Julian Sihombing, "Ars Longa Vita Blues"
Menjelang acara pembukaan "The 3rd Singapore International Photography Festival" (SIPF) saya dan tiga rekan fotografer menyempatkan waktu menjenguk Julian Sihombing.
"Ini kita pilihin yang Julian banget deh", kata Jay melalui percakapan telepon genggam. Malam ini, pukul 18.30-an WIB jenasah Julian akan diterbangkan dengan Garuda ke Cengkareng, dan langsung di bawa ke rumah duka di jalan Perkici 2 Blok EA 3 Nomor 50, Bintaro Jaya Sektor 5. Pemakaman dijadwalkan pada hari Senin, di TPU Tanah Kusir.
Hari kelabu juga menjelang, saat suasana yang menggetarkan mengisi relung-relung cakrawala kawasan kampus Trisakti. Julian Sihombing hadir diantara yel-yel garang serdadu anti-huru-hara yang suaranya terdengar menakutkan.
Mereka saling berhadapan dengan para mahasiswa berjaket biru yang bersiap beranjak kembali ke kampus karena gerimis mulai datang. Sejak siang mereka menggelar unjuk rasa menentang pemerintahan Suharto.
Sore itu, tanggal 12, di bulan Mei 14 tahun lalu, beberapa menit lagi, sejarah politik Indonesia akan ditorehkan oleh renteten peluru, kesumat kebencian, darah empat martir reformasi dari Grogol, serta catatan visual Julian dan para pewarta foto yang hadir manjadi mata bagi dunia. Momentum sekeping petang, yang akhirnya menumbangkan tirani kekuasaan Suharto sepekan kemudian.
Julian hadir di titik api peristiwa untuk mewartakan opini visualnya bagi siapapun di muka bumi. Setelah foto seorang mahasiswi terkapar tak berdaya, yang terlilit spanduk perlawanan yang dipotretnya termuat di KOMPAS esok paginya, maka jurnalistik tampak memperlihatkan kekuatan subyektifnya untuk berdiri pada nurani mereka-mereka yang ditindas.
Foto Julian tersebut mengumandangkan secara eksplisit betapa penindasan takkan mampu membungkam suara demokrasi. Foto tersebut kemudian menjadi ikon spiritual yang menyertai siapapun anggota masyarakat melawan emporium otoriter Orde Baru.
Julian adalah pewarta foto KOMPAS paling berpengaruh dalam belantara fotografi jurnalistik Indonesia, setelah angkatan mendiang Kartono Ryadi. Secara profesi, dia layak disebut sebagai pewarta foto terbaik di Indonesia pada zamannya.
Julian merupakan fotografer yang sadar untuk mengembangkan diri secara maksimal meskipun generasi sejamannya umumnya hidup dan berkembang secara otodidak. Julian memiliki prasyarat utama sebagai seorang pewarta foto yang tangguh. Kepercayaan diri yang tinggi dan independen adalah cirinya.
Mata Julian terlatih karena lingkungan keluarganya memang melek visual. Abidan Sihombing, ayah Julian adalah seorang pengusaha yang gemar fotografi. Julian kecil sudah terbiasa melihat karya foto landscape dan dokumentasi keluarga yang diabadikan ayah dan dipajangnya di ruang tamu di rumah mereka di bilangan Tanah Abang. Ibunya, Kasania boru Tobing, adalah juga moviegoers.
Tak heran, kedua orang tua Julian sering memboyongnya menonton gambar hidup di bioskop. Dia masih ingat "The Thief from Baghdad" (Ludwig Berger, 1940, meraih 3 Oscar) adalah film pertama yang ditontonnya.
"One Flew Over the Cuckoo's Nest" film terbaik Oscar 1975 (termasuk Oscar pertama bagi Jack Nicholson dan sutradara Milos Forman) adalah satu film yang paling membekas dalam ingatan Julian. Adaptasi yang keren dari Milos, juga penggarapan keseharian yang teliti dan realistik dari setiap karakter tokoh penghuni rumah sakit jiwa menambah kecintaan Julian pada kekuatan dari kehidupan nyata, seperti yang tersirat dari "One Flew Over the Cuckoo's Nest" karya terbaik Milos sebelum menggarap masterpiece lainnya, "Amadeus" (1984).
Julian dilahirkan di Jakarta, 15 Januari 1959. Anak keenam dari tujuh bersaudara. Kakak sulungnya, Bertram dan kakak ketiganya, Nahot, adalah pencinta fotografi. Bahkan kelak, Ucok, si bontot dari keluarga Sihombing itu, juga berkiprah sebagai pewarta foto olahraga profesional.
Di SMA 6, Julian sudah dikenal sebagai pelajar yang gemar memotret. Dia makin penasaran dengan fotografi dan menemukan oase bacaan fotografi di rumah sahabatnya di kawasan Menteng yang berlangganan sejumlah majalah fotografi yang memiliki banyak koleksi buku fotografi yang ketika itu termasuk barang langka.
Ketika kuliah di FISIP UI Rawamangun, pada 1980, Julian untuk pertama kalinya memiliki kamera SLR Canon AE1. Di kampus dia bersahabat dengan beberapa mahasiswa yang juga gemar fotografi. Mereka kerap mendiskusikan fotografi dan membentuk suatu klub fotografi tanpa nama. Kelompok itu bahkan sempat menggelar pameran foto yang agak serius di kampus dengan kurator Miriam Budiardjo dan Yuwono Sudarsono.
Momentum itu membuat Julian semakin pede untuk serius menekuni fotografi. Dia mencoba peruntungan dengan melamar menjadi fotografer di suatu majalah berita bergambar grup Gramedia yang mengadaptasi gaya Paris Match.