Pilpres 2024

Sule dan Andre Taulany Tanya Soal Program Susu dan Makan Siang Gratis, Gibran: Banyak yang Nyinyir

Penulis: Alfian Firmansyah
Editor: PanjiBaskhara
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pelawak Entis Sutisna alias Sule dan Andre Taulany bersama Cawapres nomor urut 02, Gibran Rakabuming Raka di acara Konsolidasi Pemenangan Prabowo-Gibran di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Jawa Barat, Minggu (10/12/2023).

Jokowi dinyatakan lulus dari UGM pada tahun 1985, sesuai ketentuan dan bukti kelulusan yang dimiliki oleh UGM.

Penobatan itu disematkan BEM KM UGM di sela acara diskusi publik darurat demokrasi bersama Serikat Merdeka Sejahtera (Semesta) di bundaran UGM, Jumat (8/12/2023).

Permasalahan fundamental seperti kasus korupsi, revisi undang-undang ITE dan persoalan yang terjadi di Mahkamah Konstitusi (MK) disebut menjadi sederet pemicu penobatan itu.

Menurut Gielbran, penobatan ini sebagai wujud kekecewaan mahasiswa UGM pada Jokowi.

Masih banyak sekali permasalahan fundamental yang belum terselesaikan, padahal sudah hampir dua periode Jokowi memimpin di Indonesia.

Mulai dari kasus korupsi, kini pimpinan KPK yang notabene merupakan garda terdepan pemberantasan korupsi, malah justru menjadi pelaku kriminal.

Kemudian revisi undang-undang ITE soal kebebasan berpendapat yang dinilai sangat mempermudah para aktivis untuk dikriminalisasi.

Belum lagi soal konstitusi. Para hakim Mahkamah Konstitusi terbukti bermasalah dalam sidang MKMK.

Hal ini menjadi gerbang bukti empiris bahwa kenyataannya MK memang tidak independen.

Baliho Jokowi terdapat di sejumlah titik di kampus UGM. Baliho itu bertuliskan sebagai alumnus paling memalukan. (tribun jogja)

Apalagi dengan kedekatan personal antara keluarga Jokowi dengan Hakim Anwar Usman.

Serentetan persoalan tersebut, menjadikan Indeks demokrasi Indonesia dinilai semakin menurun.

"Kita merasa sudah tidak ada momentum lain selain sekarang untuk menobatkan Presiden Jokowi sebagai alumnus paling memalukan," kata Gielbran.

Penobatan Jokowi sebagai alumnus UGM paling memalukan ini disimbolkan dengan pemasangan baliho bergambar wajah Jokowi.

Baliho berukuran cukup besar sekira 3x4 meter ini menggambarkan bagaimana Jokowi dalam dua fase.

Yaitu mengenakan almamater UGM berikut caping berpadu dengan Jokowi memakai jas dan mahkota raja.

Baliho tersebut terpasang di 3-4 titik di seputar kampus UGM.

Selain itu, wajah Jokowi dalam bentuk topeng juga dihadirkan dalam kursi kosong di diskusi tersebut.

Di akhir acara, panitia menyerahkan kajian berikut sertifikat alumnus paling memalukan kepada manipulasi Jokowi yang diperankan oleh perwakilan massa.

Nantinya sertifikat dan kajian itu bakal dilayangkan melalui Pos ke Istana Presiden.

Menurut Gielbran, Joko Widodo tidak mencirikan lagi nilai-nilai UGM.

Jokowi di akhir masa pemerintahan justru menghendaki perpanjangan kekuasaan laiknya seorang raja Jawa. Tanpa memperhatikan nilai etik.

"Belum lagi bicara dinasti politik beliau, yang jelas terpampang di depan mata kita," ujarnya.

"Sehingga saya rasa seperti tadi tidak ada momentum selain sekarang untuk menobatkan beliau sebagai alumnus paling memalukan," imbuhnya.

Mimbar diskusi publik di Bundaran UGM ini menghadirkan narasumber Aktivis Hak Asasi Manusia, Fatia Maulidiyanti dan akademisi sekaligus peneliti Hukum Tata Negara Indonesia, Dr. Zainal Arifin Mochtar.

Diskusi ini juga menghadirkan koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) tahun 2010-2016, Haris Azhar.

Dalam diskusi tersebut, Fatia berbicara tentang indeks demokrasi Indonesia yang mengalami penurunan.

Ia mengawalinya dengan tahun 2014, ketika Presiden Joko Widodo dianggap sebagai new hope karena berangkat dari kebaruan yang tidak memiliki rekam jejak buruk di masa lalu.

Bahkan Jokowi sangat tenar dengan gaya blusukannya dan Nawacita.

Pada saat Pilpres berhasil meraup suara hingga 70 persen di Papua. Namun pada akhirnya, kata Fatia harapan tersebut gugur.

"Karena mengangkangi semua janjinya. Pada akhirnya, membawa Indonesia mengalami penurunan indeks demokrasi," kata Fatia.

Sementara itu, Akademisi Zainal Arifin Mochtar bicara tentang praktek pemberantasan korupsi yang dinilai jalan ditempat.

Menurut dia, jika disusun maka daftar dosa pemerintah dalam sepuluh tahun terakhir sangat panjang dan lebar.

Satu di antara dosa yang paling kentara adalah masih suburnya praktek KKN dan semakin hilangnya non-konflik kepentingan.

Bisa bayangkan, lanjutnya, di Republik Indonesia, menteri sekaligus pengambil kebijakan dan pada saat yang sama bisa diuntungkan dari kebijakan itu.

"Kalau mau kita lacak siapa yang paling berdosa, maka kita harus menyebutkan nama Jokowi plus partai-partai di belakangnya," ujarnya.

"Mengapa politik dinasti terjadi, karena dibiarkan oleh partai-partai, maka kritik kita hari ini kita bebankan separuh ke Jokowi dan separuh lagi ke partai di belakangnya," tandasnya.

(Wartakotalive.com/M32/TribunBekasi.com/MAZ/TribunJogja.com)

Berita Terkini