WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Matahari masih meringkuk di peraduannya ketika kami bersiap berangkat dari Cimanggis.
Tujuan perjalanan bersepeda kami, Kamis (1/10/2020) ini adalah kawasan Cioray di perbukitan karst Klapanunggal, Bogor.
Cioray termasuk tujuan bersepeda populer di kalangan pesepeda di seputaran Bogor, sampai Cibubur dan Bekasi.
Dari Jakarta, rutenya bisa ditempuh dalam seharian bersepeda dari pagar ke pagar rumah.
• Ini Cara Yang Tepat Untuk Mulai Bersepeda Bagi Para Newbie
Memang lokasinya yang tak jauh di area sebelah Selatan-Timur Jakarta mudah dijangkau oleh mereka yang tinggal di seputaran Bogor dan Bekasi.
Kami menyusuri rute yang melingkar (loop) dengan jarak tempuh dari Cimanggis sekitar 30km saja.
Tak berlama-lama, pukul 06.30 saya, Theo, dan Murtopo langsung memacu sepeda melewati jalur pinggiran jalan tol Jagorawi ke arah Gunung Putri.
Di kawasan itu ada sejumlah pabrik semen yang memang menjadikan karst Klapanunggal sebagai basis pertambangan kapurnya.
Keluar di jalan akses tol Gunung Putri, kami susuri jalan aspal menuju pabrik Indocement.
• Tumpukan Sampah di Kali Blencong Tarumajaya Kabupaten Bekasi Kiriman Kota Bekasi
Sebelum pintu masuk jalan umum berbelok ke kanan langsung mengarah ke Jalan Cioray.
Sempat sarapan dulu di pertigaan jalan lalu kami tidak membuang waktu untuk memulai pendakian.
Jalan langsung menanjak pendek sekitar 300 meter menuju kampung Lulut.
Sepagi itu aktivitas warga baru dimulai.
Pasar mulai sibuk tapi tak terlalu ramai.
Dimana-mana orang jalan dengan bermasker. Naik sepeda motor atau jalan kaki semua mengenakan masker.
Ada yang betul-betul maskernya terpasang dengan benar menutupi hidung dan mulut, banyak juga yang maskernya asal nempel atau malah tergantung di leher.
Suasananya jadi lain.
• Sampah Menumpuk, Pembersihan Kali Blencong Belum Optimal
Kami tinggalkan pasar langsung menuju kampung Leuwi Karet.
Jalan menanjak dan menurun berganti-ganti.
Perlahan tapi pasti kami tekuni tanjakan satu per satu lalu meluncur kencang di jalanan menurun.
Di sebuah tikungan kami berbelok ke kiri keluar dari jalan utama yang berujung di permukiman warga.
Jalan kecil itu mengarah ke persawahan dan kebun-kebun penduduk.
Selanjutnya jalan kecil yang dibeton hanya muat satu mobil itu yang mengantar ke Cioray.
Sampai 2014, jalanan itu masih berupa jalan batu dan tanah.
• PAPUA Memanas, Kapolres: Tembakan Peringatan untuk Buka Blokade di Jalan Trans Papua
Sehabis hujan, perlu perjuangan ekstra untuk menyusuri jalan itu sampai ke Cioray sekitar 10 km.
Kondisi itu pula yang sempat melambungkan nama Cioray dalam bentuk keprihatinan di media massa.
Sebuah kampung yang tak jauh dari pusat Ibu Kota negeri kondisinya sungguh mengenaskan karena tak terjangkau listrik dan akses jalan yang memadai.
Pak Bonin (60), warga sepuh yang kami temui bercerita, sejak pemberitaan mengenai Cioray ramai, perhatian ke desa di puncak bukit kapur itu jadi lebih besar.
Tahun 2014 listrik sudah masuk dan jalan menuju desa sepenuhnya dilapis beton mulus.
• Ruben Onsu Latih Kesehatan Jantung dengan Ikut Podcast Horor Milik Adiknya
Lebar jalan sekitar dua meter memang hanya muat dilewati satu mobil.
Namun itu dirasa cukup membuka keterisolasian desa yang kebanyakan warganya hidup dari berkebun dan bertani.
Selepas desa Leuwi Karet, jalan langsung menanjak berkelok-kelok mengikuti kontur bumi.
Hutan jati dan pohon sengon di kiri kanan meneduhi jalan di tengah terik mentari yang mulai hangat.
Berkas-berkas cahaya yang menerobos dedaunan selalu berhasil memompakan semangat di pagi hari yang tenang dan sunyi.
Sungguh keteduhan pohon-pohon besar itu sangat berarti.
• PAPUA Memanas, Kapolres: Tembakan Peringatan untuk Buka Blokade di Jalan Trans Papua
Sebab, mentari di perbukitan kapur rasanya lebih menyengat dari di dataran lain.
Mungkin karena pancarannya yang memantul di tanah kapur? Entahlah. Yang jelas siang itu matahari begitu garang memanggang.
Tiga-empat tanjakan yang membuat nafas ngos-ngosan kami lalui. Angin yang menerpa wajah sungguh menyegarkan.
Terpaan angin juga mendinginkan suhu tubuh yang tinggi, bercampur dengan keringat yang mengucur deras.
Semakin tinggi kami berjalan, pemandangan sekitar makin indah.
• Dukung Pendidikan Anak Indonesia, SGM Eksplor-Lazada Gelar Donasi Beasiswa Generasi Maju
Di sebuah kelokan yang ada jembatan, lahan terbuka memungkinkan kami melepas pandangan jauh ke arah barat.
Gunung Pangrango dan Salak membiru di kejauhan.
Dataran luas berlantai persawahan, kebun, dan hutan menciptakan gradasi warna hijau sampai biru yang menyegarkan jiwa.
Lama kami berhenti mengambil nafas dan mensyukuri keindahan itu.
Di tengah kungkungan rasa takut dan tak berdaya yang tercipta dari pandemi Covid-19, terselip rasa syukur.
Bersepeda di alam terbuka, bermandi matahari, dan menikmati keindahan semesta mendatangkan kebahagiaan yang sederhana.
Sesederhana segarnya tarikan nafas di udara yang bersih dan suasana hening.
Kesadaran untuk tetap bergerak dan membebaskan diri dari rasa takut pada virus yang tengah mewabah justru memberi peluang bagi daya tahan tubuh untuk berkembang.
Bukankah antibodi sendiri yang dipercaya menjadi kekuatan untuk menangkal virus.
Inilah kesempatan untuk mengenal dan menghargai tubuh kita lebih dalam, mendengarkan tanda-tanda alam yang dianugerahkan Tuhan dalam rupa tubuh yang bak mesin sempurna.
Maka kami yakin bahwa kebahagiaan yang memicu daya tahan tubuh lebih kuat jauh lebih penting diperjuangkan daripada diam terkungkung rasa takut di rumah. Tetaplah bergerak dan tidak takut.
Satu per satu tanjakan kami hadapi dengan hati riang.
Sekalipun di sejumlah tanjakan, terpaksa turun dan mendorong sepeda, kami lakukan itu dengan ikhlas.
Kadang menertawai diri yang tak berdaya di tengah kedigdayaan kontur bumi.
Hutan jati dengan tegakan-tegakan lurus dan daun lebar memayungi semua di bawahnya menghadirkan nuansa ketenangan yang luar biasa.
Kami sempatkan istirahat di sepotong hutan jati sebelum masuk desa Cioray.
Agak lama disitu sambil ngobrol dan menikmati desau angin menderakkan daun jati.
Begitu tenang, begitu hening. Sementara beberapa jam lalu kami masih terperangkap di kebisingan jalan Jakarta.
Melodi alam di hutan jati itu selalu berhasil menenangkan dan memanggil untuk kembali. (Bersambung)