Kuliner

Angkringan Anget Anget Jogja, Tempat Ngopi Baru Bernuansa Alam Perdesaan Nan Hijau di Imogiri

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Suasana di Angkringan Anget Anget Jogja, Kampung Gabahan, Desa Karangtalun, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Yogyakarta.

WARTAKOTALIVE.COM, BANTUL -- Mengunjungi Kota Imogiri, Kabupaten Bantul, Yogyakarta tak bisa dipisahkan dari keberadaan lokasi makam raja-raja Mataram Islam beserta keturunannya yang dibangun pada zaman pemerintahan Sultan Agung.

Meski kemudian Mataram Islam terpecah menjadi dua bagian pada 1755, makam Imogiri tetap digunakan sebagai tempat peristirahatan terakhir bagi raja-raja dari kedua kesultanan tersebut.

Di Imogiri terdapat pula kompleks Makam Seniman Giri Sapto. Tak sembarang seniman bisa dimakamkan di sini.

Baca juga: Akibat Pandemi, Peternak Ikan Mitra Binaan Pertamina Beralih Geluti Bisnis Kuliner dan Eco Wisata

Baca juga: Tokoh Masyarakat asal NTT Ini Gratiskan Sewa Lahan Pedagang di Pusat Kuliner di Karawaci Tangerang

Di antara seniman yang "beristirahat abadi" di Giri Sapto adalah Kusbini, pencipta lagu Bagimu Negeri, Dr Liberty Manik pencita lagu Satu Nusa Satu Bangsa dan Desaku, serta banyak lagi seniman lainnya.

Selain terdapat kompleks makam raja-raja di Bukit Merak setinggi sekitar 100 meter di atas permukaan laut dan Makam Seniman Giri Sapto, di Imogiri juga terdapat sejumlah destinasi wisata yang elok dan memesona. 

Sebut saja, misalnya, puncak kebun buah Mangunan, Jurang Tembelan Kanigoro, Watu Mabur Mangunan, Bukit Panguk Kediwung, Bukit Becici dan yang lagi ngetop: Litto Tokyo--tak jauh dari Bukit Becici.

Daftar menu di Angkringan Anget Anget Jogja di kampung Gabahan, Desa Karangtukul, Kecamatan Imogiri, Bantul, Yogyakarta. (Foto dok: Barlin Srikaton) (Barlin Srikaton)

Destinasi wisata dan wisata kuliner adalah paduan serasi tak terpisahkan. Di mana ada lokasi wisata, biasanya di situ juga ada wisata kuliner, tak terkecuali di Imogiri.

Salah satu kuliner di Imogiri yang diburu para pecinta kuliner adalah Sate Klathak Pak Pong di Jalan Imogiri Timur Km 10. Ciri khas sate klathak adalah sate kambing muda yang tusuk satenya berbahan jeruji sepeda.

Selain itu, ada pula mangut lele Bu Is, mie ayam Tumini, sambel belut Pak Sabar dan penjual mie lethek juga banyak dijumpai di Imogiri.

Baca juga: Pertamina Dukung Mitra Binaan UMK untuk Ekspansi Usaha Kuliner Nusantara

Mie lethek bahan dasarnya terbuat dari singkong, mie ndeso khas Bantul yang sudah ada sejak tahun 1920-an.

Nah, di antara semua itu, kini di kampung Gabahan, Desa Karangtalun, Kecamatan Imogiri, Bantul juga ada tempat ngopi yang "ramah kantong", yaitu Angkringan Anget Anget Jogja.

Barlin Srikaton, founder dan pemilik, sengaja menonjolkan kata "angkringan" di depan, meski secara konsep interior dan tampilannya lebih mirip warungan atau kafe.

Secara sadar Barlin sengaja menonjolkan kata  angkringan meski di kafenya tidak ditemukan angkringan atau gerobak yang menjadi tempat jualannya.

Setiap Minggu pagi Barlin Srikaton melatih anak-anak warga sekitar Angkringan Anget Anget Jogja di kampung Gabahan, Desa Karangtalun, Kecamatan Imogiri, Bantul, Yogyakarta belajar menggambar. (Barlin Srikaton)

Barang bekas

Kepada Tribuntangerang.com yang menemuinya di kafenya awal Februari, Barlin didampingi istrinya, Christi mengatakan, kafenya dibangun sedikit demi sedikit, dan sebagian besar material bahan-bahannya merupakan barang bekas.

Baca juga: Lowongan Kerja Jakarta Bidang Kuliner Senin 7 Februari untuk Lulusan SMA/SMK dan Sederajat

"Ini kursi yang kita duduki, kursi bekas yang sudah tidak ada yang mau pakai, saya permak dan cat lagi. Lalu, pas lihat ada  potongan-potongan kayu jati, saya beli lalu saya tempel-tempel," kata alumnus Jurusan Seni Rupa Universitas Negeri Yogyakarta itu.

Sebagai seniman yang cukup lama malang melintang sebagai desain grafis di harian Warta Kota Jakarta, pelukis dan kartunis ini benar-benar mengeksplorasi kemampuan grafisnya untuk mendesain interior kafenya.

Pria kelahiran Imogiri itu mengatakan, butuh waktu untuk menyelesaikan bentuk fisik bangunan kafenya karena bahan-bahannya sengaja dicari dari barang-barang bekas. 

Sentuhan barang bekas yang mendominasi interior kafenya itu seolah menyatu dengan alam perdesaan Desa Karangtalun, berupa hamparan persawahan yang berujung pada deretan perbukitan--masyarakat setempat menamainya Bukit Seribu.

Apalagi lokasinya berada di hook atau pojok, sehingga pada saat malam bulan pernama akan disuguhi panorama alam persawahan yang diakhiri Bukit Seribu yang berjejer sepanjang mata memandang.

Eksotisme perkampungan yang jauh dari keriuhan, menjadikan Angkringan Anget Anget Jogja cocok untuk ngopi dan menyantap hidangan ala ndeso namun higienis. 

Mulai dari nasi kucing bakar atau sekuba, tempe goreng, pisang goreng, sate ampela, sate telur puyuh, sate kentang, telur asin, keripik singkong, kerupuk kulit hingga emping mlinjo.

Lalu minumannya tersedia aneka kopi mulai dari kopi robusta Temanggung, Garut dan Lampung hingga kopi arabika Gayo, Aceh dan Bali.

Juga tersedia wedang uwuh khas Bantul, wedang jahe geprek, wedang jahe sereh, wedang jahe seruni (jahe, sereh, jeruk nipis), teh poci dan kopi tubruk.

"Mohon maaf, kami tidak menyediakan kopi sachet," kata Barlin.

Barlin mengatakan, para penikmat kopi akan kecewa kalau mencari kopi sachet di kafenya, karena memang konsepnya sejak awal ingin beda.

"Saya sengaja cari kopi biji sendiri, jadi kopinya benar-benar murni hasil olahan sendiri," katanya.

Tapi juga karena itu, meski lokasinya "nyempil" di perdesaan, orang toh tetap mencarinya. 

Terbukti, Angkringan Anget Anget Jogja kerap dijadikan tempat ngumpul sejumlah komunitas, kalangan muda-mudi hingga keluarga yang ingin menikmati quality time di alam perdesaan dengan udaranya yang segar dan tidak bising.

Mulai dari komunitas seniman lukis, ibu-ibu pengajian, kelompok arisan hingga partai politik. Mereka betah ngobrol berlama-sama sambil menikmati kopi dan panorama alam sekaligus.

"Di sini daya tampung parkir mobil paling untuk lima unit. Nah, pernah ada acara di sini yang tamunya puluhan, mobilnya pun puluhan. Terpaksa parkir di tepi jalan," kata Barlin.

Setiap Minggu pagi Barlin Srikaton melatih anak-anak warga sekitar Angkringan Anget Anget Jogja di kampung Gabahan, Desa Karangtalun, Kecamatan Imogiri, Bantul, Yogyakarta belajar menggambar. (Barlin Srikaton)
Sebagai seniman lukis yang kini terjun di bisnis kuliner, Barlin tak pelit membagikan ilmunya.

Di Angkringan Anget Anget Jogja setiap Minggu pagi Barlin membina anak-anak yang berminat belajar melukis  dengannya secara gratis.

"Anak-anak warga sekitar sini. Mereka saya bebaskan, mau melukis apa. Memanfaatkan ruang yang tak terpakai pada pagi hingga siang," kata ayah dua orang anak ini.

Dengan dibebaskannya anak-anak ingin melukis apa, Barlin ingin mengedukasi bahwa semua aliran itu baik dan memiliki tempat di hati penggemarnya sendiri-sendiri.

Karena itu, Barlin tidak pernah mempersoalkan apakah anak asuhnya itu melukis aliran naturalis, realis, ekspresionis atau abstrak sekalipun.

"Biarlah mereka tumbuh dan berkembang menemukan dunianya sendiri," kata Barlin yang kini rajin menimba ilmu dari para pelukis ternama di kafenya, Angkringan Anget Anget Jogja. Salah satunya, maestro pelukis Indonesia Nasirun. (soe)

Berita Terkini