Tahan Badai Ratusan Tahun, Museum Bahari Dilenyapkan Api
Bangunan yang memiliki arsitektur Belanda era tahun 1600-an itu hanya menyisakan dinding tebal tanpa atap.
WARTA KOTA, PALMERAH - Kebakaran hebat yang terjadi di Museum Bahari, Selasa (16/1/2018) siang, tidak hanya menghancurkan gedung bersejarah yang dibangun pemerintah kolonial Hindia-Belanda pada tahun 1652 silam itu.
Tapi, juga menghapus seluruh koleksi sejarah kelautan dan pelayaran Nusantara. Bangunan tiga lantai yang semula kokoh berdiri itu kini hanya tersisa abu dan puing bangunan, sejarah yang menyertainya selama lebih dari tiga abad belakangan pun lenyap.
Mirisnya kondisi bangunan bekas gudang perusahaan dagang Vereningde Indische Compagnie (VOC) itu terlihat dari sejumlah potret pasca-kebakaran yang beredar di media sosial siang ini.
Baca: Anies Baswedan Sebut LRT Beroperasi Juli 2018
Bangunan yang memiliki arsitektur Belanda era tahun 1600-an itu hanya menyisakan dinding tebal tanpa atap. Sebanyak 126 koleksi benda sejarah kelautan, di antaranya kapal dan perahu-perahu niaga tradisional, ratusan miniatur perahu, potret bersejarah, serta biota laut, ikut lenyap.
Dikutip dari museum-bahari.blogspot.co.id, sang arsitek memang menyiapkan bangunan berlantai tiga itu secara matang, tujuannya agar dapat bertahan dari gempuran badai laut tropis yang mengandung garam.
Tembok sekeliling gudang dibangun sangat tebal, tiang-tiang penyangga langit-langitnya pun kokoh menggunakan kayu ulin atau kayu besi berukuran besar, sehingga tak gampang keropos dari terpaan cuaca maupun rayap.
Baca: Gatot Nurmantyo: Survei Kalau Ditanggapi Capek
"Tiang-tiang penyangga itu berjajar di tiap lantai ruangan yang luas lagi lebar. Bayangkan, sejak gudang itu dibangun hingga sekarang, tiang penyangganya masih kokoh. Udara ruangan pun tetap terjaga. Dengan demikian rempah-rempah yang tersimpan di situ bisa bertahan lama, tak gampang membusuk," tulis Tjok Hendro dalam artikel berjudul 'Dari Perahu Bugis ke Kapal VOC' dari halaman museum-bahari.blogspot.co.id pada Selasa, 15 Februari 2011.
"Rancangan teknis pengaturan sirkulasi udara menjadikan seluruh ruangan terasa sejuk, sehingga rempah-rempah itu tetap segar sebelum dikirim ke berbagai tempat nan jauh. Pengaturan sirkulasi udara itu diupayakan dengan menempatkan puluhan jendela berukuran besar pada tiap ruangan. Bahkan jendela-jendela lebar itu selalu terbuka siang-malam sepanjang masa," sambung artikel itu.
Kayu-kayu ulin yang liat serta berukuran besar itu diduga menjadi sebab sulitnya pemadaman dilakukan. Api pun cepat merambat hingga meludeskan seluruh lantai dan atap bangunan yang menghadap persis Teluk Jakarta itu.
Namun, nasi sudah menjadi bubur, masyarakat hanya berharap agar museum yang berada di Jalan Pasar Ikan, Tanjung Priok, Jakarta Utara itu, dapat dipugar serta dipercantik kembali layaknya di era pemerintahan Ali Sadikin pada 7 Juli 1977 silam. (*)