Berita Video

RKUHP Disahkan, Massa Gelar Unjuk Rasa di Depan DPR Sampai Gelar Tenda

massa aksi menggelar unjuk rasa secara kreatif, tidak seperti biasanya yang membawa mobil komando serta pengeras suara.

Penulis: Nuri Yatul Hikmah | Editor: Ahmad Sabran

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA PUSAT – Paska disahkannya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), sejumlah koalisi masyarakat sipil kembali menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Gelora, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, Selasa (6/12/2022).

Pantauan Wartakotalive.com di lokasi sekira pukul 16.30 WIB, massa aksi menggelar unjuk rasa secara kreatif, tidak seperti biasanya yang membawa mobil komando serta pengeras suara.

Sebaliknya, sejumlah massa aksi tersebut justru membawa dua buah tenda berukuran besar dan sedang yang digelar di depan gedung DPR.

Di depan tenda tersebut, beberapa massa aksi menyempatkan untuk memasak beberapa bungkus mi instan menggunakan kompor portable yang sengaja dibawa.

Ada pula matras yang dipakainya untuk duduk lesehan bersama-sama, sembari menikmati se-panci mi.

Di samping tempat tersebut, berdiri sebuah spanduk bertuliskan 'Hukum zaman kolonial kalian terapkan kembali. Berniat menjajah suku dan darah sendiri kah?'.

Selain itu, ada pula dua buah kursi kecil dan meja yang dibangun di antara dua tenda tersebut.

Rupanya, kursi dan meja tersebut dibangun untuk kebutuhan diskusi, sekaligus menyuarakan hal-hal yang dianggap tidak demokratis, konservatif, dan berkolonialisasi pada KUHP Belanda.

Hal itu sebagaimana yang disampaikan Koordinator Aksi Kreatif, Dzuhrian Ananda Putra, saat ditemui di depan Gedung DPR RI, Selasa (6/12/2022).

Menurutnya, tenda adalah simbol rumah rakyat.

Dzuhrian juga memaparkan, setidaknya ada dua alasan gelaran aksi kreatif hari ini dibuat, di antaranya:

1. Bentuk protes terhadap gedung DPR yang secara objek merupakan rumah untuk rakyat

"Dibilang rumah rakyat, ternyata enggak ramah terhadap rakyat," ujar Dzuhrian saat ditemui.

"Kami mau masuk ke dalam, ingin memberikan suara kami di dalam, tapi dihadang oleh pagar berduri," sambungnya.

Oleh karena itu, kata Dzuhrian, lambang aksi hari ini adalah tenda, yang dianggap sebagai rumah berlindung di alam terbuka yang liar.

Menurutnya, itulah makna yang ingin didekatkan kepada masyarakat.

2. Kegiatan kamping berfilosofi sebagai kegiatan yang membutuhkan waktu lama

Artinya, ini kode terhadap DPR agar tidak terburu-buru mengesahkan RKUHP.

"Kamping itu kan membutuhkan waku yang lama. Tidak bisa dari pagi ke siang, biasanya pagi ke pagi," ujar Dzuhrian.

Dzuhrian berharap, unjuk rasa kreatif ini dapat membentuk konsolidasi antar masyarakat, sehingga menguat dan langgeng.

"Sehingga apa yang digaungkan 'merdeka', berarti betul-betul terbebas dari penindasan, politik, dan kebebasan sipil," jelas Dzuhrian.

Sementara itu, diberitakan Warta Kota sebelumnya, setidaknya ada 10 pasal RKUHP yang dianggap masalah oleh sejumlah massa aksi di depan Gedung DPR, di antaranya:

1. Aturan terkait Living Law

Indonesia terdiri dari berbagai macam budaya. Jika pasal ini disahkan, maka kriminalisasi akan semakin mudah, sesuka hati penguasa daerah.

Sehingga, masyarakat adat akan menjadi pihak yang dirugikan. Selain itu, aturan ini dianggap berbahaya bagi perempuan dan anak.

2. Pidana mati

Aturan ini sangat berbahaya karena dapat merampas hak hidup manusia, yang tidak bisa dikurangi ataupun dicabut oleh siapapun. Bahkan oleh negara sekalipun.

3. Perampasan aset untuk denda individu

Hukuman tersebut dianggap problematik, karena hukuman kumulatif berupa denda akan semakin memiskinkan si miskin dan memperkuat penguasa.

Hal tersebut sama halnya dengan cara negara mencari untung dari rakyat.

4. Penghinaan Presiden

Ini adalah pasal anti kritik terhadap penguasa.

5. Penghinaan lembaga negara dan pemerintah

Pasal ini adalah pasal anti kritik. Penguasa negara ingin diagung-agungkan seperti penjajah kolonial.

6. Contempt of Court

Pasal ini harus dicabut karena ketika kita bersikap tidak hormat kepada hakim, bisa dianggap menyerang integritas hakim
di ruang persidangan.

7. Unjuk rasa tanpa pemberitahuan

Ini merupakan aturan berbahaya. Karena, ketika seseorang menuntut hak maka seseorang tersebut bisa dihadiahi dengan penjara.

8. Kontrasepsi

Pasal ini harus dicabut karena bisa menyeret seseorang ke penjara. Sekalipun hanya sekedar mengedukasi terkait kesehatan reproduksi.

9. Penyebaran marxisme dan leninisme, serta paham yang bertentangan dengan Pancasila

Pasal ini berbahaya bagi siapa saja, khususnya bertentangan dengan rezim. Hal ini terbukti karena kerap dipakai untuk membungkam pihak yang kritis.

10. Tindak pidana terkait agama

Pasal terkait agama ini sangat mencampuri urusan antara kita dengan hak-hak yang kita percaya atau tidak kita percaya. Hal yang seharusnya menjadi urusan individu, menjadi urusan publik.(m40)

Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved