Warta Pendidikan
Akses Pendidikan Kian Menyempit, Pengamat Minta Pemerintah Tidak Bedakan PTS dan PTN soal Subsidi
Menurut Ubaid Matraji jumlah orang yang bisa punya kesempatan bisa kuliah dan lulus menjadi sarjana, masih di bawah 8 persen.
Penulis: Nuri Yatul Hikmah | Editor: Feryanto Hadi
Laporan Wartawan Wartakotalive.com, Nuri Yatul Hikmah
WARTAKOTALIVE.COM, PALMERAH — Akhir-akhir ini, santer terdengar sejumlah mahasiswa menuntut penurunan uang kuliah tunggal (UKT) yang kian lama kian meningkat.
Mereka bahkan melakukan unjuk rasa di depan kampusnya, lantaran kerap merasa terjadi kesenjangan antara si kaya yang mudah membayar UKT dan si miskin yang terseok-seok dalam pembayaran.
Padahal, kampus-kampus mereka berstatus sebagai perguruan tinggi negeri (PTN) yang sudah seyogyanya mendapat sentuhan pemerintah dari dana pendidikan Rp 665 triliun.
Akan tetapi realitanya tidaklah demikian.
Akses pendidikan semakin lama semakin terlihat kian menyempit.
Baca juga: Setelah Ramai Pungli Dana BOS di Kabupaten Bogor, Kini 108 Madrasah Terima Kucuran 5,3 M dari Pemkot
Bahkan, menurut Ubaid Matraji selaku pengamat pendidikan dan Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), jumlah orang yang bisa punya kesempatan bisa kuliah dan lulus menjadi sarjana, masih di bawah 8 persen.
"Karena itu harus ada upaya. Pemerintah itu enggak boleh membeda-bedakan anak yang kuliah di PTN dan PTS," kata Ubaid saat dihubungi Warta Kota, Minggu (30/6/2024).
"Jadi anak-anak Indonesia yang kuliah di PTN dan PTS itu harus mendapat bantuan pembiayaan dari pemerintah sehingga kesenjangan tidak terjadi," imbuhnya.
Selain itu, lanjut Ubaid, masyarakat yang memiliki status ekonomi miskin atau menengah ke bawah, tetap bisa berkuliah dengan biaya yang terjangkau dan berkualitas apabila pemerintah adil.
"Jangan kemudian seperti hari ini semakin lama semakin kesenjangan semakin tinggi, anak orang miskin enggak bisa kuliah dan anaknya orang kaya yang bisa ambil kuliah di jalur perguruan tinggi favorit," ungkap Ubaid.
Padahal, bisa saja sebenarnya anak-anak dari masyarakat kurang mampu itu lebih memiliki kemampuan dan kompetensi yang bagus dibandingkan dengan mereka yang dicap sebagai orang kaya.
Hanya saja, kata Ubaid, keterbatasan biaya membuat mimpinya terkubur.
Sementara orang kaya meski tak memiliki kemampuan mumpuni, bisa mendapat pendidikan bagus dan karier yang cemerlang.
"Ketika perguruan tinggi melahirkan ahli-ahli di bidangnya tetapi kompetenisnya enggak bagus karena faktor uang saja, maka satu contoh ketika dia jadi sarjana teknik sipil, mereka bikin jembatan, jembatannya enggakberumur panjang. Atau mereka melakukan praktek di kedoktetan, tapi malpraktek," jelas Ubaid.
"Karena memang sarjana-sarjana yang mereka masuk lewat jalur mandiri, kemampuannya buruk, akademiknya buruk, tapi mereka bisa jadi ahli," pungkasnya. (m40)
Baca Wartakotalive.com berita lainnya di Google News
Ikuti saluran WartaKotaLive.Com di WhatsApp: https://whatsapp.com/channel/0029VaYZ6CQFsn0dfcPLvk09
| Persiapkan Mahasiswa Hadapi Dunia Kerja, FISIP Unas Jalin Kerja Sama dengan BPJS Ketenagakerjaan |
|
|---|
| 23 Dokter Muda Unika Atma Jaya Jalani Sumpah, IDI Titip Pesan Agar Mau Mengabdi di Daerah Terpencil |
|
|---|
| Fakultas Teknik UI Gaungkan Inovasi Berbasis AI di Ajang Conference Quality in Research 2025 |
|
|---|
| Hadirkan Rancangan Beton Inovatif, Mahasiswa Fakultas Teknik UMB Sabet Juara Nasional di Bali |
|
|---|
| Ciptakan Lulusan Siap Kerja, Poltekkes Genesis Medicare Depok Tawarkan Biaya Kuliah Terjangkau |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/wartakota/foto/bank/originals/ubaid-matraji.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.