Berita Video

Dandim Jakarta Utara Kolonel Frega Wenas, Tentara Bergelar PhD London Inggris

Dalam dinasnya, Frega sempat bertugas di Yonif Linud 305/Tengkorak, Yonif Linud 328/Dirgahayu hingga Denma Brigif Linud 17 Kostrad.

Penulis: M. Rifqi Ibnumasy | Editor: Ahmad Sabran

WARTAKOTALIVE.COM, TANJUNG PRIOK - Kolonel Inf. Frega Ferdinand Wenas Inkiriwang resmi menjabat sebagai Komandan Kodim 0502 Jakarta Utara sejak 2022 lalu.

Seorang Perwira menengah TNI Angkatan Darat ini selain mengantongi berbagai prestasi dalam dunia militer, ia juga terkenal sebagai prajurit akademis.

Tak tanggung-tanggung, Frega berhasil menyabet gelar PhD di universitas ternama Inggris yakni London School of Economic and Political Science (LSE) pada 2021 lalu.

Tak tanggung-tanggung, Frega juga mengajak sang istri Ollen Ester untuk meraih gelar masternya di Britania Raya itu.

Dalam karier militernya, Frega pernah berdinas di jajaran Brigade Brigif Linud 17 Kostrad yang merupakan satuan elite TNI AD.

Dalam dinasnya, Frega sempat bertugas di Yonif Linud 305/Tengkorak, Yonif Linud 328/Dirgahayu hingga Denma Brigif Linud 17 Kostrad.

Selain itu, bapak satu anak itu kini juga aktif sebagai seorang dosen di Universitas Pertahanan (Unhan) RI, Bogor, Jawa Barat.

Pada Kamis (23/2/2023), Jurnalis Warta Kota (Tribun Network) M. Rifqi Ibnumasy berhasil melakukan wawancara eksklusif dengan Frega di Makodim 0502 Jakarta Utara, Jalan Yos Sudarso, Tanjung Priok.

Pada kesempatan itu, Frega menceritakan perjuangannya sebagai seorang prajurit TNI hingga menempati jabatan sebagai Dandim 0502 Jakarta Utara.

Tak hanya itu, ia juga membagi cerita kehidupannya di London bersama keluarga untuk meraih gelar akademis bergengsi PhD.

Berikut hasil wawancara yang telah dirangkum bersama Frega:

Mungkin bisa diceritakan profile bapak, asal darimana dan menyelesaikan pendidikan di tentara itu seperti apa?

Memang kalau asal saya bingung juga, karena saya lahir di Surabaya, kebetulan alm ayah saya angkatan laut, tapi saya sendiri orang sulawesi utara.

Tapi sulawesi utara, bapak yang besar disana, Ibu besar di Makassar. Jadi budaya Jawa, Makassar dan Manado campur.

Kalau lihat kelahiran, orang Surabaya. Tapi kalau lihat dari suku orang Minahasa. Makanya sebagai anak tentara, kita pindah-pindah. Di surabaya, Makassar, terakhir sebelum alm bapak saya pensiun, dinas di jakarta.

Kalau pendidikan, saya masuk tahun 1995 jadi militer kemudian saya lulus tahun 1998. Memang ga mudah pendidikan itu, walaupun ayah saya angkatan laut tapi beliau tidak mendoktrin "kamu harus jadi tentara" itu gak ada. Justru itu muncul karena keinginan saya sendiri pas kelas 3 (SMA).

Berarti memang jadi tentara, meskipun orang tua latar belakangnya tentara tapi atas keinginan sendiri ya Mas?

Iya betul, ya memang sebagai anak tertua waktu itu ada beban juga ya, karena saya dengan adik-adik bedanya 1 tahun-1 tahun, cuma yang paling kecil aja bedanya 15 tahun.

Terus terang alm ayah saya angkatan laut pada saat itu dengan gaji TNI tidak terlalu banyak, dengan anak yang banyak, sebagai anak tertua akhirnya ngalah, berfikirlah cari kuliah UNPTN atau sekolah gratis sekolah kedinasan.

Jujur karena tidak pernah diedukasi tentang akademi TNI, AKABRI, waktu itu gak kepikiran. Tapi waktu kelas 3, pas ada promosi kebetulan kakak kelas yang sudah lulus kemudian gabung ke akademi militer dateng promosi "ini gratis, dapat uang saku" kemudian dengan seragamnya "kok gagah juga ya" akhirnya saya coba ikut tes sampai dengan akhirnya lulus masuk di Magelang.

Walaupun di magelang sempat agak bimbang, ini kok UNPTN lulus ya? Apa beneran mau jadi tentara apa ga? Tapi setelah tanya-tanya, kalau kita mundur pas tahap itu, kita harus ganti biaya seleksi dari daerah dengan pusat.

Dan saya pun salah satu motifnya untuk membantu orang tua, sehingga yaudah saya bilang "mungkin Tuhan punya rencana ini yang terbaik buat saya jadi anggota TNI" begitu Mas Rifqi.

Selanjutnya, setelah jadi anggota TNI juga yang beredar di media, Bapak bahkan terus melanjutkan pendidikan ke gelar PhD, terutama di Inggris. Bagaimana perjuangan seorang prajurit bisa meraih gelar PhD, itu kan ga semua prajurit bisa. Kalau bapak sendiri, apa langkah-langkah yang bapak lakukan?

Memang kalau lihat dengan gelarnya "wah PhD" tapi prosesnya berdarah-darah. Ya jujur memang saya dengan pendidikan itu sendiri, pada saat saya lulus angkatan saya ada 36 orang program kasat, kebetulan kami masuk di peringkat atas, lulusan terbaik di AKMIL untuk menjadi instruktur.

Kebetulan saya 2 tahun disitu. Sehingga berkecimpung di lembaga pendidikan, itu membentuk saya dengan karakter saya sebagai tenaga pendidik. Jadi walaupun jadi militer, kita juga harus mengajar.

Mengajar taktik, mengajar masalah militer dasar sampai saya jadi dosen bahasa inggris. Jadi memang unik. Kemudian sebelum saya PhD, pada saat itu saya tugas di Poso, saya dapat kesempatan untuk seleksi S2 di Australi. Itu menjadi pondasi awal saya.

Kemudian pada saat saya SESKO di amerika, ada program namanya Master of Military Art and Science. Wah ini kok udah dari 1987 sampai 2012, waktu itu berarti udah 25 tahun, gak pernah lagi ada yang ambil.

Yang pertama ambil itu Bapak Letjen Purn Agus Wijoyo, yang sekarang bertugas di Filipina. Saya orangnya empiris, selalu ingin tau, ini kenapa sih kok ga pernah ada yang ambil, apa susah apa gimana? Bersyukur waktu itu saya mengambil keputusan itu, akhirnya masuk diterima walaupun memang prosesnya juga berat.

Tapi itu yang memberikan fondasi saya untuk kemarin pada saat saya PhD ada gambaran. Karena ternyata programnya di rancang strukturnya sama seperti program doktoral.

Dengan ijazah itu, akhirnya saya mendaftar. Kebetulan saya juga terdaftar sebagai dosen, pada tahun 2015 ada proses akreditasi sehingga dosen-dosen di encourage untuk dimotivasi untuk upgrade punya S3.

Memang ga mudah juga, untuk proses S3 di luar apalagi biaya hidup, Mas Rifqi tau, inggris london harga naik. Tahun 2016, setelah istri saya melahirkan, itu saya beli kue kecil seharga 25 pens.

Tahun berikutnya ketika kita kesana kontrol itu sudah 1 pound, which is sudah 4x lipat. Belum yang lain. Memang pergumulan yang paling susah itu adalah budaya, saya belum pernah ke inggris jadi harus adaptasi.

Kemudian saya langsung bawa keluarga, saya bawa istri bawa anak, biayanya otomatis bengkak. Kemudian yang ketiga bahasa, walaupun saya bahasanya diatas rata-rata tapi bahasa saya bahasa akademik.

Apalagi dari 2013-2016, ada gap lumayan 3-4 tahun ga sekolah. Waktu awal jujur saya minder, ada yang dari lulusan oxford, indiana university, LSI (kampus saya), kanada, israel, australia, amerika, mereka masih muda-muda dan cerdas-cerdas juga. Tapi bersyukur karena kita tentara, pokoknya time frame nya harus pas, terus paksa walaupun kurang tidurnya.

Tapi alhamdulillah saya bersama 3 orang teman saya bisa selesai on time, 4 tahun. banyak juga yang selesai setelah 5 tahun, bahkan ada juga yang gak selesai 3 orang teman saya.

Padahal kalau diliat mereka orang native bahasa inggrisnya, mereka lulusan inggris juga. Tapi karena mengerjakan PhD itu sebenarnya kita berkompetisi dengan diri sendiri, mengatur waktu, loadnya, dan sesuai dengan timeline.

Lalu, menurut pandangan Bapak sebagai seorang prajurit yang terdidik (terdidik dalam bidang akademik) seberapa penting itu pak?

kalau menurut saya penting ya Mas, karena tentara itu ada 3, tri pola dasar. Di setiap lembaga pendidikan itu ada 3, yang pertama kepribadian itu lebih fokus kepada karakter, yang kedua itu jasmani kemampuan fisik, yang ketiga ini akademik.

Sehingga akademik itu punya satu porsi yang penting diantara ketiganya. Apalagi yang kita lihat tren pertempuran perang saat ini sudah pakai teknologi tinggi kemudian ancamannya multidimensional beragam kompleks.

Mau tidak mau kita ga bisa hanya mengandalkan dengkul, tenaga, otot, fisik, tapi kita juga harus menggunakan kapasitas intelektual.

Itu makanya saya juga mencoba mentoring beberapa junior atau mantan-mantan anggota saya, termasuk juga dari kepolisian kemarin ada yang datang konsul ke saya "bang saya mau program PhD" "oke nanti datang aja ke rumah, saya sharing" karna kemarin pada saat saya berangkat itu jujur saya otodidak.

Karna jarang kan, bisa dihitung pake jari lah, yang PhD di luar. Puji Tuhan, sekarang kita bisa transfer lah. Kemarin juga saya abis nulis buku, harapannya bukan untuk saya, tapi untuk adik2 siapapun yang dari militer, sipil, yang mau berangkat, mereka ada point of reference, start awalnya gimana sih, khususnya yang bawa keluarga.

Pengalaman saya sebelumnya, waktu saya sekolah masih lajang, itu tidur sehari mungkin cuma 2-3 jam gak masalah. Tapi begitu berkeluarga fokusnya berbeda, saya harus bagi untuk studi, untuk anak istri dan untuk istirahat saya sendiri.

Dari buku autobiografi yang bapak buat, bahkan bapak mendorong istri untuk meraih gelar master disana. Itu ada kesulitan kah atau ada cerita menarik kah, studi keluar tapi mendorong istri untuk studi juga, pak?

Saya melihat perjuangan istri saya yang pantang menyerah, saya dari jam 8 pagi dan jam 10 malam baru pulang, dia baru melahirkan, anak nangis minta susu, dia juga lapar, jadi sambil menyusui goreng masak untuk diri dia sendiri, lalu bersihkan rumah. Itu sebagai bentuk pengorbanan apalagi kita ga punya keluarga disana.

Temanpun kalau ada, lebih individualis karena memang biaya hidup sehingga orang berpikir untuk hidup dirinya sendiri.

Akhirnya saya mencoba untuk memberikan ruang, apalagi sebagai ibu persit itu kalau berangkat sendiri untuk kuliah diluar izinnya susah. Sehingga saya memanfaatkan momentum.

Waktu itu kita ga punya biaya tapi kita cari beasiswa. kita ga sekali tes lulus, tapi berkali-kali. Sudah tahap interview akhirnya ga dapet. Tapi ga menyerah.

Tes juga lumayan bayarnya 125 pound, tapi ini untuk investasi. Karena didikan ayah saya investasi kepada anak itu paling penting pendidikan (ilmu). Pendidikan sampai sebelum meninggal bisa dipakai terus dan bisa diturunkan.

Sehingga akhirnya dapat sponsor-scholarship, selebihnya berusaha. Saya juga sempat kerja entrepreneur, asisten dosen, asisten riset untuk nambah-nambah. Karena kalau dengan beasiswa yang diberikan sponsor waktu itu, bawa istri bawa anak itu luar biasa challenging.

Selanjutnya kita berbincang mengenai jakarta utara menjadi satu-satunya wilayah di DKI Jakarta yang punya pantai. Dengan keunikan itu apa yang membuat beda saat Bapak tugas di jakarta utara itu sendiri pak?

Kodim saya ini bukan hanya jakarta utara saja, ada juga kabupaten kepulauan seribu. Itu menjadi tantangan tersendiri, ditambah satu lagi otoritas pelabuhan tanjung priok.

Jadi kalau kita lihat, mitra saya itu di wilayah, kalau kita lihat rekan rekan kepolisian itu ada 3 kapolres. Sehingga ini menjadi keunikan sendiri, karena ga semua kodim itu ga semua punya mitra beberapa.

Kalau misalnya di jakbar, Jakpus, hanya dengan kapolres dengan walikotanya saja. Kalau saya harus dengan bupati, walikota, kapolresnya pun tiga. Itu jadi keunikan sendiri.

Tapi dari wilayahnya sendiri, garis pantai. Itu tentu saja karena menjadi bibirnya masuk ke jakarta, banyak mayoritas pendatang. Sehingga diversitas masyarakatnya sangat tinggi, kita taulah masyarakat pendatang mereka keras hidupnya.

Sehingga kita harus pinter pinter menyesuaikan. Mungkin ada mayoritas makassar, madura, atau lokal jawa betawi. Bersyukur, sinergitas dengan walikota, bupati, tokoh masyarakat, tokoh agama, alhamdulillah kita masih sering duduk bareng.

Mungkin mas rifqi tau komitmen beberapa tahun lalu, jakarta rumah kita sendiri jadi harus kita jaga. Kalau ada yang ribut kita harus selesaikan dengan baik. Jakarta utara ini kan sebagai sentra ekonomi karna ada pelabuhan.

Perekonomian lebih banyak masuk lewat laut, shifting, karna volumenya lebih besar sehingga stabilitasnya harus dijaga. Kemudian bencana alam, rob, banjir di jakarta utara juga. Selama disini saya dengan pak walikota sering patroli melihat teman2 di pintu air, di waduk, bagaimana pengelola air sampai ada counterflow.

Alhamdulillah ga ada yang signifikan lah. Malah yang sering banjir itu jakarta selatan dan bekasi. Itu wujud kolaborasi dan sinergisitas semua unsur2 di wilayah. Kalau kita kedepankan 3 pilar, tapi kita berinteraksi dengan pengadilan, rekan TNI dari angkatan laut dan angkatan darat. Jadi kalau kita kerjanya keroyokan dan komitmen, pasti bisa.

Sempat viral terkait bapak push up. Sebagai seorang pemimpin, Aksi bapak push up di depan anggota itu sebagai bentuk apa pak?

Jujur itu saya spontanitas. Memang saya dari Letnan 2, saya gak tau apakah karena saya 2 tahun dinas pertama saya jadi instruktur, sehingga mindset saya selalu formatif, jadi saya meluruskan.

Tapi di satu sisi saya juga mengaplikasikan prinsip2 kepemimpinan. Jadi kita memberikan contoh, kita minta dia jangan begini. Kalau mereka salah dihukum, kita juga kalau salah dihukum. Hal kecil misalnya, prajurit hormat ya kita balas.

Mungkin ada yang sudah senior, ga beri penghormatan. Itu bisa ditanya mantan-mantan prajurit saya, walaupun pangkat saya sudah perwira, saya tetap membalas.

Sehingga mereka juga ada apresiasi. Karena tentara itu tidak bisa hanya pimpinan saja, bawahan saja, apalagi angkatan darat, kita ibaratnya tim, ada yang jadi kepala, kaki, badan dll. Terkait dengan itu, kemarin memang sempat terlambat, anomali lah.

Saya sudah nunggu 30 menit ga gerak-gerak, biasanya saya ga pernah terlambat, tp saya lagi apes. Kita kan mau meresmikan renovasi kodim, jadi 1 rangkaian itu.

Sebelum ke rangkaian selanjutnya, saya sempat mengoreksi juga sempet ada beberapa petugas upacara yang salah, karena ada anggota saya juga salah gerakannya ga bener, kedua poinnya saya sampaikan tentang kesejahteraan, dan yang ketiga saya minta maaf sama anggota saya karena saya telat 15 menit.

Jadi saya menghukum diri saya sendiri push up 25 kali. Untuk memotivasi juga dan konsekuensi kita pimpinan bukan hanya ucapan saja tapi kita jalankan karena kita dididik dan untuk prinsip kepemimpinan fisik.

Selanjutnya yang terakhir tentang prajurit terutama kodim jakarta utara sendiri, terutama tentang kesejahteraan masyarakat, yang saat ini jakarta diisukan dengan stunting. Kalau dari pihak anggota bapak apa yang telah dilakukan sampai saat ini?

Terus terang angkatan darat ini bapak kasat sebagai bapak asuh stunting, kemudian rapim yang dipimpin bapak presiden jokowi, itu menegaskan dan menekankan untuk membantu berkontribusi penanganan stunting, panglima TNI juga yang baru sampai dengan level kepala staff, sehingga dari tahun lalu kita sudah berkontribusi.

Hanya memang selama ini kan ceremonial, dalam arti 1 hari selesai. Minggu lalu bertepatan dengan hari valentine itu saya berkolaborasi dengan beberapa stakeholder termasuk ada yayasan yang membantu menyumbang telur dan susu, kita komitmen mau ngukur, jakarta utara kan kemarin dari pak walikota ada sekitar 1.822, tapi 1.822 itu agak sulit untuk mengukurnya.

Karena harapannya, setiap hari selama 3 bulan kita distribusi sambil observasi, anaknya minum susu sampai habis, makan telur sampai habis. Karna saat ini diberikan untuk seminggu tapi tidak dikonsumsi sendiri, dikonsumsi kakaknya, orang tua, sehingga tidak tepat sasaran.

Akhirnya kurva peningkatan perbaikannya tidak terlihat. Rencananya setiap 2 minggu kita mau ukur ke posyandu, sehingga terlihat progresnya.

Ada yang naik berat badan atau tinggi, sehingga program yang dilakukan kodim, babinsa sebagai ujung tombak itu tidak bekerja sendiri, ada pendamping dari dinas kesehatan kotamadya Jakut, dinas perlindungan anak dan pengendalian penduduk, sehingga rame-rame.

Saya mau jadikan ini sebagai valley projek. 1.822 terlalu banyak. Jadi mau lebih baik fokus pada 1 wilayah tiap koramil, kita fokus kita optimalkan. Kita observasi.

Kita punya 5 koramil dengan 5 kelurahan. Di koja, Koramil 01 di rawa barat utara, di penjaringan di kelurahan Pluit, Tanjung Priok di kelurahan Sungai Bambu, Cilincing di Sukapura, Koramil 06 di Pegangsaan 2. Jumlahnya beragam ada yang 28, 70, di Sungai Bambu 52.

Buat saya ga jadi masalah, kalau ini efektif ini bisa diadopsi ke tempat lain, kelurahan lain. Kemarin ada beberapa masukan dan kita terbuka. Karena ini bukan tugas 1 atau 2 institusi saja, bapak presiden menekankan untuk keroyok rame-rame. Karena masa depan indonesia ada pada anak2 kita.

Terakhir, pesan singkat sebagai seorang prajurit baik untuk anggota dan masyarakat indonesia?

Pesan saya sebagai komandan kodim, sebagai militer, sebagai akademisi, bukan hanya untuk anggota saya saja tapi juga untuk orang sipil.

Berdasarkan pengalaman saya kita tidak boleh pernah berhenti bermimpi besar. "Mimpi setinggi-tingginya" seperti pesan bung karno.

Tapi bukan hanya bermimpi saja, kita harus punya komitmen, niatkan, usahakan dengan kerja keras upaya yang kita lakukan, yang terakhir kita doakan.

Mudah-mudahan dengan restu Tuhan apa yang sudah kita lakukan bisa berbuah dan mimpi kita terwujud. Apalagi Indonesia kan banyak sumberdaya, manusianya punya banyak potensi.

Jadi kita sering minder. Mimpi saya adalah saya bisa berkiprah di dunia internasional untuk mengharumkan nama Indonesia suatu hari nanti. (m38)

Sumber: Warta Kota
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved