Pecel Madiun Tak Berpincuk di Cikini

Menyusuri Jalan Gondangdia Lama yang kemudian berganti nama menjadi Jalan RP Soeroso, bahkan hingga ke lorong di bawah jalur kereta api, Jalan Cikini IV, mata akan disuguhi berjenis kedai makan.

|
Editor: Lucky Oktaviano

Jakarta, Teras Indonesia

Menyusuri Jalan Gondangdia Lama yang kemudian berganti nama menjadi Jalan RP Soeroso, bahkan hingga ke lorong di bawah jalur kereta api, Jalan Cikini IV, mata akan disuguhi berjenis kedai makan di kiri dan kanan jalan.

Dari sekian banyak warung, hanya segelintir yang melegenda. Ironisnya, ketika warga Jabodetabek sedang keranjingan icip-icip makanan, khususnya makanan di kedai-kedai lawas, Art and Curio, warung makanan khas Eropa, tutup beberapa tahun lalu. Si pemilik warung menjual tempat itu.

Peminat dan penikmat makanan ala Eropa, seperti steak kuno milik Art and Curio, pasti kecewa. Namun, barangkali kekecewaan itu bisa dialihkan ke makanan tradisional lain yang bertebaran di sekitar kawasan itu.

Seperti misalnya, warung yang lebih mirip rumah, persis di samping warung mi legendaris, Mi Gondangdia. Pada pagar halaman terpancang dua penanda dalam ukuran yang terbilang mungil, Sate Ponorogo dan Pecel Madiun.

Jangan salah masuk ke sisi kiri. Pilihlah pintu masuk ke dalam rumah. Masuk ke warung ini memang bagaikan bertamu ke rumah seseorang. Pasalnya, warung ini memang semula rumah kediaman, dan masih berbentuk rumah, yang kemudian berubah fungsi menjadi warung. Suasana Jawa cukup terasa dengan hiasan beberapa wayang di dinding tembok.

Seperti yang tertulis pada penanda di pagar luar, menu andalan di sini memang pecel madiun dan sate ponorogo. Tapi masih ada satu andalan lagi, rawon. Tiga menu inilah yang paling sering diserbu pengunjung.

Warung ini buka sejak pukul 08.00 hingga 17.00, Senin-Sabtu, dan memang menyasar pekerja kantoran. Seusai makan siang, sekitar pukul 14.00, biasanya lauk-lauk itu sudah ludes. Yang tersisa menu lain, seperti sop, empal, tahu, dan tempe bacem.

Beruntung, Warta Kota masih bisa mencoba ketiga menu andalan itu. Plus jus stroberi yang terasa begitu jujur, segar, manis tak terlalu manis, dan asam tak terlalu asam. Pecel madiun datang tak berpincuk.

Pecel ini dihidangkan dalam piring yang dilapisi daun pisang. Nasi yang tak terlalu penuh disandingkan dengan dedaunan, seperti daun pepaya, daun singkong, taoge, kemangi, kenikir, irisan timun, kecipir berlumur bumbu kacang. Tak lupa peyek kacang. Buat mereka yang tak terlalu doyan pedas, jangan lupa pesan bumbu sedang. Jika tidak, perut Anda bisa langsung panas dan nafsu makan pun lenyap.

“Aslinya pecel Madiun itu pedes, memang. Tapi kan enggak semua bisa makan pedes, jadi kami bikin yang sedang. Biasanya juga ada jeroan, goreng-gorengan, tapi kami enggak mau pakai itu. Kami pengen yang sehat aja, jadi daun-daunan aja,” ujar Irna HN Hadi Soewito, si pemilik. Menurut dia, jika sedang musim, pete cina dan kembang turi pun ditambahkan dalam pecel.

Satu piring pecel madiun lumayan penuh mengisi perut. Jika isi kantong memungkinkan, bisa ditambah seporsi sate ponorogo. Daging ayam yang digunakan untuk sate ini harus ayam kampung. Kenapa? Supaya rasanya empuk dan tak banyak lemak seperti kebanyakan daging ayam negeri.

“Cara motongnya juga beda. Jadi ayam harus digantung, diiris-irisnya ya sambil digantung itu. Makanya daging sate bentuknya agak gepeng,” ungkap Irna.

Seporsi sate ponorogo bisa pilih daging saja atau campur (dengan ati ampela dan kulit). Bumbu kacangnya sangat halus. Yang pasti, dagingnya tak bercampur gombyor lemak.

Ada cerita di balik rawon yang dijual di sini. Rawon di sini begitu kental. Menurut Irna, ketika awal membuka warung pada tahun 2000, garasi diubah menjadi warung dengan hanya tiga meja. Menu hanya pecel madiun.

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved