WARTA KOTA, PALMERAH--- Perusahaan rintisan atau start up memiliki celah kegagalan cukup besar dan berpotensi menimbulkan gelembung (bubble) ekonomi.
Start up pada umumnya masih dalam fase pengembangan dan penelitian untuk menemukan pasar yang tepat.
Adapun sebagian besar start up berbisnis di industri digital.
"Dalam pandangan saya fenomena gelembung spekulatif dalam bisnis start up ini mulai muncul. Tinggal tunggu gelembungnya meletus," kata Direktur Generasi Optimis Research and Consulting (GORC), Frans Meroga Panggabean, Selasa (26/11/2019).
• Mulai Sulit Membayar Cicilan Utang Usaha? Berikut Saran dari Perencana Keuangan
Sebelumnya, perusahaan rintisan sewa properti WeWork, memangkas 2.400 karyawannya guna memotong biaya dan pengeluaran perusahaan yang cukup besar.
Setelah memecat sejumlah karyawan, WeWork berupaya untuk menciptakan organisasi yang lebih efisien dan memfokuskan kembali pada bisnis inti perusahaan.
Pengurangan pekerja mewakili 19 persen dari total tenaga kerja WeWork yang berjumlah 12.500 karyawan per 30 Juni 2019 dilansir CNBC, Jumat (22/11/2019) sepert dikutip Kompas.com.
New York Times melansir seperti dikutip dari Kompas.com, tidak kurang dari 1,25 miliar dollar AS adalah kerugian yang diderita WeWork, start up decacorn yang berbasis di New York itu.
Nilai valuasi perusahaan rintisan tersebut yang semula mencapai 50 miliar dollar AS merosot menjadi hanya kurang dari 5 miliar dollar AS.
Tak hanya itu, Softbank Group raksasa investasi dari Jepang juga sebagai investor utama dari WeWork dan Uber menyatakan merugi sampai Rp 100 triliun akibat anjloknya nilai valuasi Uber dan WeWork.
Frans menyebutkan bisnis digital yang selama ini dianggap sebagai lokomotif ekonomi terdepan dalam era industri 4.0 mulai berjatuhan satu demi satu.
• Kini Beli Beras Bisa secara Online, Bulog Rambah Bisnis Daring
“Bahkan Forbes pernah merilis angka kegagalan dalam bisnis startup itu mencapai 90 persen,” katanya.
Dalam riset GORC, ia melanjutkan, gejala latah bisnis digital ini hampir sama seperti yang terjadi pada 2000.
Saat itu, banyak perusahaan internet yang sempat mempunyai nilai triliunan berakhir gagal tanpa nilai sama sekali.
“Fenomena ini dikenal dengan internet bubble. Pets.com bangkrut, diikuti dengan Boo.com, Webvan, hingga semua saham perusahaan internet turun 75 persen,” ujarnya.