IDI Pecat Terawan

Ini Sosok Dokter Terawan yang Dipecat IDI, Inisiator Vaksin Nusantara hingga Terapi Cuci Otak

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Menteri Kesehatan Dr. Terawan Agus Putranto saat melakukan konferensi pers di Kantor Presiden, Senin (14/9/2020).

1. Jadi dokter di usia muda

Dokter Terawan lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada di usia 26 tahun.

Dia kemudian melanjutkan pendidikan spesialis di Departemen Spesialis Radiologi Universitas Airlangga Surabaya.

Dokter Terawan kemudian mengambil program doktor di Universitas Hasanuddin (Unhas) pada 2016.

Judul disertasi Terawan adalah "Efek Intra Arterial Heparin Flushing Terhadap Regional Cerebral Blood Flow, MOtor Evokde Potentials, dan Fungsi Motorik pada Pasien dengan Stroke Iskemik Kronis" dengan promotor dekan FK Unhas, Prof Irawan Yusuf, PhD.

Terawan mulai menjadi dokter tentara pada 1990 dan ditugaskan di berbagai wilayah, hingga akhirnya menjabat sebagai Kepala Rumah Sakit Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto Jakarta sejak 2015.

Baca juga: Terawan Mundur, Doni Monardo Diusulkan Jadi Calon Dubes RI untuk Spanyol

Terawan juga merupakan salah satu dokter kepresidenan.

Dia sempat ditunjuk Jokowi untuk membantu merawat almarhum Ani Yudhoyono ketika menjalani pengobatan kanker darah di Singapura beberapa waktu lalu.

2. Kontroversi terapi cuci otak

April tahun 2018, nama Terawan hangat diperbincangkan masyarakat. Saat itu Terawan memperkenalkan metode cuci otak atau brain wash yang diyakini dapat mengobati stroke.

Saat itu Terawan mengaku, terapinya memberi hasil bagus kepada pasien.

"Ada banyak pasien yang merasa sembuh atau diringankan oleh terapi cuci otak itu," kata Terawan.

Di lain sisi, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) menyebut metode Digital Substraction Angogram (DSA) atau cuci otak untuk pengobatan stroke belum teruji secara klinis.

Ketua Umum PB IDI Prof dr Ilham Oetama Marsis, SpOG mengatakan, setiap teknologi dan metode pengobatan mesti melalui uji klinis.

"Harus dibuktikan kembali bahwa dengan cara itu saja apakah bisa menggantikan terapi konservatif yang ada? Belum tentu, dia harus membuktikan," kata Marsis kepada wartawan, Senin (9/4/2018).

Halaman
1234

Berita Terkini