Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu: Yang Bilang Kafir Saya Tempeleng, Masuk Neraka Urusan Tuhan

MENTERI Pertahanan Ryamizard Ryacudu gemas dengan polemik pemberian cap ‘kafir’ dari satu pihak ke pihak lain.

TribunJabar
MENTERI Pertahanan Ryamizard Ryacudu 

Piagam Madinah itu menegaskan bahwa seluruh penduduk Madinah adalah satu kesatuan bangsa/umat, yang berdaulat di hadapan bangsa/umat lainnya, tanpa diskriminasi.

Sebelumnya, pada sidang Komisi Muqsith menyatakan, kafir seringkali disebutkan oleh sekelompok orang untuk melabeli kelompok atau individu yang bertentangan dengan ajaran yang mereka yakini, kepada non-Muslim, bahkan terhadap sesama Muslim sendiri.

Bahtsul Masail Maudluiyah memutuskan tidak menggunakan kata kafir bagi non-Muslim di Indonesia.

Gadis Disabilitas Ini Jadi Budak Nafsu Keluarganya, Salah Satu Pelaku Juga Sering Merudapaksa Hewan

“Kata kafir menyakiti sebagian kelompok non-Muslim yang dianggap mengandung unsur kekerasan teologis,” kata Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Abdul Moqsith Ghazali, berdasarkan keterangan pers yang diterima Kompas.com, Jumat (1/3/2019).

Dia mengatakan, para kiai menyepakati tidak menggunakan kata kafir, tetapi menggunakan istilah muwathinun, yaitu warga negara.

Menurutnya, hal ini menunjukkan kesetaraan status Muslim dan Non-Muslim di dalam sebuah negara.

Viral Pengemudi Taksi Online Turunkan Penumpang di Jalan karena Perbedaan Pilihan Politik

“Dengan begitu, maka status mereka setara dengan warga negara yang lain,” tegasnya.

Meskipun demikian, lanjut Kiai Moqsith, kesepakatan ini bukan berarti menghapus kata kafir.

Kata dia, penyebutan kafir terhadap non-Muslim di Indonesia rasanya tidak bijak.

Tangkis Serangan Fitnah, Jokowi Bakal Kasih Sepeda kepada Pihak yang Masih Menyebutnya Antek Asing

"Memberikan label kafir kepada warga Indonesia yang ikut merancang desain negara Indonesia rasanya kurang bijaksana,” tutur Kiai Moqsith.

Lebih lanjut dia menyampaikan, pembahasan ini dilakukan mengingat masih adanya sebagian warga negara lain yang mempersoalkan status kewarganegaraan.

“(Mereka) memberikan atribusi teologis yang diskriminatif dalam tanda petik kepada sekelompok warga negara lain,” paparnya.

Selain itu, Komisi Bahtsul Masail Diniyah Maudluiyah juga membahas soal pandangan Islam dalam menyikapi bentuk negara bangsa, serta tentang produk perundangan atau kebijakan negara yang dihasilkan oleh proses politik modern. (Rizal Bomantama)

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved