HUT Warta Kota ke 18

Ketukan Keras Tombol Keyboard Sudah Tidak Terdengar Lagi

Muncul pertanyaan, mengapa Warkot ketika itu tidak langsung saja menggunakan kamera digital?

Editor: AchmadSubechi
Arie Puji Waluyo
Yoda Idol memeriahkan acara ulang tahun Warta Kota di Jalan Palmerah Barat, Palmerah, Jakarta Pusat, Selasa (3/5), 

WARTA KOTA, PALMERAH--Pada masa awal Warta Kota melangkah, boleh dikata para awak Warta Kota berada dalam dua dunia: analog, dan digital. Delapan belas tahun yang lalu memang saat era digital mulai merambah masyarakat Indonesia.

Tentu saja, Warta Kota mau tidak mau harus mengikuti arus zaman. Di sisi lain, sumber daya manusia yang menjadi tulang punggung redaksi adalah orang-orang era analog.

Para pionir redaksi Warkot adalah wartawan yang sudah berpengalaman puluhan tahun. Mereka bekerja dengan teknologi zaman itu.

Bagi wartawan tulis, mereka menulis naskah dengan mengggunakan mesin ketik yang menimbulkan suara khas. Suara ketukan tombol mesin ketik ini bisa terdengar sampai sejauh puluhan meter di ruang terbuka.

Ketika itu mesin ketik yang terkenal antara lain merek Brother dan Olympia.

Bagi wartawan foto, mereka memotret dengan menggunakan kamera manual yang menggunakan media film warna atau hitam-putih untuk merekam hasil jeperetan.

Kamera manual juga menimbulkan bunyi khas saat digunakan. Ketika itu kamera yang digunakan merek Nikon dan Canon. Film yang digunakan buatan Fuji atau Kodak.

Ketika kemudian para wartawan itu bekerja dengan mesin tulis digital, yakni personal computer (PC), tentu terjadi semacam "gegar budaya" alias kagok.

Ruang kerja redaksi menjadi ramai oleh suara ketukan tombol huruf keyboard, karena awak redaksi sudah terbiasa menggunakan mesin ketik, yang membutuhkan tenaga "ekstra" untuk menggerakkan tombol huruf.

Maka wajarlah keyboard kerap butuh diganti karena rusak.

Era transisi analog ke digital itu juga amat dirasakan oleh wartawan foto. Pada tahun pertama, wartawan foto Warkot masih menggunakan kamera SLR analog.

Ketika berada di lapangan mereka berbaur dengan rekan dari sejumlah media massa lain yang sudah menggunakan kamera digital. Tentulah ada sedikit rasa "minder" karena sang wartawan foto Warkot tergolong ketinggalan zaman, alias "jadul."

Maklum saja, dengan menggunakan kamera analog masih dibutuhkan proses lebih panjang supaya sang pemotret bisa melihat hasil jepretannya.

Proses itu adalah setelah satu rol film digunakan, maka butuh dilakukan "cuci film" kemudian dicetak pada kertas. Proses tersebut membutuhkan alat-alat yang sesuai fungsinya, yang tidak semuanya dipunyai Warkot.

Setelah foto dicetak barulah sang pemotret bisa melihat hasil jepretannya.

Untuk menyelesaikan semua proses itu paling sedikit membutuhkan waktu satu jam, dengan catatan semua perlengkapan pemrosesan tersedia di satu tempat.

Sementara pengguna kamera digital sudah bisa seketika melihat hasil jepretannya di layar kamera. Jadi betapa sangat efisien penggunaan kamera digital dibandingkan analog.

Muncul pertanyaan, mengapa Warkot ketika itu tidak langsung saja menggunakan kamera digital?

Jawabannya adalah mahal. Harga kamera SLR digital dari merek terkemuka, dengan kemampuan resolusi top sebesar 4 Megapixel, pada 18 tahun yang lalu sekitar Rp 60 juta!

Dengan uang sebesar itu sekarang ini bisa didapatkan dua buah kamera kualitas sangat bagus dengan resolusi 24 Megapixel. Maka dari sisi biaya investasi tentu menjadi kurang rasional ketika itu untuk pengadaan kamera digital.

Meski dengan tertatih-tatih, melalui proses trial and error, akhirnya Warkot bisa melewati masa transisi itu dengan baik.

Sekarang suara ketukan keyboard tak lagi terdengar di ruang redaksi. Karena, semua awak redaksi sudah terbiasa menggunakan keyboard, sehingga memencet tombol keyboard tak perlu dengan sentakan keras.

Selain itu, sebagian awak redaksi juga sudah menggunakan keyboard virtual di smartphone yang tak menimbulkan bunyi sama sekali.

Tentu saja, ketiadaan suara ketukan keyboard hanyalah contoh kecil dari era digital yang sudah dirambah Warkot.

Kini semua proses keredaksian sudah terdigitalisasi hingga pencetakan koran. Memang pembaca koran tidak merasakan perubahan sama sekali tentang perbedaan proses pembuatan koran melalui sistem analog maupun digital, karena wujud produk akhirnya sama: koran yang terbuat dari kertas.

Namun, perbedaan yang nampak kasat mata adalah dua produk Warta Kota yang berbeda, yaitu koran cetak, dan koran digital (berupa koran yang dicetak dalam format digital), dan media online (wartakotalive.com).

Media online Warkot dibuat sesuai dengan zaman.

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), yang memungkinkan persebaran informasi dilakukan dalam waktu seketika (real time), membuat Warkot dapat melayani pembaca melalui format yang saling melengkapi.

Melalui wartakotalive.com yang menjadi salah satu kanal utama dalam tribunnews.com, redaksi Warkot dapat memberikan informasi kepada pembaca secara cepat tentang peristiwa yang sudah atau sedang terjadi.

Melalui koran cetak, Warkot memberikan pendalaman atas peristiwa yang telah terjadi. Dengan demikian pembaca mendapatkan layanan yang lengkap.

Model layanan lengkap Warkot tersebut terbukti mendapat respon bagus dari pembaca. Indikasi yang paling jelas adalah jumlah pembeli koran Warkot dalam kurun lima tahun terakhir ini tidak mengalami penurunan, bahkan peningkatan, dan pengakses wartakotalive.com kian hari kian meningkat.

Indikasi tersebut menandakan bahwa Warta Kota telah mendapatkan kepercayaan dari masyarakat sebagai media informasi yang kredibel. Kepercayaan dari masyarakat ini tentulah akan selalu menjadi acuan Warkot dalam bekerja.  Salam... B Putranto (Redaktur Warta Kota)

Sumber: Warta Kota
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved