Berita Video

VIDEO Fenomena Munculnya Makam Tua di kampung Apung Akibat Kekeringan

Di tengah megahnya ibu kota, terselip satu pemukiman yang masih kokoh berdiri, meski berada di atas tanah makam yang terendam kubangan air

Penulis: Nuri Yatul Hikmah | Editor: Fredderix Luttex

WARTAKOTALIVE.COM, CENGKARENG — Di tengah megahnya ibu kota, terselip satu pemukiman yang masih kokoh berdiri, meski berada di atas tanah makam yang terendam kubangan air bak sebuah waduk.

Pemukiman itu santer dikenal dengan nama Kampung Apung, Kapuk Teko, Cengkareng, Jakarta Barat.

Di tempat itu, ada lebih dari 200 warga bermukim di satu RT yang sama, yakni RT 10 RW 1.

Rata-rata dari mereka, tinggal di satu rumah petakan berukuran 3x3 meter dan berdinding triplek.

Penyangga rumah-rumah mereka, kebanyakan dari kayu, bambu, atau beton bangunan yang tertancap ke dasar waduk berisi air payau.

Akan tetapi, waduk itu sebenarnya bukanlah sebuah waduk sungguhan, melainkan tempat pemakaman umum yang terendam air banjir dan air bekas pemakaian rumah tangga.

Yang mana, air tersebut tak bisa mengalir ke luar, sehingga lambat laun menggenang bak sebuah waduk.

Untuk bisa masuk ke kampung apung tersebut, Warta Kota perlu melewati sebuah gang sempit yang hanya bisa dilewati oleh dua motor secara bergantian.

Kemudian, ada satu jembatan penghubung yang bisa mengantarkan kami ke rumah-rumah apung warga tersebut.

Di sisi kanan dan kiri jembatan, nampak ada genangan air berwarna hijau lumut yang disebut-sebut sebagai bendungan atau waduk.

Baca juga: Sewa Preman Serang Pedagang Pasar Kutabumi, Eks Direktur Perumda Tangerang Ditetapkan Tersangka

Hanya saja berbeda seperti potret waduk biasanya, kini air yang biasanya menggenangi dasar rumah-rumah warga di Kampung Apung Kapuk Teko, mengering bak disedot semesta.

Walhasil, sejumlah makam-makam tua nampak jelas bermunculan ke permukaan.

Beberapa makam terlihat masih utuh meski warna lantai atau semen pelapis nisannya memudar dan berlumut lantaran tertelan air payau.

Sementara beberapa lainnya nampak sudah hancur dan retak-retak.

Makam-makam tersebut juga nampak seperti makam lama, yang identik dengan gundukan seperti batu.

Baca juga: Djarot Terang-terang Sebut Gibran Contoh Tidak Bagus bagi Anak Muda

Selain itu, menyusutnya genangan air di kampung apung itu juga menampilkan penampakan kotornya kawasan tersebut.

Pasalnya, dasar area makam yang kini mengering akibat musim kemarau itu, terlihat retak-retak.

Di sekitarnya, terdapat timbunan sampah yang sudah mengerak.

Sampah-sampah itu kebanyakan bekas konsumsi rumah tangga dan plastik-plastik makanan ringan.

Kendati demikian, tak semua air waduk di kampung apung itu mengering.

Sebagian area masih terlihat ada genangan airnya, meskipun volumenya sangat sedikit dan bahkan tingginya tak sampai satu meter.

Baca juga: Ini Tanggapan Prabowo Tentang Kepedihan PDIP setelah Gibran Menjadi Bakal Cawapresnya

Menurut penuturan salah seorang warga, Ninah (43), makam-makam tersebut sudah ada sejak lama, jauh sebelum dirinya lahir.

Biasanya, para warga di luar kampung apung yang keluarganya dikuburkan di tempat itu, kerap berziarah dengan cara menabur bunga dari jembatan yang berada di tengah waduk tersebut.

"Pokoknya dari orang tua saya masih kecil banyak yang ziarah, kalau ziarah di jembatan, duduk, habis doa dia tabur bunga," ujar Ninah saat ditemui Warta Kota di rumahnya, RT 10 RW 01 Kampung Apung Kapuk Teko, Cengkareng, Jakarta Barat, Senin (30/10/2023).

Biasanya, lanjut dia, ramai orang berziarah pada saat menjelang puasa dan hari raya Islam.

Pasalnya, genangan air tersebut tak setiap saat surut seperti yang nampak sekarang ini.

Baca juga: Dokter Sarankan Beban Kerja Luhut Agar Dikurangi Demi Kesehatannya

Sepengetahuannya, fenomena makam muncul akibat kekeringan itu baru dua kali terjadi, yakni pada 2001 dan 2023 saat ini.

"Dulu juga pernah kemarau delapan bulan, sampai kering meletak tanahnya. Kalau ini belum kering banget," kata Ninah.

"Jadi enggak tiap tahun, kekeringan ini aja dua kali kekeringan, dulu tahun 2001 kalau enggak salah, jadi dua kali kemarau ini, pas 2001 kering delapan bulan kering meletak, dan sekarang," ungkap dia.

Sementara itu, Siti Robiah (60) yang sudah tinggal di tempat tersebut sejak tahun 1980-an, menyebut jika menyusutnya air tersebut sudah terjadi hampir tiga bulan lalu.

Menurutnya selain karena musim kemarau, keringnya genangan air tersebut juga lantaran kerap disedot untuk membantu pemadam kebakaran mendapatkan air.

"Itu dari tiga bulan apa dua bulan. Soalnya ini ditambah disedot juga waktu ada kebakaran di AKR itu nyari air susah, jadi di sini nyedot airnya," kata Siti saat ditemui.

Baca juga: Beda Jawaban Prabowo, Anies dan Ganjar Soal Makan Siang Bersama Jokowi, Apa itu?

Dia berujar, air tersebut mulanya berasal dari banjir yang menerjang Jakarta beberapa tahun silam, ditambah dengan air hasil pemakaian rumah tangga yang juga masuk ke area tersebut.

Lama-lama, air itu bertumpuk dan tak bisa dikeluarkan lagi hingga menjadi sebuah genangan.

"Iya dulunya pemakaman. Dulu mah enggak ada air, soalnya dulu di sana terbuka belum dibikin ruko," katanya.

"Jadi air hujan besar (masuk) enggak bisa keluar. Dulu mah kuburannya enak buat main anak kecil. Kalau sekarang air dari mana-mana masuk sini. Masuk bisa, keluar enggak bisa," lanjutnya.

Sehingga, Siti mengaku rumahnya kerap terendam apabila kali di sekitar wilayah tempat tinggalnya itu meluap dan mengisi seluruh area pemakaman di kampung apung.

Meski begitu, Siti enggan beranjak dari tempat tinggalnya lantaran telah merasa nyaman.

Selain itu, apabila tidak sedang hujan, ia merasa tak ada masalah hidup di atas genangan air yang menenggelamkan ratusan makam di bawahnya.

"Ya bagaimana ya orang anak saya dari kecil ya betah di sini, pulang kampung juga enggak betah, soalnya udah betah di sini aman," pungkasnya. (m40)

Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved