Kisah Inspiratif

Kisah Anfield, Remaja Autis dan Tuna Rungu yang Menginspirasi Lewat Seni

Kisah Anfield, Remaja Berkebutuhan Khusus yang Berkarya Tanpa Batas Lewat Media Sosial. Jadikan Seni Sebagai Bahasa Ekspresi

Penulis: Miftahul Munir | Editor: Dwi Rizki
Istimewa
KISAH INSPIRATIF - Tangkapan layar instagram @anfieldwibowoArt milik Anfield Wibowo (20) penyandang Sindrom Asperger (autisme) dan tunarungu. Remaja asal Ciputat, Tangerang Selatan itu memanfaatkan internet dan media sosial untuk mencari inspirasi dan menyalurkan kreativitasnya dalam bidang seni lukis. 

WARTAKOTALIVE.COM, CIRACAS - Kemajuan dunia digital kini tak bisa lagi dihindari, termasuk oleh para orangtua.

Tak bisa dipungkiri, sejak usia balita, anak-anak sudah akrab dengan teknologi, terutama dengan perangkat seperti ponsel.

Contohnya, saat anak mulai rewel, banyak orang tua memilih memberikan tontonan melalui ponsel agar anak tenang dan tidak mengganggu aktivitas di rumah.

Namun, di tengah realita tersebut, ada kisah inspiratif dari seorang remaja penyandang Sindrom Asperger (autisme) dan tunarungu dalam memanfaatkan teknologi.

Remaja itu bernama Anfield Wibowo (20), warga Ciputat, Tangerang Selatan.

Meski merupakan remaja berkebutuhan khusus, Anfield justru menjadikan seni sebagai bahasa ekspresinya sehari-hari.

Ia aktif melukis, membuat karya tiga dimensi, serta memanfaatkan internet dan media sosial untuk mencari inspirasi dan menyalurkan kreativitasnya.

Langkah yang bijak dalam menggunakan ponsel patut diacungi jempol karena penggunaan internet tak selalu membawa anak-anak ke arah negatif.

Anfield sendiri memiliki akun instagram dan beberapa sosial media lainnya bernama @anfieldwibowoArt.

Di dalam akun sosial medianya, Anfield memamerkan ratusan karya seni lukisnya kepada warganet.

Banyak orang menganggumi karya Anfield yang ditampilkan di sosial media karena begitu indah.

Baca juga: Manfaat Ruang Digitalisasi Bagi Anak Disabilitas, Anfield Wibowo Bisa Pamer Lukisan di Instagram

Sang ayah bernama Donny menuturkan, meski karya anaknya dipamerkan di Instagram @anfieldwibowoArt, tapi ia tidak menjual secara komersial di platform digital tersebut.

Anfield merupakan lelaki kelahiran 19 November 2004 dan sejak kecil sudah memiliki keterbatasan pendengaran (tuli) dan sindrom asperger (autis).

Ia baru memulai melukis di kanvas saat usianya menginjak 7 tahun. Bakatnya muncul berawal dari Donny yang melihat anaknya hobi menggambar dan mencoret-coret dinding rumahnya.

Donny lantas memberikan kanvas dan cat air agar anaknya bisa menuangkan ekspresinya dan ide-ide yang terpendam. Anfield juga ikut dalam sebuah sanggar untuk mengasah kemampuan lukisnya.

"Enggak dijual langsung (di IG). Biasanya orang lihat dulu di Instagram, baru DM atau yang punya nomor Hp saya, tanya ke saya (harga lukisan anaknya),” ujar Donny merasa bangga dengan karya anaknya, Selasa (7/10/2025).

Dalam kesehariannya, Anfiel tetap bersentuhan dengan gawai, namun penggunaannya diawasi ketat oleh Donny dan istri. 

Penggunaan ponsel, kata Donny, berawal ketika Pandemi Covid-19 melanda Indonesia beberapa tahun lalu dan anaknya yang masih sekolah harus beralih ke daring.

Donny kemudian memasang Wi-Fi di rumahnya karena pada saat itu menjadi kebutuhan utama Anfield dalam menjalani pendidikan.

Sejak saat itulah, Anfield mulai terbiasa menggunakan ponsel untuk belajar, interaksi di sosial media, menonton YouTube dan bermain game.

Donny menegaskan, Anfield selalu menggunakan ponsel sebagai sarana mencari inspirasi untuk melukis atau membuat karya lainnya.

"Sebelum pandemi saya enggak pasang Wi-Fi di rumah. Jadi dia cuma bisa pakai handphone saya selama 15 sampai 30 menit. Setelah itu sudah,” ungkapnya.

Kendati begitu, Donny dan istri tetap menerapkan pengawasan ketat kepada Anfield agar tidak terlalu lama bermain gawai.

Ia tak mau anaknya terkontaminasi dengan konten-konten atau hal negatif dari ponsel yang dimainkannya.

Donny sering mengeluarkan jurus andalannya ketika Anfield sudah terlalu lama bermain ponsel yakni menakut-nakuti.

"Pasti takut dia kalau sudah dibilang mata bakal merah dan bengkak jika terlalu lama main Hp," ucap Donny kalau sedang menakuti Anfield.

“Dia suka download aplikasi menggambar, kadang juga dapat ide dari YouTube atau Instagram,” sambungnya. 

Inspirasi yang didapat oleh Anfield melalui sosial media, biasanya tak langsung digambar, tapi direnungkan terlebih dahulu.

Setelah mendapatkan pola, maka akan diolah menjadi karya yang unik.

Selama membuat karya seni lukis, Donny memastikan Anfield tak pernah plagiat atau nyontek karya orang lain.

“Inspirasi bisa dari mana saja. Tapi dia enggak pernah nyontek. Semua versi dia sendiri. Biasanya direnungkan dulu, diolah pakai hati, baru digambar,” bangga Donny. 

Menurutnya, proses kreatif Anfield bisa terjadi secara spontan atau bahkan memakan waktu berhari-hari, tergantung inspirasi yang ia dapatkan.

Lebih lanjut Donny, sepanjang tahun 2025, banyak karya anaknya yang laku terjual melalui pameran di Instagram.

Namun, Donny tidak ingat jumlah pastinya yang terjual usai dipamerkan di sosial media. 

Ia juga tak mau menyebutkan harga dari setiap karya anaknya karena bervariasi tergantung tingkat kompleksitas dalam membuat lukisan.

“Kalau yang nanya di IG ada saja. Tapi saya enggak pernah tentuin harga pasti. Saya tidak mau melacurkan (menjual langsung dengan mencantumkan harga di IG) karya anak saya. Yang penting sepadan dan layak (harganya) untuk karya anak saya,” ujarnya.

Sang ayah berharap, masyarakat semakin terbuka dan menghargai karya anak-anak disabilitas di Indonesia karena memiliki potensi besar untuk menunjang ekonominya. 

Ia yakin, masih banyak anak-anak disabilitas di Indonesia yang memiliki bakat yang dapat membuat bangga orangtua maupun keluarga besar.

Donny selalu menekankan, Anfield adalah anugrah dari tuhan yang begitu luar biasa karena bisa membuat takjub semua orang melalui karya-karyanya.

“Saya cuma ingin orang lihat bahwa anak-anak seperti Anfield itu bisa berkarya, bisa berkontribusi lewat seni. Dunia seni sudah jadi dunianya dia,” tuturnya.

Pengawasan Orangtua

Berbeda dengan Donny, seorang ibu bernama Sri Endang Wahyuni di Jakarta Barat juga memiliki anak penyandang Down syndrome bernama Kayla Dwi Pramesti.

Anaknya kini sudah terbiasa menggunakan gadget setiap pulang sekolah.

Kayla merupakan siswa kelas 1 SMA Sekolah Luar Biasa (SLB) di Jakarta.

Sri harus tetap mengawasi anaknya saat bermain game maupun tontonan anaknya di ponsel yang terhubung dengan internet.

“Kadang-kadang dikasih (ponsel), tapi paling pulang sekolah,” ujarnya dengan suara lembut, Selasa (7/10/2025). 

Sri menegaskan, anaknya terkadang menggunakan ponsel pintarnya untuk belajar atau kegiatan positif lainnya. 

Misalnya, ketika ada tugas dari sekolah yang mengharuskan menggunakan ponsel, maka Sri akan memberikannya.

Walau secara usia anaknya sudah dewasa, tapi Sri tetap menjadi pengawas utama ketika sang anak berinteraksi dengan dunia maya. 

Selain belajar, Sri selama ini melihat anaknya menggunakan ponsel untuk menonton YouTube atau sekedar bermain game Roblox.

“Kalau tugasnya pakai HP, ya pakai. Kalau enggak, ya enggak. Saya lihat dulu dia main apa. Kadang nonton YouTube, tapi cuma kartun anak-anak aja. Paling nonton atau main game roblox gitu,” ucapnya sambil tersenyum.

Ia memastikan, tontonan anaknya tetap aman dan sesuai usia karena sering diberikan pemahaman maupun arahan saat memegang ponsel. 

Sri memberikan ponsel kepada Kayla karena ingin mengedepankan rasa keadilan bagi sang anak yang berkebutuhan khusus.

Sebab, ia tak mau ada kecemburuan di dalam rumah karena anak pertamanya diperbolehkan menggunakan ponsel setiap hari.

“Kalau ada yang enggak pantas, langsung saya larang. Kadang suka nangis, tapi kadang enggak juga. Kalau begitu (nangis dilarang main ponsel) ya dibujuk aja, pelan-pelan baru bisa lepas dari ponsel,” ungkapnya.

Kesetaraan Hak Anak Disabilitas

Sementara itu, Komisioner Komisi Nasional Disabilitas (KNP), Kikin P Tarigan memandang, anak-anak penyandang disabilitas punya hak yang sama dalam menikmati kemajuan teknologi. 

Namun, tak semua dari mereka bisa mengakses dunia digital dengan cara yang sama seperti anak normal pada umumnya.

Misalnya, ada disabilitas pendengaran (tuli), autis dan lainnya, maka cara mereka mengakses internet tentu berbeda. 

Sehingga, perlu adanya pengawasan atau bantuan dari orangtua ketika anak berkebutuhan khusus memainkan smartphonenya.

“Disabilitas itu kan macam-macam ya, rodanya juga beda-beda. Ada anak disabilitas yang bisa langsung mengakses internet tanpa alat bantu, tapi ada juga yang butuh teknologi khusus,” ujar Kikin.

Menurutnya, jika anak yang hanya mengalami hambatan pada kaki, tentu lebih mudah mengakses internet dibandingkan anak tunanetra atau tunarungu, autis dan lainnya.

Lebih lanjut Kikin, jika anak tunarungu tentu butuh panduan visual saat mengakses internet atau ruang digitalisasi.

Sementara anak tunanetra butuh alat bantu suara agar bisa mengakses dan memahami apa yang ditontonnya. 

Lain lagi dengan anak-anak yang punya hambatan intelektual, mereka perlu tampilan yang sederhana dan mudah dipahami.

KND menilai, teknologi digital sangat membantu anak-anak disabilitas dalam belajar dan bersosialisasi serta ruang berekspresi dalam menjalankan hari-harinya. 

Namun, pengawasan tetap diperlukan terhadap anak-anak tersebut agar tidak melihat sesuatu yang bisa membawa dampak negatif. 

“Anak disabilitas juga perlu diberikan batasan dan panduan, sama seperti anak-anak pada umumnya. Tujuannya supaya tidak terjadi penyalahgunaan dari pihak luar atau dari dirinya sendiri,” jelasnya.

Selain untuk belajar, dunia digital juga membuka peluang kerja baru bagi penyandang disabilitas

Kikin mengakui, banyak dari mereka yang kini bisa belajar, bekerja dari rumah, menjadi kreator konten, atau berjualan secara online. 

KND juga bekerjasama dengan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) untuk melatih anak-anak disabilitas agar mengakses digital secara bijak dan sesuai dengan kategorinya.

“Itu sangat membantu karena tidak semua tempat kerja punya aksesibilitas yang memadai. Jadi bekerja secara digital jadi pilihan utama (disabilitas),” katanya.

KND juga berharap pemerintah terus memperluas akses digital bagi anak disabilitas, termasuk lewat pelatihan, lomba, dan kegiatan inklusif.

Ia yakin, para disabilitas memiliki kemampuan yang luar biasa dan tak kalah hebat dengan orang normal pada umumnya.

Kikin memastikan, penggunaan internet atau digitalisasi sangat penting bagi penyandang disabilitas untuk menambah keterampilan, pengetahuan dan ruang interaksi sosial.

"Harapannya, sejak dini anak-anak disabilitas sudah terbiasa dengan teknologi. Jadi mereka bisa tumbuh dengan percaya diri dan berdaya saing, sama seperti anak-anak lainnya,” imbuhnya. (m26)

 


RUANG DIGITAL - IG Anfield Wibowo yang banyak pamerkan karya lukisnya dan tak sedikit yang berminat untuk membelinya. Namun, ayah Anfield Donny tak pernah memasang harga dari setiap postingan karya anaknya.

Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved