Kasus Ratna Sarumpaet

Saksi Ahli di Sidang Ratna Sarumpaet: Bohong Tidak Dilarang dalam Hukum Pidana

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ratna Sarumpaet usai sidang putusan sela di PN Jakarta Selatan, Selasa (19/3/2019)

MUDZAKIR, saksi ahli hukum pidana, menilai kebohongan terdakwa kasus penyebaran hoaks Ratna Sarumpaet, tidak dapat dikategorikan perbuatan pidana.

"Memang perbuatan Ibu Ratna itu bukan perbuatan pidana. Bohong itu tidak dilarang dalam hukum pidana, tapi dilarang dalam bidang-bidang yang lain," ujar Mudzakir di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jalan Ampera Raya, Kamis (9/5/2019).

Ia mengatakan, kebohongan Ratna Sarumpaet terjadi karena yang bersangkutan merasa malu mengakui telah melakukan tindakan medis, kepada pihak keluarga.

Prabowo Minta Ratusan Petugas KPPS yang Meninggal Divisum, KPU Nilai Tak Hargai Perasaan Keluarga

Kebohongan itu, kata dia, tidak bisa disebut menimbulkan keonaran, lantaran kebohongan Ratna Sarumpaet hanya ditujukan kepada keluarga dan kerabat dekatnya.

"Karena dia berbuat kan untuk kepentingan keluarganya. Bohong untuk keluarga. Karena dia malu telah melakukan tindakan medis operasi sedot lemak," tuturnya.

"Maksud tujuannya bukan untuk menimbulkan keonaran, tapi semata-mata untuk kepentingan dirinya sendiri demi hubungan dengan anak," jelas Mudzakir.

Prabowo: Bachtiar Nasir Tidak Salah Sama Sekali, Ini Kriminalisasi Ulama

Lebih lanjut, ia menyebut masalah ini semestinya telah selesai dengan adanya pengakuan dan permintaan maaf dari Ratna Sarumpaet, kepada orang yang telah dibohongi.

"Kalau sekarang orang itu telah mengakui bahwa ia dipukuli itu adalah bohong, dan ia minta maaf terhadap orang-orang yang membaca menerima informasi itu, kan sudah selesai," paparnya.

Mudzakir juga memberikan penjelasan terkait perbedaan makna kata 'menyiarkan' dan 'menyebarluaskan', terutama dalam konteks hukum pidana.

Ternyata Bachtiar Nasir Sudah Jadi Tersangka Sejak Awal 2018, Ini Dua Alat Bukti yang Menjeratnya

Ia menjelaskan, pasal 14 Ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana, menyebutkan kata menyiarkan dan bukannya menyebarluaskan.

Kata menyebarluaskan sendiri, kata dia, dijelaskan dalam pasal lain seperti penghinaan, dan bukannya Pasal 14.

"Dalam tindak pidana yang diatur dalam Pasal 14 ini, penggunaannya adalah menyiarkan. Berbeda menyiarkan dengan menyebarluaskan," terangnya.

Minta Keturunan Arab Jangan Provokator, Prabowo Cs Sebut Hendropriyono Rasis dan Tak Paham Sejarah

"Kalau menyebarluaskan ada di tindak pidana terkait penghinaan. Misalnya saya contohkan menghina presiden dengan gambar dan tulisan yang disebarkan," bebernya..

Dengan penjelasan itu, ia melihat pasal yang digunakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) kepada terdakwa kasus penyebaran hoaks Ratna Sarumpaet, kurang tepat.

Alasannya, pasal yang mengatur perkara itu lebih kepada pasal 36 ayat 5 tentang penyiaran terkait menyiarkan isi pesan berunsur kebohongan.

Sejumlah Pria Misterius Bermotor Kerap Memotret Baliho Prabowo-Sandi di Bekasi, Lalu Pergi

Selain itu, Mudzakir menilai Ratna Sarumpaet juga tidak menyiarkan berita bohongnya.

"Kalau menurut saya tidak. Makanya itu saya katakan kalau sekarang itu sudah ada UU Nomor 32 Tahun 2002, itu enggak masuk lagi pasal-pasal itu," jelasnya.

"Yang masuk di sana tadi sudah saya kutipkan, pasal 36 ayat 5 yang di situ menyiarkan yang isi siaran itu adalah bohong," tambahnya.

Pekan Depan Eggi Sudjana Diperiksa Sebagai Tersangka Kasus Dugaan Makar

Sementara, saksi ahli Informasi Transaksi Elektronik (ITE) bernama Teguh Arifiyadi mengatakan, tidak ada istilah keonaran di media sosial.

Pernyataan itu merujuk pada kata 'keonaran' yang kerap dikaitkan JPU dalam hoaks Ratna Sarumpaet di medsos.

Teguh menilai di media sosial hanya ada trending topic, sebagai tolak ukur sebuah isu menjadi perbincangan di ranah tersebut.

Jengkel Proses Perizinan Investasi Masih Bertele-tele, Jokowi Ancam Lakukan Ini

"Di ITE tidak ada keonaran. Keonaran tidak ada parameternya, yang ada hanya trending topic," ujar Teguh, di tempat yang sama..

Ia menjelaskan, trending topic sendiri dapat bermula dari satu informasi yang tersebar di media sosial. Meski demikian, keonaran disebutnya tidak bisa diukur dalam media sosial.

Sementara, trending topic dapat diukur atau dikalkulasi dalam media sosial. Apalagi, kata dia, dalam UU ITE tidak disebutkan adanya pasal terkait keonaran.

Eggi Sudjana Jadi Tersangka, BPN: Setiap Protes kepada Pemerintah Diarahkan ke Makar

"Kalau trending topic bisa dikalkulasi, tapi kalau dikaitkan keonaran (itu) tidak bisa diukur, tidak ada pasalnya," beber Teguh.

Teguh Arifiyadi menilai, menyebarkan pesan dari satu orang ke orang lain tidak bisa disebut sebagai menyebarluaskan.

Apalagi bila hal tersebut dilakukan melalui aplikasi percakapan WhatsApp. Menurutnya, dalam UU ITE hal itu tergolong mentransmisikan pesan atau adanya perpindahan pesan dari satu perangkat ke perangkat lain.

Ferdinand Hutahaean Setuju Orasi Eggi Sudjana Isyaratkan Makar, tapi Sebaiknya Cukup Ditegur Saja

Sedangkan dalam UU ITE, Teguh meyakini menyebarluaskan diartikan menyebarkan sesuatu ke publik atau khalayak umum.

"Penyebaran via WhatsApp itu mentransmisikan, tapi apakah dia mendisitribusikan? Konteks pasal 157 KUHP itu penyebaran dengan waktunya sama. Tujuannya untuk diketahui secara umum," ulas Teguh.

"Dalam konteks UU ITE pidana 28 ayat 2 yang menyebar itu untuk diketahui secara umum. Umum itu adalah publik, orang yang tidak dikenal," imbuhnya.

Ini Pidato Lengkap Eggi Sudjana Soal People Power yang Membuatnya Jadi Tersangka Kasus Dugaan Makar

Insank Nasruddin, kuasa hukum Ratna Sarumpaet, kemudian menanyakan apa saja hal yang dilarang atau diatur dalam Undang-undang ITE.

Menjawab itu, Teguh mengatakan bahwa perjudian, norma susila, dan berita bohong perlindungan konsumen, adalah yang diatur dalam peraturan tersebut.

Insank kemudian kembali bertanya, apakah konteks berita bohong perlindungan konsumen itu bisa diartikan sama dengan berita bohong terhadap diri sendiri dalam undang-undang ITE.

Terganggu Aksi Unjuk Rasa Saat Rekapitulasi Suara, KPU Merasa Seperti Setel Radio Terlalu Kencang

"(Berita bohong terhadap diri sendiri) Belum masuk kategori ITE," jawab Teguh.

Ratna Sarumpaet didakwa oleh JPU telah membuat kegaduhan akibat menyebarkan berita bohong yang menyatakan dirinya dianiaya sekelompok orang.

Akibat perbuatannya, Ratna Sarumpaet didakwa dengan satu dakwaan yakni didakwa melanggar Pasal 14 ayat (1) UU No 1 Tahun 1946 ttg Peraturan Hukum Pidana, atau dakwaan kedua pasal 28 ayat (2) jo 45A ayat (2) UU No 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No 11 Thn 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. (Vincentius Jyestha)

Berita Terkini