Pelajar Islam Indonesia Desak Pemerintah Protes Pembangunan Pulau Pangkalan Militer China di LCS

Furqan Raka menyebut langkah China jelas merupakan ancaman terhadap kedaulatan negara-negara Asia Tenggara khususnya Indonesia.

Editor: Ahmad Sabran
nicexams.com
Peta Laut China Selatan 

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA- Kedaulatan Laut China Selatan hingga kini belum jelas dan masih menjadi sengketa beberapa negara termasuk Indonesia.

Namun keberadaan pangkalan militer China yang dibangun di atas pulau buatan dikabarkan sudah dibangun.

Seorang jurnalis foto Filipina, Ezra Acayan, membagikan penampakan pangkalan tentara Tiongkok yang telah berdiri di laut sengketa tersebut melalui akun Twitternya @Ezra Acayan.

Ia membuat cuitan terkait suasana terbaru di Laut China Selatan, yang kini terlihat terdapat pulau-pulau buatan China

Dari foto-foto yang diunggahnya, terlihat jelas lapangan terbang, gedung, fasilitas rekreasi, dan struktur lainnya terlihat di pulau buatan bernama Kepulauan Spratly yang dibangun oleh China di Laut China Selatan.

Menanggapi hal tersebut, Dewan Pimpinan Pusat Pelajar Islam Indonesia (DPP PII) meminta pemerintah Indonesia dan pemerintah negara-negara Asia Tenggara lainnya untuk mengajukan nota protes keras kepada China, atas tindakannya membangun pulau buatan dan pangkalan militer sepihak, di Laut China Selatan.

Baca juga: Wacana Gibran Jadi Cawapres Anies Cuma Utopis, dari Segi Umur Tak Penuhi Syarat

Wakil Bendahara Umum Dewan Pimpinan Pusat Pelajar Islam Indonesia, Furqan Raka menyebut langkah China jelas merupakan ancaman terhadap kedaulatan negara-negara Asia Tenggara khususnya Indonesia.

“Perlu diingt kembali, Beijing mengklaim hampir 90 persen kepemilikan Laut China Selatan yang tentunya membuat Tiongkok harus berhadapan dengan sejumlah negara termasuk Asia Tenggara, seperti Brunei, Malaysia, Filipina, Taiwan, Vietnam termasuk Indonesia di Laut Natura Utara,” kata Furqan Raka kepada wartawan, Jum’at, (18/11/2022).

“Apalagi, pembangunan pangkalan militer di pulau buatan China, dekat dengan Palawan Filiphina yang jaraknya hanya 1.295 kilometer dari Indonesia,” ujar Furqan Raka.

Baca juga: Demokrat: Kemungkinan Koalisi Perubahan Usung Anies Baswedan Sudah 93 Persen

Beberapa analis China menggambarkan pangkalan ini memiliki 20 pos terdepan di Kepulauan Paracel, di mana Pulau Woody adalah yang terbesar, dan tujuh di Kepulauan Spratly sebagai ‘kapal induk yang tidak dapat tenggelam’.

PLA telah memasang sensor berteknologi tinggi di Cuarteron, Fiery Cross, Gaven, Hughes, Johnson, Mischief, dan Subi Reefs. Beijing juga memasang alt citra satelit dan udara dari fasilitas ini, termasuk infrastruktur penunjang militer seperti landasan pacu, tempat berlabuh, hanggar, barak, radar, senjata angkatan laut, dan pertahanan udara.

Selain sistem peperangan langsung dan elektronik berbasis darat bergerak, PLA mendirikan sejumlah fasilitas intelijen sinyal tetap yang mencakup situs pencari arah frekuensi tinggi [Mischief Reef] dan kemungkinan situs untuk memantau komunikasi satelit asing [Fiery Cross Reef].

“Lucunya, China pernah mengklaim bahwa fasilitas di Kepulauan Spratly dibangun bukan untuk kepentingan mereka semata namun bagi negara-negara lainnya. Namun ketika ada pesawat atau kapal mendekat khususnya dalam keadaan darurat, Tiongkok jelas melarangnya,” jelas Furqan Raka.

Baca juga: Piala Dunia 2022: The Jakmania Punya Pilihan Berbeda Terkait Kandidat Tim yang Bakal Juarai di Qatar

Akan tetapi, nafsu membangun ‘kerajaan militer kecil’ di Laut China, memiliki konsekuensi besar yang harus ditanggung Beijing, setelah banyak peneliti dan ahli geomorfologis, yang mempertanyakan fisibiliti studies pulau buatan Tiongkok.

Ia mengatakan, Profesor Collin Koh, Rekan Peneliti di S. Rajaratnam School of International Studies Singapura, menyebut pulau-pulau buatan ini dibangun dengan tergesa-gesa.

“Penilaian dampak lingkungan dan studi kelayakan struktural yang sepatutnya wajib hukumnya, disingkirkan untuk mempercepat proyek, sehingga secara geomorfologis, pulau buatan ini tidak stabil,” kata Furqan Raka.

Dari hasil riset, lanjut Furqan, kajian dan penelitian terhadap kondisi alam Laut Cina Selatan, penetrasi difusi klorida dalam beton biasa sekitar 1-2 kali lipat lebih besar daripada daerah pendinginan sedang seperti Eropa.

Kondisi alam ini membuat Beijing terkunci dalam pertempuran abadi melawan korosi laut di Laut Cina Selatan, ditambah lagi temperatur tinggi, kelembapan ekstrem, kabut garam tinggi, dan radiasi matahari secara signifikan mempercepat laju korosi.

“Belum lagi minimnya sumber air tawar disana, seolah mengisyaratkan alam semesta tidak me ridhoi pulau buatan dan berdirinya pangkalan militer di Laut China Selatan,” ujar Furqan Raka.

Baca berita Wartakotalive.com lainnya di Google News.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved