Gedung Juang Bekasi terlihat jelas, saat melintasi Jalan Sultan Hasanudin, Setiadarma, Kecamatan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi.
Gedung Juang itu menjadi salah satu bangunan ikonik yang bersejarah di Bekasi.
Bangunan yang didominasi berwarna putih itu juga dikenal dengan nama Landhuis Tamboen itu punya gaya arsitektur Art Deco.
Di mana gaya ini memperhatikan detail ornamentasi bangunan.
Gedung Juang itu memilik dua lantai, dengan masing-masing lantai memilik empat ruangan.
Untuk kelantai dua, ada tangga bergaya khas bangsawan. Dinding didalam gedung itu juga didominasi dengan kramik berwarna cokelat dan bermotif bunga.
Dalam area Gedung Juang itu, ada juga bangunan Museum Bekasi yang berisi sejumlah foto-foto dan barang-barang bersejarah.
Ada juga kantor Koperasi Wredatama RI Kabupaten Bekasi (KOWARKASI), Markas Cabang Leguin RI Kabupaten Bekasi, Kelompok Kerja Sadar Wisata (Pokdarwis).
Di halaman depan gedung, ada tugu berbentuk keran air dan tugu perjuangan bergambar para pejuang dengan memegang senjata.
Namun, keberadaan Gedung Juang Bekasi itu nampak dipandang sebelah mata.
Pantauan Warta Kota pada Kamis (15/8/2019), terlihat dari kondisi Gedung Juang Bekasi yang memiliki dua lantai itu kurang terawat.
Nampak lantai berdebu, bahkan pada lantai dua banyak sekali sejumlah kotoran kelelawar. Bau kelelawar atau kampret itu juga sangat tercium.
Tak hanya itu, plafon atau atap gedung itu juga banyak yang rusak.
Dalam Gedung Juang itu kosong tak ada benda bersejarah atau foto-foto bersejarah. Sejumlah kaca jendala juga ada yang pecah.
Tentunya kondisi dipandang sangat miris, gedung yang penuh sejarah itu seperti tak mendapatkan perhatian.
Reo Wajah seorang sukarelawan yang selalu menjaga dan tinggal di Gedung Juang itu mengatakan ia bersama teman-temannya datang ke Gedung Juang pada tahun 2014.
Kedatangannya dikarenakan melihat kondisi Gedung Juang tak terurus dengan baik. Bahkan terkesan angker.
"Saya datang kesini dari jaman ini masih gelap gulita engga ada penerangan. Kita benahi sampai pasang penerangan. Rusak bangat, sampai akhirnya di renovasi," kata Reo, Jumat (16/8/2019).
Akan tetapi, kata Reo, usai direnovasi pemerintah setempat tak serius mengembangkan Gedung Juang sebagai destinasi wisata sejarah Bekasi. Sehingga kondisinya mulai rusak kembali.
"Kalau kita kan hanya bisa bantu bersih-bersih debu dan kotoran kelelawar saja. Ada petugas kebersihan dari Pemda tapi kan engga maksimal juga. Terus engga ada biaya perawatan," jelas dia.
Ia juga menilai pemerintah setempat kurang perhatian dalam mengembangkan Gedung Juang ini sebagai pusat kebudayaan Bekasi.
"Harus minimal gelar kegiatan, ini rata-rata kami komunitas yang gelar kegiatan. Tiap minggu kita adakan kegiatan biar tempat ini ramai pengunjung," ucap dia.
Akan tetapi ia mendengar kabar pada tahun 2020 Pemerintah Kabupaten Bekasi bakal melakukan renovasi ulang dan membangun perpustaan sejarah digital.
"Semoga saja benar karena kan selama ini pergerakan pemda lambat sekali," paparnya.
Gedung Juang itu menjadi salah satu bangunan ikonik yang bersejarah di Bekasi.
Bangunan yang didominasi berwarna putih itu juga dikenal dengan nama Landhuis Tamboen itu punya gaya arsitektur Art Deco. Di mana gaya ini memperhatikan detail ornamentasi bangunan.
Seorang Sejarahwan Bekasi, Ali Anwar mengungkapkan bangunan bergaya arsitektur Ard Deco ini memiliki luas lahan 13.900 meter persegi dengan luas bangunan mencapai 1.177 meter persegi.
Bangunan itu awalnya milik Khouw Tjeng Kie seorang bangsawan dari China dan tuan tanah Luitenant der Chinezen.
Mereka diperkirakan datang atau mendirikan bangunan itu pada tahun 1900. Pada saat ini mereka menyewa lahan pemerintah untuk lahan pertanian, oleh sebabnya dibangun gedung itu.
"Dulu kan pemerintah menyewakan lahan-lahan untuk pertanian. Jadi mereka punya lahan bisa ratusan hektare. Gedung itu buat tinggal dan juga pantau perkebunan dan pertanian mereka," ujar Ali Anwar kepada Wartakota, Kamis (15/8/2019).
Kemudian, kata Ali Anwar, seiring berjalannya waktu setelah masa penjajahan Belanda digulingkan dengan penjajah Jepang.
Tuan tanah itu terusir, sehingga gedung itu dikuasi oleh Jepang untuk dibangun markas militer.
Kemudian ketika Belanda kembali menjajah Indonesia atau tepatnya setelah masa revolusi gedung itu dijadikan markas dari Tentara Keamanan Rakyat (TKR) maupun basis pejuang Bekasi.
"Itu sekitar tahun 1941 ketika Belanda kembali lagi ke Indonesia setalah kalahkan Jepang. Gedung ini jadi basis pertahanan para pejuang," ucap Ali Anwar.
• Payung Merah Putih Membuktikan Kawasan Lenteng Agung sebagai Wujud NKRI dan Suasana Kondusif
Ketika Belanda kembali gencar melakukan penyerangan dan ingin menguasai Indonesia lagi khususnya Batavia, Gedung Juang itu dijadikan Pusat Komando Perjuangan dan Pertahanan RI oleh pejuang kemerdekaan yang berpusat di Tambun dan Cibarusah.
"Jadi dulu kan para pejuang Bekasi berperan dalam melakukan perlawanan kepada Belanda," kata Ali.
Hingga akhirnya pasca kemerdekaan atau setelah benar-benar pergi dari Indonesia pada sekitar tahun 1950, Gedung Juang itu dijadikan pusat pemerintahan di Kabupaten Bekasi.
"Tapi itu masih kantor Bupatinya saja, dan hanya Dinas Kesehatan, PUPR , Pertanian berkantor disitu (Gedung Juang), sisanya masih di Jatinegara," jelas Ali.
Kemudian, pada tahun 1962 kantor pemerintah pindah ke Jalan Insinyur Juanda, Bekasi Timur hingga akhirnya pada tahun 1970 pindah ke Jalan Ahmad Yani sebelum pemekaran Kota dan Kabupaten Bekasi.
"Nah ketika itu Gedung Juang hanya berfungsi sebagai kantor organisasi atau lembaga para pejuang atau veteran hingga saat ini," kata Ali.
• KCD Gelar Upacara Bendera Di Tengah Kali Ciliwung dalam Rangka Merayakan HUT ke 74 RI