Energi

Subsidi Energi Tepat Sasaran Jadi Rekomendasi Percepatan Transisi Energi di Era Prabowo-Gibran

Berbagai lembaga menyampaikan rekomendasi percepatan transisi energi yang bersih berkelanjutan dan berkeadilan di masa pemerintahan Prabowo-Gibran.

istimewa
Sejumlah narasumber dari berbagai lembaga berbicara mengenai transisi energi dalam media briefing bertajuk Memimpin Perubahan: Transisi Energi dan Emisi Nol Bersih dalam Pemerintahan Prabowo-Gibran, di gedung  Purnomo Yusgiantoro Center, Melawai, Jakarta Selatan, Kamis (24/10/2024). 

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Pemerintahan Prabowo-Gibran telah menempatkan ketahanan energi melalui pemanfaatan energi bersih sebagai salah satu prioritas utamanya dalam pidato inaugurasinya di Gedung MPR pada hari Minggu, 20 Oktober 2024 lalu.

Namun, lambatnya pengembangan dan investasi energi bersih di Indonesia dalam lima tahun terakhir menjadi tantangan yang serius bagi pemerintahan Prabowo-Gibran.

Oleh karena itu, percepatan transisi energi berkeadilan dan pencapaian target emisi nol bersih (net zero emissions/NZE) Indonesia yang selaras dengan Persetujuan Paris, memerlukan komitmen kebijakan yang lebih kuat serta peningkatan ambisi iklim. 

Dalam lima tahun ke depan (2024-2029), percepatan transisi energi yang bersih akan sangat penting untuk mencapai target emisi nol bersih dan mendukung pertumbuhan ekonomi nasional yang berkelanjutan.

Berbagai lembaga diantaranya Climateworks Centre, Centre for Policy Development (CPD), Institute for Essential Services Reform (IESR), Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID), International Institute for Sustainable Development (IISD), dan Purnomo Yusgiantoro Center (PYC), yang tergabung dalam Energy Transition Policy Development (ETP) Forum, menyampaikan bebrapa rekomendasi.

Salah satunya mencakup reformasi subsidi energi agar tepat sasaran. Centre for Policy Development (CPD) menilai pemerintahan Prabowo perlu mengurangi ketergantungan masyarakat akan subsidi energi fosil untuk dapat melaksanakan percepatan transisi energi di Indonesia.

Penasihat Kebijakan Senior CPD, Ruddy Gobel, mengatakan pemerintah perlu menerapkan mekanisme penetapan harga energi yang lebih fleksibel dan berbasis pasar, termasuk harga tarif regional dan tarif progresif berdasarkan volume konsumsi energi.

"Kebijakan ini perlu untuk mendorong efisiensi, mengurangi ketergantungan pada subsidi, dan mendukung percepatan transisi energi bersih," ujar Ruddy dalam media briefing bertajuk Memimpin Perubahan: Transisi Energi dan Emisi Nol Bersih dalam Pemerintahan Prabowo-Gibran, di gedung  Purnomo Yusgiantoro Center, Melawai, Jakarta Selatan, Kamis (24/10/2024).

Ruddy mengatakan pemerintah perlu mereformasi subsidi energi dengan digitalisasi penyaluran untuk memastikan subsidi tepat sasaran.

Reformasi ini harus didukung oleh verifikasi data kependudukan yang akurat serta penyesuaian harga energi secara bertahap.

Di sisi lain, pemerintah juga perlu memberikan kompensasi bagi kelompok rentan untuk memitigasi dampak negatif Menurutnya, hal tersebut diperlukan lantaran subsidi di sektor energi menjadi salah satu faktor yang menghambat transisi energi di Indonesia.

Pasalnya, subsidi energi adalah komponen yang paling besar di dalam APBN Indonesia.

"Fiskal itu ruangnya tidak lega, tidak luas. Kalau fiskal itu terpakai untuk sebuah program yang dalam tanda petik tidak terlalu produktif, maka kemudian fiskal tidak punya kesempatan menyediakan anggaran untuk program-program yang lebih produktif," ujar Ruddy.

Selain itu, ia menilai pemerintah seharusnya tidak hanya fokus pada sisi pengurangan energi fosil dan mengganti ke energi terbarukan.

Pemerintah juga harus mempertimbangkan kesejahterahaan masyarakat dalam proses transisi energi.

Dia mencontohkan bauran energi baru terbarukan yang saat ini paling banyak ditopang oleh bioenergi, khususnya biodiesel B35. 

Menurutnya, pemerintah seharusnya bisa mengoptimalkan program B35 tersebut untuk bermanfaat bagi sosial dan ekonomi lokal.

Sementara, Direktur Indonesia Climateworks Centre, Guntur Sutiyono menjelaskan diperlukan juga komitmen jangka panjang untuk mencapai emisi nol bersih melalui peningkatan kapasitas energi terbarukan dan investasi dalam teknologi baru.

Penting juga untuk menerapkan standar lingkungan yang tinggi dalam industri ekstraktif agar pertumbuhan ekonomi tidak merusak ekosistem, sambil mempertimbangkan aspek sosial untuk memastikan transisi energi yang inklusif dan adil bagi semua pihak. 

"Rekomendasi ini dibungkus dengan seruan kepada pemerintah Prabowo-Gibran untuk mempertegas komitmen terhadap strategi jangka panjang untuk mencapai NZE di tahun 2060 atau lebih cepat, " kata Guntur. 

Sementara Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Sistem Energi dari IESR mengungkapkan pemerintah Indonesia perlu mengintegrasi strategi pembangunan ekonomi dan akselerasi transisi energi menuju transisi energi berkeadilan. 

Deon menyoroti tekad pemerintahan Prabowo-Gibran untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi 8 persen, tetapi draf RPP Kebijakan Energi Nasional (KEN) menunjukkan target dan ambisi transisi energi justru turun. 

Padahal energi, terutama energi terbarukan merupakan salah satu motor penggerak pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Kondisi ini dapat mendegradasi kepercayaan investor dan menambah risiko investasi energi terbarukan di Indonesia. 

“Pemerintah Indonesia perlu merombak kerangka aturan agar mendukung pengembangan energi terbarukan serta pengakhiran operasi dini PLTU batubara.” jelas Deon. 

Transisi energi merupakan salah satu agenda penting bagi Indonesia dalam rangka mencapai target emisi karbon rendah dan beralih ke sumber energi yang lebih bersih dan berkelanjutan. 

Lebih lanjut, Indonesia perlu menegaskan komitmen iklim dan posisinya dalam berkontribusi pada target dan tujuan global terkait emisi nol bersih.

“Saat ini Indonesia belum tegas terkait kontribusinya terhadap tujuan iklim global, seperti melipatgandakan hingga tiga kali lipat kapasitas energi terbarukan sekaligus melipatgandakan kapasitas efisiensi energi,” ujar Direktur Eksekutif IRID, Kuki Soejahmoen.

Berdasarkan data, porsi energi baru terbarukan (EBT) dalam realisasi transisi energi baru menyentuh 13,1 persen pada akhir tahun 2023, sementara dari target 17,9-19,5 persen pada tahun 2024, hingga kuartal kedua baru mencapai 13,93 persen.

Tentu hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia untuk mencapai target NZE pada tahun 2060 atau lebih cepat. 

Sedangkan menurut Filda C. Yusgiantoro dari PYC menambahkan, reformasi kebijakan dan penguatan kapasitas kelembagaan tingkat daerah juga perlu dilakukan.

"Reformasi ini harus mencakup peningkatan pemahaman, peraturan yang lebih kuat dalam bentuk dinas energi khusus di tingkat kota/kabupaten atau memperkuat peran Bappeda dengan alokasi sumber daya yang memadai," tandasnya.

Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved