Berita Nasional

Terima Tantangan Arteria Dahlan, Mahfud MD Hadiri Rapat dengan Komisi III DPR, Ini Hasilnya

Terima Tantangan Arteria Dahlan, Mahfud MD Hadiri Rapat dengan Komisi III DPR, Ini Hasilnya

Penulis: Dwi Rizki | Editor: Dwi Rizki
Akun YouTube Kompas TV
Menkopolhukam Mahfud MD dalam rapat bersama Komisi III DPR di Komplek Parlemen Senayan, Tanah Abang, Jakarta Pusat pada Rabu (29/3/2023). dalam kesempatan tersebut, Mahfud MD memaparkan transaksi janggal senilai Rp349 triliun di Kemenkeu. 

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD akhirnya menghadiri panggilan rapat dari Komisi III DPR RI.

Mahfud MD didampingi oleh Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang juga Sekretaris Komite TPPU, Ivan Yustiavandana.

Dalam rapat yang digelar di Kompleks Parlemen Senayan, Tanah Abang, Jakarta Pusat pada Rabu (29/3/2023) sore itu, Mahfud memberikan klarifikasi tentang dugaan adanya transaksi mencurigakan sebesar Rp 349 triliun di Kementerian Keuangan.

Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) itu menyebut dana tersebut merupakan data agregat selama 14 tahun terakhir.

Data itu dipaparkannya bersumber dari 300 Laporan Hasil Analisis yang dibuat dan dilaporkan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan.

Dalam kesempatan tersebut, Mahfud MD pun menegaskan, transaksi mencurigakan yang melibatkan pegawai Kementerian Keuangan mencapai Rp 35 triliun.

Jumlah tersebut menganulir pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang menyebutkan transaksi janggal hanya sebesar Rp 3,3 triliun. 

Hujan Interupsi

Nuansa rapat sempat menghangat saat sejumlah anggota Komisi III meminta interupsi pada awal penjelasan Mahfud.

Mahfud pun meminta kepada seluruh anggota Komisi III untuk memperlakukan pemerintah dalam posisi setara.

“Mari kita bersikap sejajar, saling berargumen, tidak boleh ada satu menuding yang lain seperti polisi memeriksa copet. Mari kita setara aja, saling buka. Nanti kami tunjukkan datanya,” kata Mahfud dikutip dari Kompas.

Selain itu, Mahfud menegaskan soal kedudukan hukum yang membuat dirinya berhak menerima laporan dari PPATK.

Hal ini sempat disoroti sejumlah anggota Komisi III karena berpotensi melanggar hukum.

Selain sebagai Menko Polhukam yang memang kerap bekerja dengan basis data intelijen, ia juga menegaskan posisinya sebagai ketua komite TPPU.

Tidak ada satu pun pasal dalam peraturan perundang-undangan yang melarang ia menerima laporan tersebut.

Mahfud menjelaskan, data transaksi mencurigakan di sebesar Rp 349 triliun di Kemenkeu merupakan data agregat sepanjang periode 2009-2023.

Data agregat dimaksud didapatkan dari 300 Laporan Hasil Analisis (LHA) PPATK yang telah diberikan baik ke Kemenkeu, kementerian/lembaga lain yang terkait, serta penegak hukum.

Transaksi Janggal

Transaksi mencurigakan dimaksud terbagi dalam tiga kelompok.

Pertama, transaksi keuangan mencurigakan pegawai Kemenkeu yang jumlahnya mencapai Rp 35,5 triliun.

Ada pula transaksi keuangan mencurigakan yang diduga melibatkan pegawai Kemenkeu dan pihak lain yang mencapai Rp 53,8 triliun.

Selain itu, transaksi keuangan mencurigakan sebesar Rp 260,5 triliun diduga terkait dengan kewenangan Kemenkeu sebagai penyidik tindak pidana asal (TPA) dan TPPU yang belum diperoleh data keterlibatan pegawai Kemenkeu.

Dari ketiga jenis itu, jumlah transaksi mencurigakan mencapai Rp 349,8 triliun.

Ia menambahkan, transaksi mencurigakan itu bukan perbuatan oknum yang berdiri sendiri.

Transaksi melibatkan 1.074 entitas, yang terdiri dari 491 aparatur sipil negara (ASN) Kemenkeu, 13 ASN kementerian/lembaga lain, dan 570 pihak non-ASN.

“Jadi, jangan (hanya) bicara Rafael Alun Trisambodo, di laporan ini ada jaringannya,” kata Mahfud.

Data berbeda

Mahfud mengakui, data yang dia miliki berbeda dengan yang dipaparkan oleh Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Senin (27/3/2023).

Saat itu, Sri Mulyani menjelaskan, dari 300 surat dengan total transaksi mencurigakan sebesar Rp 349 triliun, bagian yang benar-benar terkait dengan pegawai Kemenkeu adalah sebesar Rp 3,3 triliun.

Sementara bagian lainnya menyangkut transaksi korporasi yang tidak ada hubungannya dengan pegawai Kemenkeu (Kompas, 28/3/2023).

Menurut Mahfud, data yang disampaikan Sri Mulyani jauh dari fakta yang sebenarnya. Ia diduga tidak mendapatkan laporan secara utuh dari jajarannya.

Jajaran Kemenkeu terindikasi hanya menyerahkan sebagian LHA dan melaporkan transaksi mencurigakan lainnya sebagai laporan pajak.

“Ada kekeliruan pemahaman dan penjelasan Ibu Sri Mulyani karena ditutupnya akses dari bawah,” ujar dia.

Ivan Yustiavandana menambahkan, dalam LHA, khususnya kluster transaksi mencurigakan yang melibatkan pegawai Kemenkeu, PPATK tidak hanya menyertakan nama sejumlah ASN yang diduga melakukan transaksi mencurigakan.

PPATK juga menyertakan daftar sejumlah nama perusahaan yang terkait. Pihaknya menemukan, ada ASN yang terkait dengan lebih dari satu perusahaan.

“Kami menemukan bahwa perusahaan-perusahaan itu adalah perusahaan cangkang yang dimiliki oleh oknum, sehingga ini tidak bisa dikeluarkan, dipisahkan (dari laporan). Misalnya, oknum menggunakan nama istri, anak, sopir, tukang kebun di akta perusahaannya,” kata dia.

Menurut Ivan, soal perusahaan terkait ini juga yang menyebabkan ada perbedaan antara data yang dipaparkan PPATK dan Kemenkeu.

Jika data terkait sejumlah perusahaan itu ditiadakan, maka jumlah transaksi mencurigakan yang terkait dengan TPPU juga bakal berkurang.

Padahal, TPPU identik dengan modus yang selalu menggunakan pihak lain untuk menyamarkan tindakan pelaku.

“Sehingga kalau kami keluarkan data (perusahaan) itu, kami justru membohongi penyidiknya, kami masukkan nama-nama perusahaan berikut oknumnya, di situ lah ketemu angka Rp 35 triliun (jumlah transaksi mencurigakan yang melibatkan pegawai Kemenkeu). Kalau dikeluarkan memang Rp 22 triliun, kalau dikeluarkan lagi memang cuma Rp 3,3 triliun,” kata Ivan.

Mahfud MD dan Sri Mulyani Bisa Dipidana

Anggota Komisi III DPR RI Arteria Dahlan ketika mencecar Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana dalam Rapat Kerja (Raker) antara PPATK dengan Komisi III DPR RI di Komplek Parlemen Senayan, Tanah Abang, Jakarta Pusat pada Selasa (21/3/2023). 

Dalam kesempatan tersebut, Arteria menanyakan soal sosok yang membocorkan laporan hasil analisis (LHA) PPATK ke DPR, terutama mengenai transaksi Rp349 triliun.

"Bagiannya yang ngebocorin bukan Pak Ivan Yustiavandana kan? Yang memberitakan macem-macem bukan dari mulutnya Pak Ivan kan?," tanya Arteria Dahlan kepada Ivan. 

"Bukan-bukan," balas Ivan cepat. 

Mendengar jawaban Ivan, Arteria kemudian membacakan Pasal 11 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Baca juga: Ungkap Pemicu Penyakit Kakaknya, Adik Ustaz Dasad Latif Minta Doa: Kondisinya Menurun Sejak Umroh

Baca juga: Akui Tidak Bisa Lagi Berdakwah, Status Ustaz Dasad Latif Dibanjiri Doa: Syafakallah Ustadz

"Saya bacakan Pasal 11 pak, 'pejabat atau pegawai PPATK, penyidik atau penuntut umum, hakim dan setiap orang', setiap orang itu termasuk juga menteri, termasuk juga Menko pak!," tegas Arteria. 

"'Yang memperoleh dokumen atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya menurut Undang-undang ini wajib merahasiakan dokumen atau keterangan tersebut'," lanjutnya.

Merujuk Pasal 11 UU Nomor 8 Tahun 2010, setiap orang yang membocorkan dokumen atau keterangan terkait TPPU ditegaskannya dapat dipidana empat tahun penjara. 

"Sanksinya pak! Sanksinya, setiap orang itu dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Ini Undang-undangnya sama pak, ini serius," tegasnya. 

Pernyataannya tersebut merujuk pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD soal temuan transaksi mencurigakan Rp300 triliun di Kemenkeu periode 2009-2023 merupakan indikasi dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) pada Jumat (10/3/2023). 

Baca juga: Malangnya Sabil, Dulu Diblokir Waktu Pilkada Jabar-Sekarang di-Pin Emil Pas Bilang Maneh di IG

Baca juga: Beda dengan Emil, Sabil Boleh Panggil Dedi Mulyadi Maneh: Sunda Asli Itu Tidak Terkenal Undak Usuk

Selain itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani pun telah memaparkan 300 surat dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada Senin (20/3/2023).

Surat tersebut terkait nilai transaksi mencurigakan sebesar Rp349 triliun yang dikirimkan kepada pihaknya pada 13 Maret 2023.

Berikut isi lengkap Pasal 11 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU :

Ayat (1)

Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan Setiap Orang yang memperoleh Dokumen atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya menurut Undang-Undang ini wajib merahasiakan Dokumen atau keterangan tersebut, kecuali untuk memenuhi kewajiban menurut Undang-Undang ini.

Ayat (2)

Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.

Ayat (3)

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, dan hakim jika dilakukan dalam rangka memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Baca Berita Wartakotalive.com lainnya di Google News

Sumber: KOMPAS
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved