Pecel Madiun Tak Berpincuk di Cikini

Menyusuri Jalan Gondangdia Lama yang kemudian berganti nama menjadi Jalan RP Soeroso, bahkan hingga ke lorong di bawah jalur kereta api, Jalan Cikini IV, mata akan disuguhi berjenis kedai makan.

|
Editor: Lucky Oktaviano

“Karena dulu rumah itu dikontrakkan, terus habis masa kontraknya. Suami saya bilang, sayang kalau enggak digunakan. Akhirnya dari tiga meja, kami bikin banyak meja di dalam rumah. Bongkar-bongkar sedikit. Menunya juga kami tambah, ada rawon dan sate ponorogo,” lanjutnya, pada awal dagang itu ada satu pelanggan yang tiap pagi pasti pesan makanan di tempat itu.

“Ketika kami tanya, siapa orangnya, ternyata Ibu Hartini Soekarno (almarhum). Terus saya komunikasi lewat surat yang saya titipkan pada saat Ibu Har pesan makanan. Saya minta dikritik kalau ada yang kurang. Kemudian, beliau kritik soal rawon. Katanya kurang mantap. Terus saya dikasih resep. Jadi itu resep Bu Har,” papar Ibu empat putra ini.

Irna menjelaskan, rawon di Jawa Timur ada dua macam, bening dan yang tidak bening. Namun, karena mengetahui keluak (pucung) sebagai bahan utama rawon ternyata banyak diekspor ke luar negeri, dia bertanya-tanya kenapa.

“Ternyata dalam keluak ada kandungan yang digunakan sebagai obat hepatitis B. Lantas karena saya ingin makanan yang saya jual itu menyehatkan, ya, saya biar aja rawon di tempat saya dibikin sangat kental. Kan sekalian untuk obat,” begitu imbuhnya.

Menulis sambil jualan
Istri Hadi Soewito ini ternyata bukan penggemar masak memasak di dapur. Namun, jangan tanya kalau soal “memasak” buku. Sudah 30-an buku diracik. Mantan wartawati majalah Sarinah ini memang lebih getol menulis buku, khususnya sejarah. “

Saya itu enggak pintar masak. Senangnya nulis. Saya bikin buku tentang peristiwa Ikada,” ujar jebolan Fakultas Sejarah dari Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Indonesia (UI) ini.

Selain menulis buku, Irna HN Hadi Soewito juga sempat mengajar di Fakultas Sastra UI. “Saya jual pecel sambil nulis," kata nenek 11 cucu ini.

Keponakannyalah yang seharusnya bertanggung jawab pada soal masak memasak dan menjual masakannya. Tapi karena kemudian si keponakan sakit, maka mau tak mau Irna harus mengambil alih. Meski tak doyan memasak, saraf perasanya kuat dan mampu merasakan apa yang kurang pada masakan yang dicecap. Kemudian sang mertua di Ponorogo pun mewariskan resep agar bumbu pecel menjadi sedap dan tak asam.

Ke Muntilan pun dia jalani demi menemukan ulekan dan lesung dari kayu dan batu. Komunikasi dengan pelanggan selalu dilakukan demi menjaga mutu dan rasa masakan. “Jadi bisa dibilang makanan ini semua selera pelanggan. Semua bahan juga harus benar-benar segar setiap hari,” begitu mantan penyiar Universitaria di RRI Yogyakarta, tahun 1958 ini menegaskan.

Saking getolnya menulis, perempuan yang awalnya dipanggil Hani karena nama aslinya Irna Hani Nastuti ini sempat jatuh sakit karena kurang makan. “Soalnya saya kalau sedang menulis lupa makan. Semua juga heran, kamu itu punya rumah makan tapi kok kurang makan,” lanjutnya, soal nama Hani, karena terdengar terlalu Belanda, maka nama panggilannya pun berubah menjadi Irna.

Yang selalu pasti, Irna selalu bakal bersemangat jika diajak bicara soal sejarah. Khususnya sejarah yang sudah banyak dilupakan atau diselewengkan. Monggo… Asal jangan sampai pecel madiun ala mertua, sate ponorogo, dan rawon Bu Har kemudian bernasib seperti resto kuno dengan menu kuno yang akhirnya mengalah pada zaman.

Pecel Madiun Cikini
Jl. Cikini IV
Jakarta Pusat
Buka: 08.00-17.00

Halaman 2 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved