Citizen Journalism

Kekerasan Terhadap Perempuan, Mitos Atau Fakta?

Kesadaran masyarakat Indonesia masih rendah terhadap kekerasan terhadap perempuan

Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan di Daerah Jakarta.  

Ilustrasi.

Kekerasan Eza Gionino pada Ardina Rasti 

Pada 10 Januari 2013, terdapat kasus kekerasan oleh Eza Gionino (23) terhadap pacarnya, Ardina Rasti (27) yang berupa kekerasan fisik.

Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan menjatuhkan vonis dengan hukuman penjara selama tujuh bulan dalam sidang yang digelar di Ruang Utama Oemar Seno Adji.

Eza Gionino secara sah terbukti melakukan tindak pidana penganiayaan secara berulang seperti mencaci maki, memegang bahu lalu menonjok wajah korban sebanyak dua kali di arah telinga kiri yang berakhir terhuyung dan terjatuh ke lantai yang penuh pecahan kaca, setelah itu pelaku menendang perut korban dan terkena tulang rusuk bagian kiri berkali-kali hingga jatuh pingsan.

Eza Gionino di dakwa dengan tiga padal, yakni Pasal 351 ayat 1 KUHP tentang Penganiayaan Ringan, Pasal 406 KUHP tentang Perusakan Barang, dan Pasal 335 KUHP tentang Perbuatan Tidak Menyenangkan.

Penyebab terjadinya kekerasan terhadap Ardina Rasti dikarenakan kecemburuan pelaku karena melihat percakapan korban dengan seorang sutradara via Blackberry.

 Suami Injak Perut Istri 

Pada 10 Januari 2018, terdapat kasus kekerasan oleh suami injak perut istri yang sedang hamil tua hingga sang bayi tewas.

Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) telah menetapkan Kasdi (21) pelaku Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang menginjak-injak perut istrinya, Lina Rahmawati (21) dengan kondisi hamil tua.

Penyebab pelaku menginjak-injak perut korban disebabkan oleh rasa cemburu dan beranggapan bahwa bayi yang berada di dalam kandungan sang istri sebagai darah daging orang lain dan terpaksa untuk lahir sebelum waktunya (sesar) lalu pada akhirnya meninggal dunia.

Di dalam kasus tersebut, Kasdi terjerat pasal berlapis yang disampaikan oleh Direktur Ditreskrimum Polda Metro Jaya Kombes Nico Afinta, yakni Pasal 338 KUHP, Pasal 44 UU RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang KDRT dan pasal 80 UU RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman dua puluh tahun penjara.

Pada umumnya faktor terjadinya kekerasan terhadap perempuan berasal dari faktor internal dan eksternal korban. Faktor internal korban meliputi :

Sikap povokatif korban

Sikap korban yang dengan sengaja maupun tidak membuat pelaku marah adalah salah satu sebab terjadinya kekerasan.

Sikap tersebut seperti: pecemburu, pemarah, pengabaian pengurusan kepentingan, penuntut, histerik, masokistik, suka menjawab balik, suka betengkar, melawan dengan kata-kata kasar.

Ketergantungan

Ketergantungan membuat pelaku merasa berkuasa penuh, sehingga dapat melakukan bermacam tindakan termasuk kekerasan.

Ketergantungan dapat disebabkan oleh rendahnya pendidikan, tidak memiliki keterampilan.

Untuk kuasa mendapatkan keadilan, tidak bekerja atau tidak memiliki penghasilan, tidak percaya diri, tidak kuasa memulai hidup baru, dan takut terhadap kritikan masyarakat.

Tidak mau melapor

Banyak korban kekerasan tidak memahami bahwa apa yang mereka alami adalah kekerasan terhadap perempuan, sehingga mereka memandang bahwa kekerasan yang mereka alami adalah masalah biasa disamping korban merasa bersalah dan layak mendapatkan kekerasan.

Seharusnya kesadaran korban untuk untuk melapor sangat diperlukan. Rika Saraswati (2006) mengatakan, faktor utama penyelesaian kasus kekerasan rumah tangga berasal dari diri korban itu sendiri.

Korban harus sadar bahwa kekerasan dalam rumah tangga yang berlaku pada dirinya merupakan penghinaan terhadap harkat dan martabat perempuan, bertentangan dengan undang-undang serta melanggar hak asas manusia.

Women’s Aid Organization (WAO) mengatakan sebab korban tidak mau melapor seperti: menganggap perkara itu perkara kecil, malu, dianggap membuka aib keluarga, takut dipersalahkan, takut suami lebih ganas lagi, takut dicerai;

Tidak yakin aduannya direspon dengan baik, sukar membuktikan kekerasan yang dialami, takut suami dipenjara, ketidaktahuan korban mengenai prosedur penyampaian laporan, kurangnya kepedulian masyarakat, khawatir korban mengenai berlakunya ketidakharmonisan antara korban dengan pelaku, dengan keluarga pelaku, atau antara keluarga korban dengan keluarga pelaku, dan tidak adanya keyakinan dalam diri korban bahwa kasus kekerasan tersebut akan ditangani secara adil.

Alasan lainnya seperti: merasa jiwanya terancam, takut tidak diberi nafkah, takut dianggap membongkar aib keluarga.

Ditambah pula kebanyakan masyarakat yang menganggap kekerasan rumah tangga adalah sebagai masalah keluarga yang tabu diungkap kerap menyarankan ‘berdamai saja’ sebagai solusi untuk kasus seperti ini.

Berpegang kepada tradisi atau adat

Kuatnya tradisi atau adat yang diikuti dapat menjadi faktor pendorong terjadinya kekerasan seperti korban menganggap kekerasan adalah suatu takdir, anggapan bahwa wanita  harus patuh terhadap lelaki, sikap masyarakat yang tidak peduli terhadap satu dengan yang lain, serta menjadikan kedudukan wanita sebagai sabordinasi di ranah domestik.     

Sedangkan faktor eksternal korban meliputi :

Sifat pribadi pelaku

Sifat pribadi atau psikopatologi pelaku merupakan hal yang dapat menimbulkan terjadinya kekerasan terhadap perempuan, seperti: gangguan jiwa, perasaan tertekan, kurang percaya diri, tidak berfikiran matang, muram, skizofrenia (penyakit mental), kemahiran berkomunikasi yang rendah, pecandu narkoba, peminta, selalu betul, pecemburu, dan sensitif.  

Tekanan hidup

Tekanan hidup dapat menjadi penyebab kekerasan terhadap perempuan, seperti: akibat konflik, beratnya penderitaan yang di alami, tidak mempunyai pekerjaaan, merasa lebih lemah daripada perempuan, dan pernah melihat perbuatan kekerasan atau pernah dipukul pada masa kecil.

Ketimpangan gender dan sosial

Ketimpangan atau ketidakadilan gender tersebut terlihat dengan adanya perbedaan peran dan hak wanita dan lelaki di masyarakat yang menempatkan wanita dalam status lebih rendah dari lelaki.

“Hak istimewa yang dimiliki lelaki ini seolah-olah menjadikan wanita sebagai “barang” milik lelaki yang berhak untuk diperlakukan sesuka hati, termasuk dengan kekerasan, termasuk pula dalam perkara ini  bilamana perempuan dilihat sebagai obyek untuk dimiliki dan dipedagangkan oleh lelaki, dan bukan sebagai individu dengan hak atas tubuh dan kehidupannya.  

Lelaki dianggap lebih utama daripada wanita, sehinggga status wanita dianggap lebih rendah dan kurang berharga berbanding lelaki.

Budaya paternalistik dan pemahaman budaya yang keliru

Budaya paternalistik yang menganggap kaum lelaki sebagai pemegang kekuasaan dipersepsikan sebagai struktur yang menempatkan wanita pada posisi subordinat dibandingkan dengan lelaki, yang dapat menimbulkan berbagai bentuk deskriminasi terhadap wanita.

Banyak kasus kekerasan terhadap wanita lebih bersumber daripada ketimpangan kekuasaan antara wanita dengan lelaki.

Lelaki dianggap pemberani, tegas dalam bertindak, sebaliknya wanita harus bersikap pasrah, mengalah, tugas pengasuhan, pelayanan, dan pendampingan suami dan anak-anak makin menempatkan wanita pada posisi yang lemah dan tidak penting bagi lelaki yang juga dapat menjadi sebab kekerasan terhadap wanita.  

Stigma sosial dalam masyarakat yang menganggap wanita sebagai orang yang tidak normal dan dipandang pembawa aib sehingga diperlakukan rendah dan berbeda dengan lelaki juga merupakan sebab timbulnya kekerasan terhadap wanita.

Selain itu dalam pengembangan teori stigma sosial, wanita adalah salah satu kelompok yang rentan mendapatkan stigma.

Untuk mengurangi adanya kekerasan terhadap perempuan, seperti yang tercantum di sila ke- 2 yang berbunyi “kemanusiaan yang adil dan beradab”, maka masyarakat di Indonesia wajib mempunyai jiwa yang saling menghargai dan menghormati.

Tidak boleh menganggap perempuan lemah dan meninggikan derajat lelaki sehingga bisa berbuat seenaknya karena menanamkan di benak pikiran jika lelaki mempunyai derajat lebih tinggi dan lelaki merupakan seorang pemimpin serta selalu menganggap perempuan lebih lemah daripada lelaki.

Tidak hanya berlaku untuk para pria, perempuan juga harus mempunyai kepercayaan diri, tidak takut untuk mengungkapkan kebenaran, dan berani untuk melawan kekerasan.

Dan untuk seluruh masyarakat Indonesia, jika saling menghargai maka akan terbentuk satu kesatuan yang utuh dan menciptakan Indonesia yang damai.

Lalu, apakah kekerasan terhadap perempuan akan terus berlanjut di Indonesia?

Adanya dukungan dan informasi mengenai kekerasan terhadap perempuan sangat penting bagi perkembangan masyarakat dan juga untuk membuat serta menciptakan masa depan yang akan lebih cerah lagi dengan memiliki tujuan untuk merubah perilaku masyarakat ke arah yang lebih baik.

 

Halaman
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved