G30S PKI

Di Pengasingan Setelah G30S PKI, Soekarno Sering Menangis 'Kenapa Aku Dibeginikan Bangsa Sendiri?'

Mendengar Bung Karno bertanya dengan miris seperti itu, segera Soeharto menurunkan perintah untuk tak lagi menginterogasi Soekarno.

dok Sekretariat Negara
Presiden pertama RI, Soekarno, saat menangis di makam Jenderal Ahmad Yani 

HARTO, jane aku iki arep kok apa’ke?" ungkap Soekarno pada Soeharto di suatu waktu dalam bahasa Jawa.

Kurang lebih artinya, ‘Harto, sebenarnya aku ini akan kamu apakan? Aku ini pemimpinmu’.

Sedikitnya itu pengungkapan Soekarno pada Soeharto yang termaktub di autobiografi Soeharto, pasca-penjelasannya soal peristiwa G30S (Gerakan 30 September) 1965 di mana sejumlah perwira tinggi TNI AD gugur ditolak parlemen, sekaligus pasca-keluarnya Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) 1966.

Masa-masa akhir Soekarno setelah dua peristiwa itu begitu miris.

Sang proklamator, sang penyambung lidah rakyat, Putra Sang Fajar yang mulai meredup, di mana Soekarno sejak Mei 1967 tak lagi diizinkan memakai gelar Kepala Negara atau status Presiden.

Presiden Soekarno sedang berbincang dengan Mayjen Soeharto
Presiden Soekarno sedang berbincang dengan Mayjen Soeharto (Buku Creeping COup d'Etat Mayjen Soeharto)

Di kala itu, Soekarno juga tengah intensif jadi obyek interogasi petugas Teperpu dan sudah “terasing” di Wisma Yaso (kini Museum Satria Mandala, Jakarta).

Mendengar Bung Karno bertanya dengan miris seperti itu, segera Soeharto menurunkan perintah untuk tak lagi menginterogasi Soekarno.

Di masa pengasingannya itu pun, Soekarno tak diperbolehkan dijenguk siapapun.

 Hanya ada salah satu putrinya, Rahmawati dan dokter Kepresidenan Prof. Dr. Mahar Mardjono di Wisma Yaso yang juga mulai suram, mulai berantakan halamannya lantaran tukang kebun pun dilarang lagi untuk datang.

Baca: Rumah Tahanan Politik di Madiun Saat G30S PKI, yang Tak Bersalah pun Bisa Masuk

Baca: Anies Baswedan Diminta Angkat Kadinkes Dari Internal yang Tak Terindikasi KKN

Soekarno menangis 

Sukmawati Sukarnoputri, putri keempat Seokarno dalam buku Creeping Coup d'Etat Mayjen Soeharto menuturkan pada tahun 1969, dirinya yang berada di bangku SMA berkesempatan menjenguk bapaknya pada akhir pekan.

Saat itu kondisi sang Proklamator dalam keadaan parah, begini penuturannya

"Aku memperhatikan, keadaan Bapak semakin memburuk. Yang kutahu penyakit ginjalnya semakin parah. Waktu di istana, di kamarnya Bapak memperlihatkan batu-batu kecil ditaruh dalam gelas yang katanya keluar jika kencing. Aduh pasti sakit!

Sempat bapak diakupuntur dari RRT (China_red), keadaannya membaik karena batu-batunya bisa dihancurkan jadi pasir. Tetapi sejak hubungan diplomat dengan RRT putus maka terapi itu berhenti dengan sendirinya. 

Kondisi Bapak memburuk. Bahkan ginjalnya hanya berfungsi satu. Saat itu belum ada pengobatan cuci darah. 

Sumber: Warta Kota
Halaman 1 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved