara Pemilu 2019.
Menurut Arief, mayoritas petugas penyelenggara pemilu di daerah itu meninggal dunia akibat kelelahan dan terkena serangan jantung.
"Pekerjannya berat dan banyak, maka orang sangat mungkin kelelahan dalam menjalankan tugas," ucapnya.
Lebih lanjut dia menuturkan pihaknya akan memberikan santunan kepada para petugas KPPS yang meninggal dunia saat menjalankan tugas sebagai penyelenggara pesta demokrasi lima tahunan tersebut.
Dalam Pemilu 2019, masyarakat mencoblos lima kertas suara yang kemudian dimasukkan ke dalam lima kotak suara di tempat pemungutan suara (TPS).
Lima surat suara itu terdiri dari surat suara Pemilihan Presiden (Pilpres), Pemilihan Legislatif (Pileg) dari tingkat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Pusat, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten dan Kota serta Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Banyaknya jumlah kertas suara itu membuat durasi waktu pemungutan surat suara dan penghitungan hasil suara di tingkat TPS di beberapa daerah berlangsung hingga lebih dari 24 jam.
Pileg dan Pilpres Dipisah
Sementara itu, Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, menilai, pemerintah dan KPU perlu mengevaluasi pelaksanaan Pemilu Serentak 2019.
Terutama, terkait format pemilu yang menggabungkan pilpres dan pileg.
"Saya kira yang harus dilakukan. Pemilu 2019 adalah membuat evaluasi yang mendalam, komprehensif, dan juga utuh yang terkait dengan seluruh aspek penyelenggaraan pemilu serentak," kata Titi di Gedung PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (21/4).
Menurut Titi, sejak awal pihaknya mengusulkan pemilu serentak terbagi menjadi dua.
"Sejak awal yang kami usulkan adalah pemilu serentak yang terbagi dua pemilu serentak nasional yang pemilihan Presiden, DPR, DPD," katanya.
Titi menyarankan agar penyelenggaraan pilpres dan pileg kembali dipisah.
Sebab, pemilu serentak dinilai memberikan banyak beban kepada penyelenggara pemilu.
"Ternyata betul, meski KPU telah melakukan sejumlah langkah untuk mendistribusi beban kerja, tetap saja penyelenggaraan, pemungutan suara, dan penghitungan jadi beban yang amat berat bagi petugas dilakukan," ungkapnya.
Titi juga mengingatkan pentingnya penggunaan rekapitulasi suara secara online.
Menurut Titi, rekapitulasi secara online bisa meringankan beban menulis para petugas teknis di tempat pemungutan suara (TPS).
"Dari penelusuran di lapangan, ternyata kelelahan itu tidak hanya dipicu oleh beban penyelenggaraan pemungutan suara yang sudah berat. Tapi ada juga kontribusi problematika logistik yang mereka hadapi," ucap Titi. (tribun network/kompas.com/liputan6)