Sejarah Jakarta

Sejarah Jakarta: Jembatan Lima Sempat Disebut Tempat Jin Buang Anak Hingga Dihuni Warga Banten

Kawasan Jembatan Lima menjadi salah satu kawasan tertua di Jakarta. Tak ayal Jembatan Lima menyimpan banyak sejarah Jakarta.

Penulis: Desy Selviany | Editor: Desy Selviany
Warta Kota
Melintasi Jalan Stasiun Angke yang mengarah langsung ke Kantor Kelurahan Jembatan Lima, Tambora, Jakarta Barat, dengan mudah mata akan memandang deretan kios milik para pedagang aneka buah sdan sayur mayur baik di sisi kiri dan kanan jalan. 

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Kawasan Jembatan Lima menjadi salah satu kawasan tertua di Jakarta. Tak ayal Jembatan Lima menyimpan banyak sejarah Jakarta.

Saat ini Jembatan Lima merupakan salah satu kelurahan yang masuk ke dalam Kecamatan Tambora, Jakarta Barat.

Nama Jembatan Lima ternyata sudah ada sedari zaman Hindia Belanda. Adapun dulunya kawasan Jembatan Lima hanyalah rawa-rawa dan semak belukar.

Pun kawasan itu tidak bisa dijangkau warga lantaran tidak ada akses transportasi dan hanya memiliki jalan setapak.

Maka dalam sejarah Jembatan Lima, dulunya kawasan itu disebut warga Batavia sebagai “Tempat Jin Buang Anak” lantaran sepi dan hanya rawa-rawa.

Hingga pada akhirnya, pada tahun 1920 datang orang-orang dari Banten membuka lahan dan bermukim di kawasan Jembatan Lima.

Mereka merupakan orang-orang dari luar pertama kali tiba di Jembatan Lima, karena letaknya tidak begitu jauh dari tempat tinggal mereka dan transportasi ke Jembatan Lima dapat dicapai dengan kereta api.

Orang-orang dari Banten ini tinggal di tanah wakaf yaitu di Gang Kiara. Mereka mencari nafkah dengan menjadi kuli panggul di stasiun Angke Duri dan Beos atau di pasar-pasar.

Setelah di Jembatan Lima dibangun jalan raya, mulai berdatangan orang-orang dari Bogor, Cirebon, dan Tasikmalaya.

Mereka mencari nafkah dengan berdagang makanan dan kerajinan.

Misalnya orang Bogor berdagang nasi dan kopi, orang Cirebon berdagang gado-gado, orang Tasikmalaya berdagang barang kerajinan (payung, kelom geulis, tas), dan orang Tegal berdagang nasi di pasar.

Sedangkan orang Betawi bekerja di toko atau perusahaan swasta, pelayan toko, juru tulis, jaga malam atau mandor. Para pekerja kantor di tahun 1930-an mendapat gaji sekitar F. 10 sampai F. 30.

Dulunya bermacam-macam tanaman tumbuh di dan menjadi perkebunan warga seperti pohon kelapa, bambu, jati, sawo, rambutan, mangga dan lain-lain.

Seiring banyaknya pendatang di Jembatan Lima, kawasan ini pun berkembang hingga memunculkan kampung-kampung lainnya di sekitar.

Konon nama Jembatan Lima berasal dari cerita rakyat yang menyatakan kawasan itu dahulunya terdapat lima jembatan yang menghubungkan kampung satu dengan kampung yang lain.

Hal tersebut sesuai dengan catatan dalam buku sejarah kota Jakarta, yang menyebutkan nama Jembatan Lima berasal dari jumlah jembatan yang dahulu ada.

Masing-masing jembatan di Jl Hasyim Ashari, jembatan Kedung, jembatan Petuakan, jembatan Kampung Masjid, dan jembatan Kampung Sawah.

Baca juga: Sejarah Jakarta: Kelurahan Cilangkap dari Warga Banyumas Hingga Pentagon Indonesia

Kelima jembatan tersebut dulunya berfungsi sebagai penghubung antar kampung di daerah Jembatan Lima.

Kawasan Jembatan Lima pun semakin ramai dihuni para pendatang mulai dari Sumatra, Jawa Barat, dan etnis China.

Kampung Jembatan Lima pada masa pemerintahan Belanda masuk kawedanan Penjaringan kelurahan Angke Duri, dan yang menjadi kepala kampung di jembatan Lima pada waktu itu adalah Bek Akhir, Bek Latip dan Bek Marzuki.

Pada masa pendudukan Jepang kampung Jembatan Lima masuk wilayah Penjaringan Son (kecamatan) dan kelurahan Angke Duri.

Pada masa pendudukan Jepang yang menjadi kepala kampung ialah bek Ramadan.

Kawasan Jembatan Lima semakin dikenal di nusantara sejak adanya pesantren di kampung Sawah Lio yang dikelola oleh Kyai Haji Moch.

Mereka datang ke Jembatan Lima hanya untuk menuntut ilmu di Pesantren K.H. Moch. Mansur.

Kecuali orang Padang dan China datang ke Jembatan Lima untuk menyambung hidupnya berjualan kopiah di pasar Jembatan Lima.

Ramainya etnis dan pendatang di Jembatan Lima membuat kampung tersebut dihuni warga yang beragam.

Penduduk kelurahan Jembatan Lima yang mayoritas berasal dari kaum pendatang, mereka memeluk berbagai macam agama.

Namun, walaupun menganut agama yang beragam tetapi mereka sangat toleransi dalam kerukunan beragama.

Sayangnya saat ini bangunan Jembatan Lima yang menjadi cikal bakal nama kawasan ini sudah tidak ada lantaran tergerus zaman dan masifnya pembangunan Ibu Kota Jakarta.

Kelima jembatan itu sudah hilang bak ditelan zaman. Kelimanya hilang begitu saja tanpa meninggalkan bekas.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved