Berita Video

Kisah Iyus Penyandang Kelainan Darah - Berdamai dengan Hemofilia Sejak Lahir

Dengan mata berkaca-kaca, Iyus mengingat pesan sang ibunda bahwa dirinya harus terbuka kepada siapa pun mengenai hemofilia.

Penulis: Yolanda Putri Dewanti | Editor: Ahmad Sabran

WARTAKOTALIVE.COM SENEN -- Tak pernah terbayangkan olehnya bisa hidup sampai selama ini. Padahal, dulu ia divonis hanya bisa hidup beberapa tahun saja.

Namun, kini di usianya yang menginjak 47 tahun, ia masih berjuang terus melawan hemofilia bersama ribuan orang lainnya di Indonesia.

Ia bernama Yusnindar Patah. Sejak usia 13 bulan, ia mengidap hemofilia.

Hemofilia adalah gangguan ketika darah tidak membeku secara normal.

Jika darah tidak dapat membeku
dengan baik, perdarahan berlebih (eksternal dan internal) terjadi setelah cedera atau kerusakan.

Hemofilia merupakan penyakit yang diturunkan oleh sang ibu. Penyakit ini juga lebih umum terjadi pada anak laki-laki.

Pria kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat itu membagikan kisah perjuangannya sejak kecil melawan hemofilia.

"Waktu kecil di bagian wajah saya terdapat benjolan, lalu diputuskan untuk operasi. Sempat dokter menyatakan untuk diikhlaskan. Tetapi ketika itu, di PMI Bandung dikatakan bahwa saya sepertinya terkena hemofilia. Akhirnya dibantu untuk proses pengobatan," ucap pria yang karib disapa Iyus dalam program "Cerita Hati" saat ditemui Warta Kota di PMI DKI Jakarta, Senen, Jakarta Pusat, Selasa (3/1/2022).

Jika mengalami pendarahan, Iyus harus dilarikan ke rumah sakit untuk melakukan transfusi darah dan rawat inap.

Adapun dari dua belas saudara kandungnya, empat kakak laki-lakinya meninggal dunia dengan gejala yang sama dialami Iyus.

Sehingga, membuat keluarganya harus lebih berhati-hati untuk menjaga keselamatan Iyus.

Pendidikan

Di saat anak lain mendapatkan seragam di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Galunggung Tasikmalaya, Iyus terpaksa harus memakai seragam yang berbeda.

Sebab, ia harus diujicobakan sekolah terlebih dahulu agar diketahui apakah ia bisa melakukan aktivitas seperti teman sebayanya.

Meski orangtuanya, Patah Halim (86) dan Hindana (84) sempat merasa khawatir perihal keselamatan anaknya itu.

Namun, agar Iyus bisa bertumbuh seperti anak-anak lainnya mereka mencoba memberanikan sang buah hati untuk bersekolah.

"Awalnya ibu bilang kalau seragam saya masih dijahit, sempat bingung mengapa hanya saya saja yang berbeda. Tetapi ibu selalu memberikan pengertian, pada akhirnya saya bisa mengikuti (pembelajaran). Nilai rapot bayangan saya saat itu bagus dan akhirnya saya resmi jadi anak SD," ucap dia.

Dengan mata berkaca-kaca, Iyus mengingat pesan sang ibunda bahwa dirinya harus terbuka kepada siapa pun mengenai hemofilia. Tak perlu minder atau merasa malu.

Baca juga: VIDEO Ibu dan Anak Terluka Akibat Tertimpa Runtuhan Bangunan Rumah di Tambora

"Ibu bilang jangan pernah menyembunyikan tentang hemofilia. Sebab, ibu tidak akan selamanya menjaga saya. Ketika saya terbuka, orang-orang di sekitar saya juga bisa siap membantu atau pun menolong," ucapnya dengan nada lirih.

Berkat keterbukaan itu lah, dirinya bisa diterima baik oleh orang-orang di sekitarnya tanpa membedakan satu sama lain.

"Sejak di SD, saat kenaikan kelas saya diminta ibu untuk memberikan surat keterangan bahwa saya penyandang kelainan pendarahan hemofilia kepada guru wali kelas atau guru olahraga. Karena keterbukaan itu saya dirangkul dan dijaga," ungkapnya.

Meski demikian, ada sesak di dada yang tak bisa ia ungkapkan. Di mana saat teman seusianya di lingkungan rumah atau di sekolahnya bisa berolahraga dan bermain bebas.

Sedangkan, ia hanya bisa berdiam dan termenung di dalam rumah atau pun ruangan.

"Sedih pastinya tidak bisa sebebas anak-anak seusia saya, ibu memberi pengertian seperti ini kalau saya main sepak bola nanti kan bisa bengkak (kaki atau tangan) ibaratnya ada pendarahan internal. Terus jika sampai bengkak yang merasakan sakit siapa?," jelas dia.

Berkat hemofilia, Iyus perlahan bisa menilai seseorang yang memang tulus ingin berteman dengannya. Salah satunya, Lalan.

Sahabat yang setia menemani di kala Iyus membutuhkan pertolongan.

"Saya sekolah dijemput pakai becak, untuk sampai ke becak saya pernah sampai digendong dengan sahabat saya ini," ucapnya.

Kepercayaan Diri

Saat menginjak di Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 1 Tasikmalaya, merupakan hal tersulit yang harus dihadapi pria kelahiran 1976 itu.

Dirinya harus bersosialisasi kembali dengan orang-orang baru.

"Bentuk kaki saya kan berbeda dengan yang lain makanya saya merasa takut sekali tidak diterima di lingkungan SMP. Sampai kalau misalkan ingin masuk kelas itu saya menunggu yang lain terlebih dahulu untuk masuk," jelasnya.

Perlahan, Iyus mulai diterima lingkungan sekitar. Bahkan, saat akan kelulusan, ia mulai ditaksir lawan jenis.

"Mulai tidak minder pas cinta monyet kelas 3 SMP, ditambah lagi dia mengetahui saya penyandang hemofilia dan mau menerimanya. Kalau pas SMA dan kuliah berjalan semestinya," ucap dia.

Pada tahun 2002, dirinya mengalami pendarahan hebat dan harus dilarikan ke Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo Jakarta.

"Saya sampai harus pakai kursi roda selama satu bulan. Dan saat itu juga saya dinyatakan Hemofilia B," tambah Iyus.

Hemofilia B terjadi karena tubuh kekurangan faktor pembekuan darah IX (sembilan).

"Seiring perkembangan teknologi, untuk memenuhi kebutuhan faktor 9 nya, saya akhirnya diajarkan suntik mandiri ketika awal-awal terasa kambuh (early bleeding). Tetapi tetap saya harus ke IGD atau kontrol sesuai kondisi perdarahan," ucapnya. (m27- bersambung).

Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved