Viral Media Sosial
Sudah Dapat Hitungan Kalau Patungan Lunasi Utang Negara, Ini Jawaban Kocak Netizen ke Jerome Polin
Jawaban-jawaban kocak netizen begitu ditanya balik Jerome Polin soal patungan Utang Negara
Menurut Wakil Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listyanto, Rabu (24/5/2023), kendati rasio masih di batas aman, pemerintah tetap perlu mewaspadai laju kenaikan utang untuk jangka menengah-panjang.
Ia menilai, batas aman defisit APBN dan rasio utang yang diatur di UU Keuangan Negara sudah tidak terlalu relevan untuk mengukur aman atau tidaknya posisi utang negara saat ini.
”Kalau hanya mengacu pada dua indikator itu memang utang kita akan selalu dikatakan aman, tetapi kenyataannya lonjakan utang kita cukup besar dalam lima tahun terakhir meski itu karena pandemi,” katanya.
Kenaikan utang saat pandemi terjadi di hampir semua negara. Akibat turunnya pendapatan dan naiknya kebutuhan belanja, meski masih di batas aman, rasio utang RI membengkak hingga di atas 40 persen terhadap PDB.
Pada 2020, rasio utang terhadap PDB mencapai 38,68 persen.
Pada 2021, rasio utang menembus angka tertinggi sejak reformasi, yaitu 41 persen terhadap PDB.
Sementara, pada 2022, rasio utang mulai menurun ke 38,65 persen. Sebagai perbandingan, pada 2019, rasio utang terhadap PDB masih di bawah 30 persen atau 29,8 persen, yakni Rp 4.779,28 triliun.
Dari sisi nominal, utang pemerintah bertambah Rp 3.070,5 triliun sejak pandemi.
Menurut Eko, ada beberapa faktor risiko dalam pengelolaan utang.
Pertama, profil jatuh tempo utang Indonesia dengan rata-rata tertimbang jatuh tempo (average time maturity/ATM) di kisaran delapan tahun yang aman untuk jangka pendek, tetapi bisa membebani untuk jangka menengah-panjang.
”Bermain di surat utang jangka panjang memang aman untuk sekarang karena ditagihnya masih 5-10 tahun lagi. Namun, ini perlu diwaspadai untuk jangka panjang, apalagi kalau tren utang terus meningkat,” katanya.
Kedua, laju pertumbuhan ekonomi dan pendapatan negara yang tidak seimbang dengan laju kenaikan utang.
Ia mengatakan, pertumbuhan ekonomi ada di kisaran 5 persen, tetapi pertumbuhan utang rata-rata 12-14 persen.
Laju penerimaan negara tahun ini dan tahun depan yang mulai termoderasi akibat berakhirnya momentum kenaikan harga komoditas, juga bisa menambah risiko kenaikan utang.
”Ibarat income kita tumbuh 5 persen per tahun, tetapi utang tumbuh dua kali lipatnya. Ini yang membuat pada titik tertentu di masa depan ini bisa menjadi risiko,” ujar Eko.
Ia juga menyoroti utang tersembunyi dalam bentuk utang badan usaha milik negara (BUMN) yang bisa menambah risiko.
”Meski pemerintah tidak selalu serta-merta menalangi setiap BUMN yang merugi, risiko itu tetap ada sehingga ada pandangan bahwa utang kita sebenarnya lebih dari Rp 7.000-an triliun karena unsur hidden debt itu,” katanya.
Harus Berhati-hati
Kemenkeu mencatat, penerbitan utang baru per akhir April 2023 mencapai Rp 243,9 triliun atau 35 persen dari target tahun ini.
Secara detail realisasi pembiayaan utang terdiri dari penerbitan surat berharga negara/SBN (neto) sebesar Rp 240,02 triliun dan realisasi pinjaman (neto) Rp 3,86 triliun.
Kendati naik dari periode yang sama tahun lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, hal itu untuk mengantisipasi kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat dan suku bunga dalam negeri.
Meski besar di awal tahun, penerbitan SBN akan berupaya diturunkan, apalagi melihat kinerja APBN yang terjaga di awal tahun.
”Jika penerimaan cukup besar, bisa dilakukan penurunan penerbitan SBN sesuai kondisi keuangan kita yang cukup baik pada triwulan I tahun ini,” kata Sri Mulyani.
Pemerintah juga tetap berhati-hati mengelola utang, seperti mengoptimalkan sumber pembiayaan dalam negeri dibandingkan utang luar negeri. Komposisi utang per April 2023 didominasi utang domestik (72,88 persen).
Sementara, berdasarkan instrumen, komposisi utang pemerintah mayoritas berupa SBN yang mencapai 89,26 persen. Hanya 10,74 persen saja yang berasal dari pinjaman.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu Suminto menambahkan, penerbitan SBN di awal tahun dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan APBN.
Strategi frontloading ini kerap dilakukan karena penerimaan di awal tahun biasanya belum cukup memadai untuk membiayai kebutuhan belanja pemerintah.
”Penerbitan SBN di semester II kelak akan disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan pembiayaan, posisi kas negara, dan kondisi pasar keuangan,” kata Suminto.
Baca berita Wartakotalive.com lainnya di Google News
Waspada Rekrutmen Palsu yang Mengatasnamakan KAI, Simak Selengkapnya |
![]() |
---|
FGD Kemenhub Bersama Komunitas Ojol Kisruh, Ini Duduk Perkaranya |
![]() |
---|
Cerita Dwayne 'The Rock' Johnson Melawan Hulk Hogan-Pahlawan Masa Kecilnya |
![]() |
---|
Panglima Dayak Tolak Transmigrasi, Suryo Prabowo: Saatnya Pemerintah Mengevaluasi |
![]() |
---|
Thailand dan Kamboja Berperang, Apakah Harga Singkong di Indonesia Bisa Normal? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.