Berita Nasional

Jumlah Guru yang Lulus Pendidikan Inklusif Masih Rendah, Kebutuhannya 17 Ribu Orang

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

PENDIDIKAN INKLUSI - Ketua Tim Kerja Pendidikan Khusus di Direktorat Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus, Kemendikdasmen RI, Meike Anastasia di sela Konferensi Pendidikan Inklusi Indonesia (KPII) 2025 di Kemendikdasmen, Jakarta Pusat, Jumat (8/8/2025).

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) RI menyatakan, terus memperkuat kualitas guru demi mewujudkan pendidikan inklusif yang merata di Tanah Air.

Sejak 2023, Pemerintah Indonesia sudah gencar memberikan pelatihan kepada guru, termasuk mereka yang tidak memiliki latar belakang pendidikan khusus.

Ketua Tim Kerja Pendidikan Khusus di Direktorat Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus, Kemendikdasmen RI, Meike Anastasia mengatakan, pemerintah terus melakukan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) guru.

“Sejak 2023 kami sudah mengambil pelatihan untuk penguatan kompetensi bagi guru-guru yang tidak memiliki latar belakang pendidikan khusus bagaimana mereka bisa memfasilitasi anak-anak ini. Jadi pelatihan itu sudah ada dilakukan secara daring,” kata Meike.

Hal itu dikatakan Meike di sela Konferensi Pendidikan Inklusi Indonesia (KPII) 2025 di Kemendikdasmen, Jakarta Pusat, Jumat (8/8/2025).

Meike melanjutkan, pada tahun 2024, pelatihan tersebut juga diperkuat melalui kerja sama dengan Western Sydney University dan lembaga inovasi, bersama Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) serta Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah (Pauddasmen).

Kerja sama ini menghasilkan modul-modul pelatihan daring yang bisa diakses guru di seluruh Indonesia.

“Untuk modul dasar itu sudah sekitar 400.000 guru yang sudah ikut secara online, dan untuk modul lanjut kami sudah melatih 5.000 guru, dan yang lulus ada 4.492 guru,” jelasnya.

Meski capaian ini cukup signifikan, Meike menekankan bahwa kebutuhan guru untuk pendidikan inklusif masih jauh dari ideal. 

Baca juga: Megawati Didampingi Prananda Sambangi Taman Langsat Jaksel, Pramono Ajak Keliing Naik Mobil Golf

“Itu belum (terpenuhi kuotanya), karena kebutuhan kami adalah 17.000 guru. Dengan murid yang bersekolah di sekolah reguler itu sekitar 175.000 penyandang disabilitas, dan di sekolah pendidikan khusus ada 52.000,” katanya.

Selain itu, lanjut Meike, dukungan pemerintah pusat terkait pendidikan inklusif dengan menyiapkan payung hukum yang kuat.

Tiga regulasi utama yang menjadi landasan adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas; Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak; serta Permendikbudristek Nomor 48 Tahun 2023 tentang akomodasi yang layak bagi peserta didik penyandang disabilitas di semua jenjang pendidikan.

“Ketiga regulasi ini mendukung adanya pemenuhan akomodasi yang layak, agar mereka mendapatkan kesempatan yang sama dan setara dalam memperoleh pendidikan. Setara di sini bukan sama rata, tetapi sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing anak,” paparnya.

Tidak hanya regulasi, Kemendikbudristek juga melakukan sosialisasi dan advokasi kepada sekolah, masyarakat, dan pemerintah daerah, termasuk pembimbingan teknis terkait pembentukan Unit Layanan Disabilitas (ULD) di daerah.

“Unit layanan disabilitas inilah yang nanti akan membantu, mensupport, dan memfasilitasi bagi satuan pendidikan ataupun lembaga-lembaga yang membutuhkan,” lanjut Meike.

Meski pendidikan inklusif sudah diupayakan selama 20 tahun, Meike mengakui pelaksanaannya di lapangan tidak mudah. 

Kendala terbesar ada pada kompetensi guru, ketidaksiapan sekolah, dan stigma masyarakat.

“Pendidikan inklusi itu walaupun sudah 20 tahun, bukan hal yang mudah. Kami perlu adanya sinergi, kolaborasi antara setiap unsur yang terlibat di dalamnya. Itu tidak hanya menjadi tugas pemerintah, tetapi juga sekolah, organisasi masyarakat disabilitas, dan keluarga,” jelasnya.

Menurut dia, dalam dua sampai tiga tahun terakhir, pemerintah mencoba bergerak lebih cepat untuk mencapai pendidikan inklusif.

Dia berujar, semua sekolah seharusnya siap menerima siswa dari berbagai kondisi, bukan hanya sekolah yang diberi label inklusi saja.

“Sebelumnya banyak pendapat dari daerah yang menyatakan bahwa pendidikan inklusi itu percuma, nah hal-ha itu yang kami coba ubah stigma-stigma seperti itu,” imbuhnya.

“PR (pekerjaan rumah) kami berat, tidak bisa pemerintah pusat saja. Perlu kolaborasi dari daerah, pemahaman masyarakat, dan keluarga. Karena di lapangan, rata-rata justru pihak keluarga yang tidak menerima kondisi anaknya,” lanjutnya.

Diketahui, ajang KPII 2025 yang mengusung tema ‘Dua Dekade Pendidikan Inklusi di Indonesia: Pendidikan Bermutu untuk Semua’ ini digelar untuk menjadi wadah pertukaran pengetahuan, pengalaman, dan praktik baik dalam pendidikan inklusif di Indonesia.

Acara ini menjadi momentum penting untuk membangun ekosistem pendidikan yang mampu menjawab kebutuhan beragam peserta didik, terutama anak-anak dengan kebutuhan pendidikan khusus.

Pendidikan bagi penyandang disabilitas bukan sekadar menyediakan akses masuk sekolah, tetapi memastikan lingkungan belajar yang mendukung partisipasi penuh dan setara bagi semua anak.

Acara ini digelar di Kemendikdasmen, Jakarta dari Jumat (8/8/2025) sampai Minggu (10/8/2025).

Adapun kegiatan tersebut digelar Politeknik Bentara Citra Bangsa (PBCB) bersama Yayasan Indonesia Peduli Anak Berkebutuhan Khusus (YIPABK), Cipta Aliansi Edukasi (CAE) dan Psiko Edukasi Asesmen Center (Peace), serta didukung Kemendikdasmen. (faf)

Baca berita Wartakotalive.com lainnya di WhatsApp.

Baca berita Wartakotalive.com lainnya di Google News.

Berita Terkini