Julian Sihombing, "Ars Longa Vita Blues"

Menjelang acara pembukaan "The 3rd Singapore International Photography Festival" (SIPF) saya dan tiga rekan fotografer menyempatkan waktu menjenguk Julian Sihombing.

Melihat portfolionya, pemred majalah Jakarta Jakarta, Noorca Massardi, segera merekrutnya, bergabung dengan fotografer lainnya, Desiree Harahap. Julian akhirnya memilih menjadi kuli citra. Dan mengabaikan semester akhir kuliahnya.

Di majalah Jakarta Jakarta, Julian banyak membuat potraiture figur publik, kendati sesungguhnya hasratnya adalah membuat foto-foto aksi panggung olahraga. Julian adalah atlet basket andalan sekolah sejak duduk di bangku SMP.

Dia juga gemar bertualang di alam bebas dengan rekan-rekannya. Dari sana mungkin prinsip persaudaraan dan solidaritas persahabatan tertanam dalam kesehariaannya hingga akhir hayat di kandung badan. Dari penghasilannya, Julian kemudian membeli buku-buku fotografi karya fotografer olahraga idolanya, sebut saja Walter Ioos Jr, John Iacono dan Neil Leiffer.

Namun, fotografer yang paling berpengaruh dalam hidupnya adalah Eugene Smith, salah seorang perintis esai foto yang sangat berpengaruh dalam blantika foto jurnalistik modern dunia. Karya-karya kemanusiaan Eugene yang penuh makna, berkedalaman dibalut dengan simbol dan estetika yang menyentuh, disimaknya dengan saksama.

Betapa dia kagum melihat karya-karya klasik Eugene semacam "Spanish Village", "County Doctor" dan tentu esai yang sangat kontroversial, pencemaran merkuri di Minamata, Jepang. Nama fotografer lain yang juga berpengaruh dalam hidupnya adalah Ernst Haas, Robert Doisneau, Robert Frank dan Alex Webb.

Merasa ingin memperoleh tantangan yang lebih luas, Julian kemudian pindah ke harian KOMPAS setelah dipinjamkan dari Jakarta Jakarta khusus untuk membantu liputan SEA Games Jakarta 1987.

Di harian paling berpengaruh di Indonesia itu, Julian menemukan dirinya. Selain karena dinamistis yang menjadi ciri periodikal harian, Julian dipersilahkan seniornya, Kartono Ryadi, untuk mengeksplorasi seluasnya dunia olahraga dan tentu foto-foto jurnalistik yang menjadi keseharian KOMPAS.

Gaya pemotretannya adalah refleksi yang didapatnya dari sejumlah referensi yang dibacanya secara teliti. Julian termasuk salah satu pewarta foto yang menawarkan kepada publik pembaca, suatu karya jurnalistik yang disajikan dengan sejumlah sentuhan, khususnya segi artistik yang membalut foto-foto beritanya lebih enak dilihat dan hidup.

Waktu berputar, zaman berubah, regenerasi juga berlangsung di harian itu. Pewarta foto muda yang lebih enerjik hadir meneruskan tongkat estafet sebagai kuli citra. Julian praktis jarang turun ke lapangan, dia menjadi editor foto senior dan mendapat tugas untuk membina lintas generasi dari pewarta-pewarta foto baru tadi.

Dia juga menangani proyek-proyek khusus KOMPAS termasuk seperti menjadi pengarah fotografi pada penerbitan buku fotografi jurnalistik "Mata Hati", sebuah buku antologi fotogarfi jurnalistik yang penting.

Sampai kemudian dia meluncurkan buku foto perdananya, "Split Second, Split Moment" (Gramedia, 224 halaman, 2010) yang bermaterikan karya-karyanya selama menjadi kuli-citra Kompas, termasuk karya ikoniknya perihal Reformasi di jalan Kyai Tapa tadi.

Buku terakhir Julian adalah "Indonesia: A Surprise" di mana dia tampil dengan foto-foto dari Bromo, dan imaji dari liputannya di tanah Batak. Dalam buku yang membawa misi keberagaman, dan diberi pengantar dan puisi oleh Goenawan Mohamad itu, karya Julian bersanding dengan Jay Subyakto, Jez O'Hare, Yori Antar, Riza Marlon, John Suryaatmadja, Hermanus Prihatna, Kemal Jufri, Ardiles Rante, dan Oscar Motuloh.

Ketika buku diluncurkan pada 21 Oktober 2011, di Galeri Salihara, Julian tak dapat hadir, tapi menjelang pameran berakhir, Julian sempat tertegun haru, mengamati foto di Bromo yang diabadikannya dipajang melekat dengan puisi GM tentang bayang-bayang.

"Para pewarta foto freelance masa kini, katakan, Kemal Jufri, Ardiles Rante, Wedha, atau Edi Purnomo, adalah sejumlah figur yang mewakili mata kita sekarang. Dibanding mereka mereka, saya merasa nggak ada apa-apanya. Mereka benar-benar datang membawa prinsip dan karakter fotografi mereka sendiri ke dalam fotografi jurnalistik kita yang terus mendewasakan dirinya. Namun, saya bisa tersenyum menyaksikan eksistensi mereka yang meneruskan representasi suara generasi zamannya, di mana saya tak lagi berdaya merekamnya dengan canggih dan bernas," kata Julian pada suatu tengah malam di GFJA.

Malam yang letih. Aroma fajar menyembunyikan purnama di balik awan, kelompok blues dari Bandung, Harry Pochang Blues Libre, bersiap menutup live-nya dipanggung kecil di area gedung Antara Pasar Baru yang bersejarah itu. Semua hadirin, kebanyakan fotografer, termasuk Julian tentunya, bersama-sama melantunkan dengan khusuk In My Life balada psychedelic abadi dari the Beatles:

There are places I`ll remember

All my life, though some have changed

Some forever, not for better

Some have gone and some remain

All these places have their moments

With lovers and friends I still can recall

Some are dead and some are living

In my life, I`ve loved them all.

ANTARA

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved