Politik Uang

DKPP Soroti Dugaan Praktik Politik Uang di Pemungutan Suara Ulang Pemilu Kepala Daerah

Ketua DKPP Heddy Lugito menyesali pemungutan suara ulang di Pilkada, karena ternyata politik uang tetap marak.

Penulis: Alfian Firmansyah | Editor: Valentino Verry
Dokumentasi Humas DKPP
Ketua DKPP, Heddy Lugito, mengatakan PSU saat Pilkada marak politik uang. Hal itu diungkapkannya saat Rapat Kerja dan Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi II DPR RI terkait evaluasi penyelenggaraan PSU pemilihan kepala daerah di Jakarta, Senin (5/5/2025). 

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menyoroti makin terbukanya praktik politik uang dalam pelaksanaan pemungutan suara ulang (PSU) pemilihan kepala daerah, pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK). 

Hal tersebut diungkapkan Ketua DKPP, Heddy Lugito, dalam Rapat Kerja dan Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi II DPR RI terkait evaluasi penyelenggaraan PSU pemilihan kepala daerah di Jakarta, pada Senin (5/5/2025). 

“Dalam pelaksanaan PSU ini justru semakin mengemuka politik uang,” ungkap Heddy. 

Baca juga: Delapan Daerah Gelar Pemungutan Suara Ulang, Mulai dari Kota Banjarbaru Sampai Bengkulu Selatan

Baca juga: Pemkab Karawang Didesak Bentuk Satgas PSU, Ketua Komisi III DPRD: Kami akan Telaah Lebih Lanjut

Heddy mencontohkan PSU pilkada Kabupaten Magetan, Provinsi Jawa Timur, pada 22 Maret 2025. 

Pada PSU tersebut, partisipasi masyarakat untuk memberikan hak pilih,sangat tinggi. Bahkan melebihi partisipasi dalam pilkada yang dilaksanakan 27 November 2024. 

PSU di Kabupaten Magetan dilaksanakan hanya di empat TPS, yakni TPS 001 dan 004 Desa Kinandang, Kecamatan Bendo, TPS 001 Desa Nguri, Kecamatan Lembeyan, dan TPS 009 Desa Selotinatah, Kecamatan Ngariboyo. 

“Pemilih di Kabupaten Magetan itu jam 07.00 sudah antri panjang. Selain partisipasi yang tinggi, juga bisa mengindikasikan yang lain. Pada pilkada saja tidak sebesar itu, justru PSU antriannya panjang sekali,” sambung Heddy. 

Selain politik uang kata Heddy, DKPP juga menyoroti masih terjadinya perbedaan antara KPU dan Bawaslu dalam menafsirkan peraturan perundang-undangan maupun putusan MK. Perbedaan tafsir tersebut berujung pada pengaduan ke DKPP

Perbedaan tafsir tersebut antara lain terkait dengan pemenuhan syarat calon atau pasangan calon yakni pendidikan dan status pernah sebagai terpidana. Perbedaan tafsir juga terkait pemenuhan syarat dua periode masa jabatan. 

“Misalnya soal batasan dua periode masa jabatan, masih beda penafsiran antara KPU dan Bawaslu. Ke depan ini harus menjadi perhatian kita semua, yang dimaksud dengan dua periode itu seperti apa,” tegasnya 

Dalam catatan Heddy, DKPP menerima 16 pengaduan terkait penyelenggaraan PSU pasca putusan MK. Belasan pengaduan itu, kini berstatus dalam proses verifikasi, baik administrasi maupun materiel. 

Lanjut Heddy, Enam belas pengaduan meliputi PSU di sejumlah daerah, yaitu Kabupaten Banggai, Kabupaten Barito Utara, Kabupaten Buru, Kabupaten Kutai Kertanegara, Kabupaten Empat Lawang, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Mahakam Ulu, dan Provinsi Papua, 

“Pengaduan masih kita proses sehingga belum dijadwalkan untuk digelar persidangan,” jelasnya. 

Baca berita WartaKotalive.com lainnya di Google News 

Ikuti saluran WartaKotaLive.Com di WhatsApp: https://www.whatsapp.com/channel/0029VaYZ6CQFsn0dfcPLvk09

 

Sumber: Warta Kota
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved