Berita Jakarta

Tukang Perbaiki Panci Keliling, Sape'i Jalan Kaki dari Cibinong Sampai Cibubur Jaktim

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

TUKANG PERBAIKI PANCI - Sape'i saat ditemui di Jalan Pertigaan Kali Caglak, Kelurahan Cibubur, Jakarta Timur, Jumat (9/5/2025). Sape'i warga asal Cibinong, Bogor, Jawa Barat rela jalan kaki puluhan kilometer untuk mencari pelanggan yang ingin memperbaiki pancinya.

WARTAKOTALIVE.COM, CIRACAS - Duduk di bawah pohon rindang, seorang pria tua tengah beristirahat karena lelah memikul boks yang dibawanya. Sesekali pandangannya kosong, matanya terkadang melihat jalan dan langit.

Pria tersebut bernama Sape'i warga asal Cibinong, Bogor, Jawa Barat yang rela jalan kami puluhan kilometer untuk mencari pelanggan.

Sape'i merupakan satu-satunya tukang patri atau memperbaiki panci dan sejenisnya. Meski usianya sudah senja, tapi semangat untuk mencari uang masih terpancar dari raut wajahnya.

Jika ia tidak keliling mencari pelanggan, maka tidak bisa bisa bawa pulang uang untuk makan sehari-hari bersama anak dan cucunya.

Istrinya sudah lama tiada, sehingga ia tinggal dengan anak dan cucunya di rumah. Setiap hari, Sape'i berangkat keliling pukul 08.00 WIB dan pulang sekira pukul 17.00 WIB.

Dari rumah, ia keliling kampung untuk mencari warga yang ingin perbaiki panci atau sejenisnya. Setelah itu ia melanjutkan perjalanan ke wilayah Kelurahan Cibubur, Kecamatan Ciracas, Jakarta Timur.

"Keluar jalan rasa dari Cibinong saya naik angkot, terus turun di Pasar Cisalak dan jalan kaki kekiling Cibubur," kata Sape'i saat ditemui di Jalan Pertigaan Kali Caglak, Kelurahan Cibubur, Jakarta Timur, Jumat (9/5/2025).

Sape'i tidak punya pilihan pekerjaan lain di usianya yang sudah memasuki 74 tahun. Ia pernah banting seting menjadi kuli bangunan beberapa tahun lalu, tapi karena semakin tua tenaganya tak lagi dibutuhkan.

Baca juga: Pengacara Jokowi Sebut Menunjukkan Ijazah Asli di Depan Publik Tak Selesaikan Masalah dan Perdebatan

Keahliannya sebagai tukang patri pun ia manfaatkan demi anak dan cucu serta dirinya bisa makan. Anaknya perempuan tidak bekerja dan gaji dari menantunya tak cukup untuk hidupi keluarga.

"Saya belajar dari orangtua saya. Terus saya mulai sendiri dari sidang PKI tahun 1966," ucap pria berkemeja lusu.

Dalam sehari, kata Sape'i, belum tentu dapat perbaikan panci dari warga. Rasa sedih diakuinya sangat menyelimuti karena tak bisa bawa pulang uang.

Ia memasang tarif tergantung tingkat kesulitannya, jika kerusakan ringan maka hanya mematok harga Rp 5.000 dan paling mahal Rp 50.000.

"Ada juga yang minta bikinin talang (saluran di atap rumah) itu mahal. Permeter itu dihargai Rp 50.000, kadang kalau lagi ramai bisa bawa uang Rp 300.000," tegasnya.

Ia berharap, setiap hari ada pelanggan yang memperbaiki panci atau lainnya supaya bisa mendapatkan pemasukan untuk biaya hidup sehari-hari.

Sape'i menilai, masyarakat zaman sekarang banyak yang tidak mau repot karena setiap kali panci rusak atau bolong memilih untuk dibuang.

Halaman
12

Berita Terkini