Pendakian ke Gunung Gede-Pangrango di Tahun 1861

Dalam setahun, berdasarkan data Taman Nasional Gede-Pangrango, bisa ada 50.000 pendaki yang mengunjunginya.

Kompas.com
Sejumlah pendaki gunung melintas di alun-alun Gunung Gede. 

WARTA KOTA, BOGOR - Gunung Gede-Pangrango sekarang jadi favorit pendaki di Jabodetabek.

Dalam setahun, berdasarkan data Taman Nasional Gede-Pangrango, bisa ada 50.000 pendaki yang mengunjunginya. Tapi bagaimanakah pendakian di tahun 1861?

Alfred Russel Wallace peneliti Inggris yang meneliti keanekaragaman Fauna yang pernah menghabiskan waktu 8 tahun di Indonesia (1854 - 1862) untuk mengumpulkan berbagai spesies Fauna, sempat mendaki Gunung Gede-Pangrango antara 18 juli - 31 Oktober 1861 untuk mengumpulkan spesies fauna di sana.

Dia tak menyebutkan kapan tepatnya memasuki hutan gunung itu.

Namun Ia menggambarkan mendaki dan mencari spesies Fauna di sana saat hujan dan kabut turun setiap hari.

Sepotong cerita pendakian ini tercatat di buku yang ditulis Alfred berjudul 'The Malay Archipelago' dan diterbitkan MACMILLAN and CO pada 1869.

Kemudian diterjemahkan Penerbit INDOLITERASI dan diterbitkan kembali pada 2015 dengan judul Sejarah Nusantara. Kini dijual di Toko Buku Gramedia seharga Rp 199.000.

Alfred memilih mendaki Gunung Gede-Pangrango setelah 2 pekan lamanya menyewa sebuah gubuk di kaki gunung dan mencari spesies kupu-kupu.

Sebelum mendaki Alfred sempat tinggal satu malam di rumah pedesaan kecil untuk Gubernur Jenderal di Cipanas.

Penjaga rumah memberikan Ia tempat tidur yang empuk.

Alfred yang lahir pada 8 Januari 1823 pun menikmati rumah pedesaan yang dilengkapi kebun Botani sebelum pendakian.

Dia duduk dan berjalan-jalan di kebun itu.

Kebun yang asri dimana terdapat banyak pohon dan semak-semak cantik.

Serta ada pula sayur-sayuran Eropa untuk kebutuhan makan Gubernur Jenderal.

Saat mendaki, Alfred mempekerjakan 2 kuli untuk membawa barang-barangnya dan 2 pemburu.

Dia mulai memasuki hutan pagi-pagi sekali.

Satu mil pertama Ia sebut sebagai wilayah terbuka.

Lalu 1 atau 2 mil berikutnya jalur mulai mendaki dimana kiri-kanannya banyak pohon berukuran amat besar.

Alfred berkali-kali berhenti dan takjub melihat banyaknya jenis tanaman paku.

Akibatnya Ia baru sampai di Ciburong pada tengah hari.

Di era modern, Ciburong ini bisa ditempuh dalam waktu 1,5 jam berjalan kaki dari Balai Taman Nasional Gede-Pangrango.

Perjalanan selepas Ciburong Alfred gambarkan Ia melewati jalan setapak yang sempit, kasar, curam, zig-zag, batu tak teratur, serta vegetasi tanaman lebat yang menyela jalan setapak.

Sedangkan kini (2015), jalur setapak itu sudah lebih lebar dengan batuan yang teratur menyerupai anak tangga.

Bahkan pendaki bisa tak bersentuhan dengan tanaman saking lebarnya jalur pendakian.

Alfred juga menulis soal kesan anehnya saat melintasi daerah air panas di tahun 1861.

Saat itu kawasan ini tersembunyi di antara dedaunan pohon pakis dan lycopodia.

Aliran air itu Alfred gambarkan mendekati titik didih dengan uap yang menyulitkannya melihat jalan.

Berbeda dengan sekarang, dimana kawasan air panas itu sudah terbuka.

Tanaman hanya tumbuh di sampingnya dan tak menghalangi pandangan pelintas.

Pendaki bisa memilih jalan di situ dengan santai sambil memegang tali pancang yang disediakan.

Kemudian Alfred juga memilih kandang badak sebagai tempat bermalam.

Sama seperti gaya pendaki-pendaki masa kini sebelum mencapai Puncak Gunung Gede atau Pangrango.

Di tahun 1861, Alfred menulis hanya ada sebuah gubuk bambu di Kandang Badak.

Di situlah Alfred bermalam.

Kini, gubuk bambu itu tak ada lagi, tapi sudah berubah jadi rumah berbahan semen, batu bata yang bobrok di sana.

Sehingga pendaki masa kini bisa mendirikan tenda di dalam rumah itu.

Ya begitulah Gunung Gede-Pangrango di tahun 1861.

Tampaknya tak terlalu banyak berubah.(ote)

Sumber: Warta Kota
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved