Polisi Tembak Polisi

Romo Magnis: Bharada E Jadi Justice Collaborator Karena Suara Hati Ingin Ungkap Kebenaran

Pakar Filsafat Moral Romo Magnis Suseno menilai bahwa Bharada E memutuskan menjadi justice collaborator karena suara hati ingin ungkap kebenaran

Akun YouTube Kompas TV
Pakar Filsafat Moral Prof Romo Franz Magnis Suseno bersaksi menjadi ahli yang meringankan Bharada E dalam sidang kasus pembunuhan Brigadir J di PN Jaksel, Senin (26/12/2022). 

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA -- Pakar Filsafat Moral Prof Dr Romo Franz Magnis Suseno SJ menilai bahwa Bharada Richard Eliezer atau Bharada E memutuskan menjadi justice collaborator dalam kasus pembunuhan Brigadir J atau Brigadir Yosua Hutabarat adalah karena suara hati dan nalurinya sebagai manusia yang menyadari kekeliruannya dan ingin mengungkap kebenaran.

Suara hati Bharada E itu kata Franz Magnis. muncul karena sadar kasus yang melibatkan dirinya sudah sangat kompleks dan berakibat buruk bagi korban banyak orang.

Hal itu diungkapkan Romo Magnis Suseno saat menjadi saksi ahli dalam sidang kasus pembunuhan Brigadir J dengan terdakwa Bharada E di PN Jakarta Selatan, Senin (26/12/2022).

Awalnya kuasa hukum menanyakan bagaimana Romo Magnis menilai Bharada E yang mau menjadi justice collaborator dalam kasus pembunuhan Brigadir J, meski hanya sendiri dan berbeda denge terdakwa lain seperti Bripka Ricky Rizal dan Kuat Ma'ruf.

"Bagaimana karakter secara moral etika, seseorang seperti Eliezer yang mengakui kesalahannya, bertobat dan mau menjadi justice collaborator?" tanya kuasa hukum.

Romo Magnis menjawab bahwa keputusa itu menjadi bukti bahwa belakangan Bharada E menyadari bahwa seharusnya dia tidak melakukan penembakan.

"Ini tentu menunjukkan bahwa belakangan yang bersangkutan menyadari bahwa dia seharusnya tidak melakukannya. Saya juga mengandaikannya karena menjadi justice collaborator juga karena memang ingin kebenaran terungkap," kata Romo Magnis.

Menurutnya hal itu sangat wajar sebab manusia akan mengikuti suara hatinya untuk mengungkap kebenaran.

"Saya anggap ini keinginan yang sangat wajar dan perlu, agar kasus itu menjadi jelas. Dan dia sudah menyadari apa yang dilakukan, barangkali dia mau melakukan yang secara etika selalu dituntut suara hati, keliru," katanya.

"Tidak mengatakan yang berarti kamu bersalah, tetapi sebisa-bisanya akibat buruk kekeliruan pada orang orang lain, perlu ditiadakan menderita lagi karena kamu. Saya mengerti, dia menjadi justice collaborator supaya kasus yang kompleks dan buruk dapat mencapai kejelasan," ujar Romo Magnis.

Romo Magnis mengatakan Bharada E mengalami dilema moral saat diperintah Ferdy Sambo untuk menembak Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.

Di satu sisi, perintah tersebut dinilai menyalahi etika dan moral, tetapi di sisi lain ada budaya ‘siap melaksanakan’ perintah atasan, dalam hal ini seorang Bharada E diperintah eks Kadiv Propam Polri saat itu.

Dilema moral itu, katanya akan ditentukan dari kesadaran Bharada E saat itu.

“Misalnya tergantung dari suara hati, suara hati mengatakan apa pada saat itu, bisa saja dia bingung karena berhadapan dengan dua norma, yang satu mengatakan menembak mati orang yang sudah tidak berdaya tidak bisa dibenarkan, titik. Yang kedua dia diberi perintah oleh orang yang berhak memberi perintah yang wajib ditaati supaya melakukannya, lalu dia harus mengikuti yang mana,” kata Romo.

Secara etika normatif, Bharada E harus menolak perintah menembak Yosua. Namun Bharada E dihadapkan dengan relasi kuasa Sambo yang tidak mungkin ia tolak perintahnya.

“Yang memberi perintah itu bukan sekadar atasan, misalnya rektor universitas ke dosennya, melainkan bagaimana kalau misalnya perintah diberikan dalam rangka militer dalam operasi militer atau dalam rangka kepolisian atau Brimob kalau mau di dalam situasi itu melaksanakan perintah adalah budaya yang ditanamkan di dalam orang-orangnya. Kita di Indonesia tahu sering pakai istilah 'laksanakan', atau istilahnya 'siap',” ujar Romo Magnis.

Dilema moral inilah yang menurut Romo dilawan Bharada E.

“Tipe perintah yang amat sulit secara psikologis dilawan, karena siapa dia, mungkin dia orang kecil, jauh di bawah yang memberi perintah sudah biasa laksanakan meskipun dia ragu-ragu, dia bingung, itu tidak berarti sama sekali tidak ada kesalahan, tetapi itu jelas menurut etika sangat mengurangi kebersalahan, saya tidak memakai istilah bisa dimengerti itu terlalu menurut saya, tapi itu saya berpendapat tentu orang mestinya tahu tidak bisa tetapi situasi bingung dalam budaya perintah laksanakan berhadapan dengan atasan yang sangat tinggi mungkin ditakuti,” papar Romo Magnis.

Seperti diketahui sidang lanjutan kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J dengan terdakwa Bharada Richard Eliezer atau Bharada E, kembali digelar di PN Jakarta Selatan, Senin (26/12/2022).

Tim penasihat hukum Bharada E menghadirkan tiga orang ahli meringankan untuk bersaksi.

Kuasa hukum Bharada E, Ronny Talapessy mengatakan ada 3 ahli yang dihadirkan.

"Pemeriksaan ahli dari pihak pengacara," kata Ronny Talapessy, kepada wartawan, Senin (26/12/2022).

Ronny mengatakan saksi yang akan dihadirkan pihaknya ialah pakar filsafat Romo Franz Magnis Suseno SJ, ahli Psikolog Klinik Dewasa Liza Marielly Djaprie dan ahli Psikologi Forensik Reza Idragiri Amriel.

"Ahli yang akan dihadirkan tim penasehat hukum Bharada E, Guru Besar Filsafat Moral Prof Dr Romo Franz Magnis Suseno SJ, Psikolog Klinik Dewasa Liza Marielly Djaprie, Ahli Psikologi Forensik Dr Reza Idragiri Amriel, MCrim," kata Ronny.

Romo Magnis Suseno adalah tokoh Agama Katolik sekaligus budayawan. Romo Magnis juga diketahui merupakan Direktur Pascasarjana Sekolah Tinggi Ilmu Filsafat (STF) Driyarkara.

Sementara Reza Indragiri Amriel juga merupakan Anggota Pusat Kajian Assessment Warga Binaan Pemasyarakatan, Poltekip, Kemenkumham.

Seperti diketahui Bharada E didakwa bersama-sama dengan terdakwa lainnya yakni Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Bripka Ricky Rizal dan Kuat Ma'ruf melakukan pembunuhan berencana terhadap Brigadir J

Bharada E disebut dengan sadar dan tanpa ragu menembak Yosua atas perintah Ferdy Sambo.

"Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan turut serta melakukan perbuatan, dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain," ucap jaksa saat membacakan surat dakwaan dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Selasa (18/10).

Para terdakwa dijerat Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana subsider Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Dengan ancaman maksimal pidana mati, penjara seumur hidup atau 20 tahun penjara.(bum)

Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved