KPK Harus Merespon Sanksi Denda Adat Agar Pemberantasan Korupsi di Papua Maksimal

KPK diminta merespon sanksi denda adat yang diajukan sekelompok orang agar pemberatansan korupsi di Papua berjalan optimal.

Penulis: Budi Sam Law Malau |
istimewa
Demo sejumlah orang di Papua memprotes tindakan KPK terhadap Gubernur Papua. 

Denda adat dari masyarakat adat Papua kepada KPK Rp 10 Triliun, dijatuhkan atau diberikan saar unjuk rasa atau aksi damai oleh ribuan masyarakat adat Papua digelar depan Kantor Gubernur Papua, Rabu (13/2/2019) lalu.

Mereka mengecam upaya kriminalisasi KPK terhadap Gubernur Papua yang juga dianggap sebagai upaya pembunuhan karakter terhadap Gubernur Papua.

Karenanya masyarakat adat berunjuk rasa sebagai bentuk dukungan terhadap Gubernur Papua, yang dinilai telah menjadi korban kesewenang-wenangan KPK.

"KPK dianggap telah mempermalukan Gubernur Papua Lukas Enembe yang merupakan salah satu kepala suku besar di wilayah hukum adat Papua. Masyarakat adat Papua marah karena harkat, martabat, dan wibawa pemimpin mereka telah direndahkan oleh KPK," kata Roy.

Ia mengatakan denda adat masih berlaku di Papua meliputi 5 wilayah hukum adat yakni Ahim Ha, Lapago, Meepago, Mamta dan Saeran.

Denda adat ini kerap diterapkan masyarakat adat Papua untuk menyelesaikan sejumlah masalah diantara warga mulai dari pencemaran nama baik, perkawinan, perebutan hak hingga perang suku.

Seperti diketahui akibat peristiwa di Hotel Borobudur, Sabtu (2/2/2019) tengah malam lalu, KPK dan Pemprov Papua saling membuat laporan tindak pidana ke Polda Metro Jaya.

KPK melaporkan adanya dugaan pengeroyokan terhadap penyelidiknya oleh pegawai Pemprov Papua ke Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, sesuai Pasal 170 KUHP, serta Pasal 211 KUHP dan atau Pasal 212 KUHP tentang menghalang-halangi petugas negara, Minggu (3/2/2019).

Sebab saat itu pegawaI KPK sedang ditugaskan untuk melakukan pengecekan lapangan merespon laporan masyarakat tentang adanya indikasi korupsi saat rapat evaluasi anggaran Pemprov Papua digelar di sana.

Dalam rapat, hadir Gubernur Papua Lukas Enembe serta jajarannya, anggota DPRD Papua dan pihak Kemendagri.

Penyidik sudah menaikan status laporan kasus ini dari penyelidikan menjadi penyidikan. Karena dianggap sudah mengantongi bukti permulaan yang cukup terkait adanya dugaan tindak pidana pengeroyokan.

Sebaliknya Pemprov Papua melaporkan balik KPK atas tindak pidana di bidang ITE dan/atau pencemaran nama baik dan/atau fitnah melalui media elektronik Pasal 27 ayat (30) juncto Pasal 45 ayat (3) dan/atau Pasal 35 juncto Pasal 51 ayat (1) No 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU RI No 11 Tahun 2018 tentang ITE.

Laporan tercatat dengan nomor LP/716/II/2019/PMJ/Dit.Reskrimsus tertanggal 4 Februari 2019.

Alasan pelaporan karena Pemprov Papua membantah adanya pengeroyokan terhadap pegawai KPK di sana berdasar foto korban saat berada di Mapolda Metro Jaya.

Saat itu sejumlah pegawai Pemprov Papua mengamankan dan membawa penyelidik KPK ke Polda Metro Jaya karena gerak-geriknya mencurigakan dan kedapatan memfoto Gubernur Papua serta sejumlah pegawai lain secara diam-diam.

Bahkah saat diinterogasi, penyelidik pegawai KPK, sempat berbohong terkait identitasnya.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved