Kilas Balik

Kisah Soeharto Tutup Semua Jalan Prajurit Kopassus Sarwo Edhie Wibowo Naik Takhta, Ini Alasannya

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Letjen TNI Soeharto didampingi Kolonel Sarwo Edhie Wibowo, komandan RPKAD, pada peringatan HUT ke-14 RPKAD di Parkir Timur Senayan, Jakarta. Foto: repro Jenderal TNI Sarwo Edhie Wibowo: Hidupku untuk Negara dan Bangsa.

WARTAKOTALIVE.COM, PALMERAH - Sukses memimpin penumpasan Gerakan 30 September atau G30S bersama pasukannya ternyata awal petaka bagi Sawo Edhie Wibowo untuk naik takhta berikutnya.

Waktu itu Sarwo Edhie menjabat sebagai komandan RPKAD (sekarang Kopassus), dan diperintahkan oleh Soeharto sebagai Panglima Kostrad untuk merebut RRI pusat dari tangan PKI.

Perintah perebutan RRI pusat dari tangan PKI turun berjenjang dari Sarwo Edhie Wibowo ke Mayor C.I. Santoso, Lettu Feisal Tanjung dan akhirnya sampai ke prajurit Sintong Panjaitan.

Singkat kata, perebutan kekuasaan RRI pusat dari tangan PKI berhasil meski prajurit Sintong kena omelan Sarwo Edhie karena adanya suatu kaset rekaman berputar yang masih terdengar.

TERUNGKAP Kopassus Muda Ini Pernah Dimarahi Sarwo Edhie saat Tumpas PKI, Ini Gara-garanya

Seperti Wartakotalive.com kutip dari Historia.id, Sarwo Edhie Wibowo ikut mengantarkan Soeharto ke tampuk kekuasaan tapi hubungan mereka tak bisa dibilang akur..

Ketidakakuran itu mulai terendus setelah peristiwa G30S. Begini kronologinya:

Usai memimpin pasukannya mengamankan RRI pusat dan lapangan terbang Halim Perdanakusumah, Sarwo Edhie hendak melapor kepada Soeharto.

Sarwo Edhie adalah bapak kandung Ny Ani Yudhoyono, yang merupakan istri Presiden Indonesia ke-VI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). (Sari Sejarah)

Namun, Laksamana Muda Udara Herlambang meyakinkan Sarwo bahwa Soeharto berada di Bogor memenuhi panggilan presiden.

Sarwo pun ikut rombongan AURI ke Bogor menggunakan helikopter.

Tiba di Istana Bogor, Soeharto masih dalam perjalanan menuju Bogor. Soeharto curiga melihat Sarwo melapor kepada Sukarno.

“Soeharto bertanya-tanya dalam hati kenapa Sawo Edhie yang ada di sana bukan dirinya,” kata Jusuf Wanandi dalam Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965-1998. “Soeharto tak pernah percaya kepada Sarwo sejak itu.”

Karier Luhut Panjaitan di Kopassus Tak Pernah Jadi Danjen tapi Punya Pengaruh Besar, Ini Rahasianya

Perompak Somalia Dibantai Pasukan Elit Gabungan Kopassus, Denjaka, dan Kopaska, Ini Kisahnya

Kisah Legendaris Kopassus Sintong Panjaitan Tembak Mati 3 KKB Papua, Mayatnya Dibiarkan Tergeletak

Menurut pengamat militer Salim Said, Soeharto menganggap Sarwo Edhie melapor kepada Sukarno sebelum kepada Pangkostrad-jabatan Soeharto waktu itu.

Soeharto marah. Pertemuannya dengan Sukarno membuat Soeharto menganggapnya punya rencana sendiri yang berbeda dengan kebijakannya sebagai pimpinan sementara Angkatan Darat.

Karier militer Sarwo Edhie dijegal

“Kecurigaan dan kemarahan Soeharto kepada Sarwo berakibat fatal.

"Karier militer mantan komandan RPKAD itu dibunuh secara kejam meski perlahan-lahan,” tulis Salim Said dalam Dari Gestapu ke Reformasi Serangkaian Kesaksian.

Tah heran setelah meninggalkan RPKAD, karier Sarwo Edhie tak karuan.

Awalnya Sarwo Edhie ditempatkan di Medan sebagai panglima Kodam Bukit Barisan.

Kisah Praka Soeprapto, Kopassus Tak Sadar Tubuh Berdarah-darah Tertembak Tetap Kejar Kelompok GAM

Kisah Kopassus Tumpas KKB Papua yang Bikin Onar Sandera 347 Warga Tembagapura, Videonya Viral

WARGA Kaget Temukan Prajurit Kopassus Ini, 18 Hari Tersesat di Hutan Ditemani Makhluk Tak Dikenal

Dari Medan, Sarwo dilempar ke Papua sebagai panglima Kodam Cendrawasih.

Usai membantu memenangkan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Papua, Sarwo menempati pos baru yang tak strategis di Magelang sebagai gubernur Akabri.

Sarwo juga sempat “didubeskan” ke Korea Selatan pada 1973-1978.

Pulang ke Jakarta, Sarwo disipilkan di Departemen Luar Negeri sebagai inspektur jenderal.

Sempat akan didubeskan lagi di Brasil, dia akhirnya mengurusi kursus Pancasila sebagai kepala BP7, lembaga indoktrinasi ideologi pemerintah Orde Baru.

Kecewa

Herawati Kristiani, putri Sarwo, menangkap kekecewan ayahnya sebagai kepala BP7.

“Kepada kami anak-anaknya, Papi sempat mengutarakan rasa sedihnya. Ya, benar, dia sempat merasa kecewa dengan keputusan itu.

"Papi terlahir sebagai orang yang sangat mencintai dunia militer,” kenang Herawati dalam biografinya, Kepak Sayap Putri Prajurit karya Alberthiene Endah.

PRAJURIT Kopassus Lettu Erizal Ditembak Mati KKB Papua Pimpinan Lekagak Telenggen, Ini Kronologinya

KISAH Prajurit Kopassus Angkat Tangan Sambil Senyum saat Dikepung Suku Papua, Lalu Ini yang Terjadi

FAKTA Kopassus Gerak Cepat Usai Anggota TNI Gugur Diserang KKB Timor Timur, Xanana Gusmao Ditangkap

Salim Said mengungkap alasan mistik mengapa Soeharto menghabisi karier Sarwo.

Tatkala menjabat duta besar Indonesia di Praha, Ceko, Salim bertemu paranormal yang dekat dengan Soeharto.

Menurut paranormal itu, Soeharto meyakini bahwa Sarwo mempunyai wangsit (wahyu) setelah dirinya.

Oleh karena itu, semua jalan yang berpotensi menjadikan Sarwo Edhie “naik takhta” harus ditutup.

KISAH Slamet Riyadi Gugur di Medan Perang sebelum Hadiri Peresmian Terbentuknya Kopassus Idenya

TERBUKTI Danjen Kopassus Witarmin Sukses Tumpas PKI di Blitar sampai Warga Kenang Bikin Patungnya

TERUNGKAP Danjen Kopassus Terapkan Strateginya Bikin Pimpinan KKB Papua Menyerahkan Diri

“Itulah, katanya, penyebab dihabisinya karier militer Sarwo Edhie sedini mungkin,” ujar Salim.

Kata paranormal itu lagi, “Soeharto lupa bahwa wangsit Sarwo tidak kembali ke langit ketika mantan komandan RPKAD itu wafat setelah koma selama sekitar setahun.

Wangsit itu tetap padanya untuk akhirnya hinggap ke putrinya, Herawati Kristiani.

"Itulah penjelasan di balik terpilihnya Susilo Bambang Yudhoyono (suami Herawati Kristiani, red) menjadi Presiden Republik Indonesia.”

Namun, istri Sarwo, Sunarti, tak percaya dengan paranormal itu.

“Ah, itu cerita omong kosong. Pak Harto marah kepada Bapak karena ke Bogor itu.

"Bapak dicurigai sebagai orang ambisius oleh Soeharto,” kata Sunarti kepada Salim Said pada 29 Desember 2012.

Tabir Gelap Jelang 30 September, Terkuak Meski Catatan Sarwo Edhie dan Aidit Lenyap

Peristiwa penculikan dan pembunuhan enam jenderal dan satu perwira menengah TNI-AD pada dini hari, 1 Oktober 1965, yang kemudian menjadi titik balik perubahan besar politik negeri ini, tak cukup mudah dipahami meski banyak buku, artikel, laporan, dan kesaksian telah dibuat.

Siapa yang bertanggung jawab? Siapa yang mengambil manfaat? Ibarat sebentuk gambar yang terdiri atas banyak potongan kertas, belum terbentuk gambar yang utuh. Celakanya, banyak kertas palsu atau rekayasa.

Buku Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualang - Catatan Julius Pour (2010) ini mencoba menyusun kembali gambar berdasarkan kesaksian para tokoh penting di seputar peristiwa itu.

Mayong Suryo Laksono, saat masih menjadi wartawan Intisari, mencukil buku tersebut dan dimuat di Majalah Intisari, dengan judul asli Mencari Titik Terang dari Kelamnya Sejarah Indonesia.

Pada dini hari 12 Maret 1966, Letjen Soeharto langsung menandatangani Surat Keputusan No. 1/3/1966 tentang Pembubaran PKI.

Sejak itu, semua surat yang dikeluarkannya selalu dengan alinea pembuka "Atas Nama Presiden Sukarno"

Setelah berkonsolidasi dengan Panglima AU, AL, dan Angkatan Kepolisian, Letjen Soeharto melakukan pembersihan PKI.

Di pemerintahan, di organisasi, dan di kelompok-kelompok masyarakat.

Selain penangkapan dan penyidangan lewat Mahkamah Militer Luar Biasa, penyerbuan juga dilakukan mengingat masih ada senjata api yang dikuasai PKI.

Ujung tombak operasi pembasmian PKI adalah pasukan RPKAD di bawah Kolonel (Inf.) Sarwo Edhie Wibowo yang setahun sebelumnya membebaskan RRI dan Kantor Telekomunikasi, juga membebaskan Bandara Halim Perdanakusumah dari penguasaan G30S.

Sarwo Edhie Wibowo adalah bapak kandung Ny Ani Yudhoyono, yang merupakan istri Presiden Indonesia ke-VI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Operasi pembersihan PKI saat itu berlanjut ke Jawa Tengah dan Jawa Timur karena perlawanan masih ada.

Bahkan, Komandan Korem 072 Yogyakarta Kolonel Katamso dan Kepala Staf Letkol Sugiono menjadi korban penculikan kelompok perlawanan yang ternyata juga beranggotakan tentara.

Pertempuran tak terhindarkan. Bukan hanya melawan tentara pembelot, tetapi juga masyarakat sipil bersenjata, bahkan Gerwani yang melawan dengan penghinaan.

Tanpa ragu-ragu Sarwo Edhie menindak, bahkan dengan jalan kekerasan.

Korban berjatuhan tak terhindarkan. Juga di Bali dan Sumatera Utara.

Petaka terjadi karena kematian tidak hanya karena pertempuran. Tapi banyak juga karena dibunuh setelah penangkapan.

Terdengar berita-berita sadistis semacam penyembelihan, pembunuhan massal, hingga penghanyutan mayat di sungai.

Dunia internasional menyoroti. Pemerintah lantas membentuk Komisi Pencari Fakta (FFC – Fact Finding Commission) agar jumiah korban bisa diketahui lebih pasti.

Dalam rapat pleno terakhir, Komisi yang diketuai Menteri Dalam Negeri merangkap Gubemur Djakarta Raja Mayjen dr. Soemarno itu menyepakati jumlah korban yang ditinjau di daerah sekitar Medan, sebagian Jawa Tengah, Jawa Timur, serta Bali, pendeknya belum seluruh Indonesia, selama kurun waktu Desember 1965 sampai 2 januari 1966 sudah berjumlah 80.000 orang.

Baca: Ini Aturan Foto Selfie di Pendaftaran CPNS 2018 sscn.bkn.go.id, Simak Kalau Tak Mau Salah

"Apa yang terjadi sesudahnya tidak diketahui setelah aksi pembunuhan ternyata berlangsung terus, malahan semakin meningkat," kenang Oei Tjoe Tat, Menteri Negara yang juga anggota FFC.

Sesudah semua anggota membubuhkan tanda tangan, Oei bertanya kepada Jenderal (Pol.) Soetjipto Joedodihardjo, Panglima Angkatan Kepolisian, "Apa benar angka korban hanya 80.000 yang tewas?"

Soetjipto menjawab, "Sudah pasti lebih banyak, tapi apa gunanya dibuat ramai-ramai?"

Dari anggota lain, Menteri Penerangan Mayjen Achmadi, Oei mendapat jawaban, "Jumlahnya ya, ada kalau sepuluh kali lipat."

"Kamu kok bersedia tanda tangan angka 80.000?" Oei mendesak.

Yo wis ben (yah, biarkan saja)."

Setelah dr. Soemarno menyerahkan laporan kepada Presiden Soekarno, 2 Januari 1966, Presiden memanggil Oei secara pribadi. "Jumlah sebenarnya berapa?"

"Berdasarkan pengalaman mengikuti FFC, jumlah korban sekitar lima sampai enam kali lipat, jadi lebih kurang angkanya 500.000 atau 600.000," jawab Oei.

Sementara itu, Rum Aly, Redaktur Mingguan Mahasiswa Indonesia, dalam buku Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966 melukiskan,

"Perkiraan moderat, memang menyebut angka 500.000 jiwa. Perhitungan lain antara satu juta sampai dua juta jiwa. Tetapi, Sarwo Edhie, yang berada di lapangan pascaperistiwa, suatu ketika pernah menyebut angka tiga juta jiwa. Hingga akhir hayatnya, Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo bahkan tak pernah meralat angka itu."

Menurut Rum Aly, Sarwo Edhie memiliki catatan-catatan mengenai pengalamannya di seputar Peristiwa 30 September 1965 maupun masa-masa sesudahnya, termasuk tentang malapetaka sosiologis tersebut.

Mungkin saja ada angka-angka signifikan dalam catatannya.

Namun sayang, catatan Sarwo Edhie hilang di tangan orang, justru dalam rangka untuk menerbitkannya.

Mengingat, integritas dan reputasi kejujuran Sarwo Edhie, catatan yang hilang tersebut pasti berisikan hal-hal yang sangat berharga dan relatif tidak mengandung unsur-unsur pemalsuan sejarah.

Atau, naskah catatan itu hilang karena justru bersih dari pemalsuan sejarah?

Hilangnya catatan Sarwo Edhie melengkapi hilangnya naskah asli Surat Perintah 11 Maret, juga telah dihilangkannya surat pengakuan Aidit, yang ditulis hanya sehari sebelum menjalani eksekusi.

Sabtu sore, 12 Maret 1966:

Satu kompi pasukan RPKAD menyerbu sebuah rumah di Jalan Madiun, Menteng, Jakarta Pusat.

Tembak-menembak terjadi ketika para penjaga keamanan berpakaian sipil mencoba melawan.

Sesudah pertempuran, 21 penjaga keamanan dan karyawan gedung tanpa papan nama tersebut dapat diringkus.

Sejumlah dokumen dan senjata yang disita menunjukkan bangunan tersebut markas Badan Pusat Intelijen (BPI) yang diketuai Soebandrio.

Senin pagi, 14 Maret 1966:

Para mahasiswa melakukan pawai berkabung keliling Jakarta, berangkat dari halaman Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di Jln. Salemba Raya, Jakarta Pusat. Biro penerangan KAMI mengumumkan, tujuh rekan mereka di tiga kota gugur selama berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan.

Arief Rahman Hakim mahasiswa di Jakarta, Djubaedah dan Moh. Syafei pelajar di Jakarta, Hassanudin dan Syarief Akadir mahasiswa di Makassar, Margono dan Arief Winangun pelajar di Yogyakarta.

Senin malam, 14 Maret 1966:

Jakarta dalam suasana mencekam. Tapi kesibukan justru terjadi di markas pasukan empat angkatan.

Di Tjidjantung pasukan RPKAD, di Tjilandak pasukan KKO-AL, demikian pula Pasukan Gerak Tjepat (PGT) AU di Tjililitan.

Mereka menerima kabar bahwa pasukan Brimob Kepolisian disiagakan.

Ketegangan baru berakhir Selasa dini hari setelah Jenderal Nasution, yang tak lagi punya jabatan setelah disingkirkan Presiden Sukarno dari jabatan Menteri Keamanan Nasional, memanggil panglima angkatan ke rumahnya.

"Ketegangan dipicu oleh informasi yang menyesatkan dari Waperdam Soebandrio bahwa RPKAD akan menyerbu Halim, seperti kejadian awal Oktober tahun lalu."

Selasa siang, 15 Maret 1966:

Dalam rapat raksasa gemuruh di Taman Suropati, Jakarta Pusat, Zamroni, anggota Prsidium KAMI Pusat menantang Bung Karno,

"Kalau benar aksi-aksi mahasiswa selama ini dibiayai CIA, gantung saya di depan umum." Zamroni memberikan bantahan setelah dari Istana muncul tuduhan, Dinas Rahasia AS CIA pernah mengirim dana AS$ 50.000 untuk membiayai aksi penggulingan Presiden Sukarno.

Info itu sekian tahun kemudian, sesudah dokumen-dokumen CIA dibuka, ternyata memang benar terjadi. CIA pernah menyerahkan dana tersebut lewat Adam Malik.

Rabu siang, 16 Maret 1966:

Baca Juga : Begini Pengakuan Tan Po Goan, Sosok Pengacara Anti-PKI yang Pernah Membela Aidit dan Lukman di Pengadilan

Mahasiswa dan pelajar kembali membanjiri Gedung DPR Gotong Rojong, menyampaikan daftar anggota Kabinet yang haus di-retool karena dituduh sebagai pendukung gelap PKI.

Mereka adalah Soebandrio, Johannes Leimena, Chaerul Saleh, Astrawinata, Jusuf Muda Dalam, Surjadi, Sutomo Martopratomo, Suhadi Reksowardojo, Armunanto, Setiadi, Surachman, Achadi, Prijono, Soemmardjo, Sadjaro, Mayjen dr. Soemamo, Mayjen Achmadi, Laksamana Oemar Dhani, Kurwet Kartadiredja, Ali Sastroamidjojo, Sudibjo, Oei Tjoe Tat, Gusti Subamia, dan Asmara Hadi.

Rabu malam, 16 Maret:

Siaran warta berita RRI Pusat dimulai dengan pengumuman dari Istana Merdeka. Waperdam III Chaerul Saleh membacakan pengumuman Presiden No. 1/Pres/66 yang menyatakan penyesalan sebesar-besarnya karena masih ada sikap dan usaha dari sebagian anggota masyarakat untuk memaksakan kehendak.

Terlebih-lebih dilakukan secara ultimatif kepada Presiden dan para menteri yang sedang bertugas membantu Kepala Negara.

Kamis pagi, 17 Maret:

Pengumuman Presiden Rabu malam dijawab massa dengan menyerbu ke berbagai departemen yang menterinya harus diretool. Soegiarso Soerojo melukiskan,

"Para menteri yang masih di kamar kerjanya langsung diminta segera meninggalkan tempat. Kalau menolak akan ramai-ramai dibopong keluar dan diamankan di Markas Komando Kostrad."

Kamis malam, 17 Maret:

Jakarta menjadi kota mati. Jalan-jalan lengang, hanya disibukkan oleh lalu-lalang kendaraan militer. Warta berita pukul 19.00 WIB yang biasanya dipancarkan ke seluruh RRI daerah mendadak menghilang.

Sepanjang malam, siaran RRI Pusat hanya berisi lagu-lagu perjuangan yang diputar berulang-ulang. Semua perjalanan kereta api dan pesawat terbang dibatalkan oleh pasukan Kostrad.

Jumat pagi, 18 Maret:

Panglima Angkatan Darat selaku pemegang Surat Perintah 11 Maret, Letnan Jenderal Soeharto, lewat Stasiun RRI Pusat membaca pengumuman Nomor 5,

"... atas nama Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi, telah mengambil tindakan pengamanan terhadap 15 menteri karena ada indikasi, mereka tersangkut dalam petualangan G30S/PKI atau setidak-tidaknya diragukan itikad baiknya ketika menjalankan tugas."

Untuk pertama kalinya, pemakaian istilah G30S dikaitkan dengan PKI.

Tugas menangkap Soebandrio, yang sejak Peristiwa G30S meletus tinggal di Istana, ditangani sendiri oleh Panglima Kodam V Djaja. Amirmachmud menghadap Bung Karno dan melapor bahwa dirinya ditugaskan untuk mengamankan Soebandrio.

"Terserah," jawab Bung Karno singkat.

"Siap, kerjakan," kata Amirmachmud sambil menghormat.

Beberapa saat setelah Soebandrio dinaikkan ke atas jip, Bung Karno mendekat, merangkul Amirmachmud sambil berbisik,

"Mir, jangan kau bunuh ya ...."

"Siap Pak. Saya jamin tidak terjadi. Orde Baru kami tidak akan meniru praktik-praktik Lubang Buaya."

Satu Peleton Cakrabirawa Dibubarkan Terlibat Kasus G30S/PKI

Sebelum Soekarno menjadi Presiden RI dan bahkan sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI dikumandangkan, sudah dibentuk Polisi Istimewa (Tokubetsu Keisatsu Tai) yang bertugas mengawal presiden.

Di wilayah Jakarta Raya, nama kesatuan Polisi Istimewa disebut “Polisi Macan” di bawah pimpinan Gatot Suwiryo.

Menurut sumber dari buku Maulwi Saelan Penjaga Terakhir Soekarno, pada tahun 1945 Gatot memindahkan anggota Polisi Macan ke Pasukan Pengawal Pribadi Presiden (Tokomu Kosaku Tai) di bawah pimpinan Mangil Martowidjojo dan bermarkas di Kantor Pusat Kementerian Negara sekaligus asrama di Gedung Kementerian Dalam Negeri (kini Jl Veteran) di bawah pimpinan Raden Said Soekanto.

Tugas-tugas Pasukan Pengawal Pribadi Presiden itu antara lain mengamankan perayaan Proklamasi Kemerdekaan RI 17/8/1945, membantu pengamanan Rapat Raksasa di Lapangan Ikada pada bulan September 1945, mengawal rombongan Presiden dan Wakil Presiden dalam perjalanan secara rahasia menggunakan kereta api dari Jakarta menuju Yogyakarta pada 3 Januari 1946.

Pasukan Cakrabirawa (Istimewa)

Sejak keberhasilan mengungsikan rombongan Presiden dan Wapres ke Yogyakarta itu, Said Soekanto pada tahun 1947 membentuk kesatuan khusus bernama Pasukan Pengawal Presiden (PPP) dan dikomandani oleh Mangil.

Tugas utama PPP adalah menjaga keselamatan pribadi Presiden dan Wakil Presiden beserta seluruh anggota keluarganya.

Hingga tahun 1962 meskipun Presiden Soekarno telah mendapat pengawalan dari PPP, upaya pembunuhan terhadap diri Presdien tetap terjadi.

Berdasar peristiwa yang mengancam jiwa Presiden Soekarno itu, ajudan Presiden, Letkol CPM Sabur, menghadap ke Istana Merdeka untuk menyampaikan laporan bahwa Departemen Pertahanan dan Keamanan berencana membentuk Pasukan Pengawal Istana Presiden (PPIP) yang lebih sempurna.

Tokoh yang ingin membentuk pasukan pengawal Istana Presiden itu adalah Jenderal AH Nasution tapi Presiden Soekarno ternyata menolaknya.

Pasalnya Mangil saat itu sudah membentuk Detasemen Kawal Pribadi (DKP) dan dirasa oleh Presiden Soekarno sudah cukup untuk mengawalnya.

Namun Letkol Sabur tetap mendesak Presiden Soekarno untuk membentuk PPIP dan akhirnya ternyata berhasil.

Presiden Soekarno bahkan menunjuk Letkol Sabur sebagai komandan PPIP dan dipercaya mencari anggota PPIP yang berasal dari semua angkatan (AU, AD, AL, dan Kepolisian).

Pada 6 Juni 1962 PPIP yang dinamai Cakabirawa pun diresmikan oleh Presiden Soekarno dan dikomandani oleh Sabur yang sudah mendapat kenaikkan pangkat sebagai Brigjen dan Wakil Komandannya adalah Kolonel Maulwi Saelan.

Cakrabirawa dalam dunia pewayangan merupakan senjata pamungkas milik Prabu Kresna yang jika dilepaskan bisa menyebabkan malapetaka yang dahsyat bagi musuhnya.

Menurut Soekarno dalam otobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, pasukan Cakrabirawa berkekuatan 3000 personel yang berasal dari keempat Angkatan Bersenjata.

Setiap anggota Cakrabirawa berasal dari pasukan yang andal. Umumnya mereka berlatar belakang pejuang gerilya yang menonjol.

Mereka direkrut dari bekas pasukan Raider Angkatan Darat, Korps Komando (KKO) Angkatan Laut, Pasukan Gerak Tjepat (PGT) Angkatan Udara, dan Brigade Mobil diberi nama Batalyon KK (Kawal Kehomatan), dengan nomer urut I sampai IV.

Batalyon I dan II bertugas di Jakarta dan Batalyon III dan IV menjaga Istana Bogor., Cipanas (Cianjur), Yogyakarta, dan Tampaksiring (Bali).

Karena penugasan tersebut, Markas Batalyon I KK berada di Jalan Tanah Abang (kini Markas Paspampres) dan Batalyon II menempati asrama Kwini (sekarang ditempati Marinir angkatan Laut).

Batalyon I KK berasal dari satu batalyon Angkatan Darat dipimpin oleh Mayor Eli Ebram.

Ia hanya menjabat satu tahun lebih, kemudian naik pangkat menjadi Letkol.

Eli Ebram kemudian diganti oleh Letkol Untung, pindahan dari Kodam VII/Diponegoro, Jawa Tengah.

Batalyon II KK eks Pasukan KKO Angkatan Laut dipimpin oleh Mayor KKO Saminu, yang naik pangkat menjadi Letkol KKO.

Batalyon III KK dari PGT Angkatan Udara dipimpin oleh Mayor PGT. Dan, Batalyon IV KK dari Brimob Angkatan Kepolisian dipimpin oleh Komisaris Polisi M.Satoto, yang naik pangkat menjadi ajun komisaris besar polisi (Letkol Polisi RI).

Dalam gerakan G-30-S-PKI 1965, Letkol Untung dan satu peleton Cakrabirawa dari Batalyon I KK pimpinan Lettu Dul Arif, merupakan motor utama dalam aksi penculikan dan pembunuhan 7 Jenderal Pahlawan Revolusi.

Akibat aksi Letkol Untung dan peleton pimpinan Lettu Dul Arif itulah nama Cakrabirawa pun tercoreng dan oleh pemerintah Orde Baru semua anggota Cakrabirawa dianggap sebagai pendukung PKI.

Pasukan Cakrabirawa pun dibubarkan pada 28 Maret 1966, para petinggi dan personel pasukan Cakrabirawa pun banyak yang ditangkap dan dipenjarakan tanpa melalui proses pengadilan.

Pengamanan terhadap Presiden dan Wapres serta keluarganya kemudian dipercayakan kepada pasukan Angkatan Darat yang selanjutnya membentuk lagi Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) di era kekuasaan Presiden Suharto.

Hari jadi Paspampres diperingati setiap tanggal 3 Januari dan penetapan hari jadi ini terkait dengan peristiwa bersejarah Pasukan Pengawal Pribadi Presiden yang sukses menyelamatkan Presiden dan Wapres serta keluarganya dari Jakarta menuju Yogyakarta pada 3 Januari 1946.

Penulis: Agustinus Winardi 

Berita Terkini